Kamis, 05 Juli 2012

Teologi Inklusif Cak Nur


Teologi Inklusif; Kupas Tuntas Pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi [1]

ABSTRAKSI
            Indonesia menganut ideologi Pancasila sebagai suatu ideologi yang mengatur cara berkehidupan bangsanya yang multi-kultur. Dengan keragaman yang dimilikinya, Indonesia harus mampu mewujudkan tatanan sosial yang toleran di tengah-tengah pluralisme masyarakat Inodnesia. Munculnya gerakan-gerakan sosial  seperti radikalisme atau pun kekerasan atas nama agama yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak manusiawi merupakan salah satu dampak akan adanya sikap ekslusif dalam beragama.  Namun demikian, hal tersebut dapat disikapi dengan bijak dan toleran dengan membentuk paradigma berpikir yang tepat dengan kondisi bangsa Indonesia yang plural itu sendiri, yakni dengan membentuk frame berpikir inklusif. Cak Nur, pemikir Islam kontemporer Indonesia dengan gagasannya (baca; Inklusif) yang cemerlang mampu memberikan penyegaran baru atas kondisi masyarakat agama di Indonesia waktu itu yang berada dalam stagnasi pemikiran ke-Islaman yang dihadapkan pada benturan kemodernan. Gagasannya ini dilandasi dengan semangat pembahruan pemikiran Islam yang dinilianya merosot, karena Islam hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik kelompok tertentu. Penulis tertarik dengan pemikiran teologi Cak Nur ini, karenanya dalam penulisan ini lebih difokuskan pada bagaimana teologi inklusif tersebut sebenarnya. Dengan pendekatan fenomenologi-historis, penulis mencoba membedah pemikiran Cak Nur yang dianggap “nyeleneh”.

KATA KUNCI
ü  Inklusif adalah suatu cara berpikir dan sikap terbuka atas segala perbedaan yang ada,
ü  Pluarlisme adalah paham yang memberikan sikap terbuka atas segala bentuk atau ragam perbedaan yang ada, baik suku, agama, ras dan lain sebagainya,
ü  Liberalisme adalah paham yang memebrikan kebebasan mutlak untuk memilih suatu perkara sesuai dengan keyakinannya,
ü  Sekulerisme adalah paham yang mengajarkan pemisahan urusan agama dan dunia,




PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
            Agama[2] diyakini dan dirasakan oleh pemeluknya sebagai sumber ketenangan karena agama memberi arah serta makna hidup yang pasti. Setidaknya agama diyakini sebagai kebenaran yang pasti, yang berbeda dengan kebenaran ilmiah dan filsafat yang mengandung berbagai kemungkinan dan selalu menyisakan ruang keraguan. Kebenaran ilmiah akan tetap melahirkan keraguan dan kritik terus menerus, begitu pula dengan kebenaran filsafat yang radikal secara klritis telah berjasa besar bagi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Dan untuk itu kebenaran yang dimiliki ketiganya akan tetap ada, karena sejatinya agama, filsafat dan ilmu pengetahuan akan saling melengkapi satu sama lainnya.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman modern seperti sekarang ini sebagaian orang membenci bahkan mencaci agama karena disinyalir sebagai pemicu  bahkan sumber pertikaian, dan dalam eksistensinya pun telah tersaingi oleh kemajuan iptek modern. Meskipun demikian, senyatanya penduduk dunia masih tetap memerlukan agama dan meyakini adanya Tuhan. Terlebih di Indonesia, di mana Negara tidak memberikan ruang gerak  pada warganya untuk tidak beragama dan tidak percaya pada Tuhan. Orang bebas untuk memilih agama, tetapi tidak bebas untuk tidak beragama sehingga identitas agama senantiasa dicantumkan dalam tanda pengenal penduduk atau dalam dokumen lainnya.
            Terlepas adanya interpretasi akan adanya berbagai pendapat dan sikap orang terhadap agama, yang jelas peranan agama dalam perkembangan dewasa ini masih tetap hidup dan tradisi yang dilahirkannya terus dijaga dan dibela oleh pemeluknya dari zaman ke zaman. Bahkan tidak sedikit ada yang membela dengan cara “mengangkat pedang dan menanam bom”. Berangkat dari pernyataan tersebut, peran dan fungsi agama menjadi kerdil bahkan tidak sejalan dengan cita-cita awal agama itu sendiri untuk memberikan kedamaian dan ketenangan batin bagi setiap pemeluknya. Seolah-olah agama menjadi senjata bagi mereka untuk melakukan gerakan-gerakan dakwah yang sifatnya memaksakan ummat lain untuk ikut dan taat pada agama yang dianutnya. Hal semacam ini didasari dengan dalih semangat “jihad” atau tegaknya “kerajaan Tuhan” di muka bumi, dengan adanya sikap seperti itu merupakan sikap eksklusif[3] dalam beragama.
            Munculnya gerakan-gerakan sosial  seperti radikalisme atau pun kekerasan atas nama agama yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak manusiawi merupakan salah satu dampak akan adanya sikap ekslusif dalam beragama. Jelas sekali hal semacam ini perlu adanya suatu resolusi yang berarti untuk dapat menuntaskan segala konflik sosial yang didasari semangat keagamaan.
            Seperti yang telah diketahui, bahwa Indonesia menganut ideologi Pancasila sebagai suatu ideologi yang mengatur cara berkehidupan bangsanya yang multi-kultur. Dengan keragaman yang dimilikinya, Indonesia harus mampu mewujudkan tatanan sosial yang toleran di tengah-tengah pluralisme masyarakat Inodnesia. Manakala asumsi orang yang mengatakan bahwa wajah agama dalam ranah realitas kehidupan kita sekarang ini ada yang berwajah garang, ada pula yang berwajah menyejukan. Ada yang ramah, dan ada juga yang menakutkan. Namun demikian, hal tersebut dapat disikapi dengan bijak dan toleran dengan membentuk paradigma berpikir yang tepat dengan kondisi bangsa Indonesia yang plural itu sendiri.
            Ketika kebanyakan umat beragama di Indonesia ini sedang terlelap dalam tidur panjangnya, seketika kemudian dibangunkan dengan suatu pemikiran yang kontroversial yakni Teologi Inklusif dan pluralismenya yang mampu membedah cakrawala berpikir ummat dikala itu. ia adalah Nurcholis Madjid atau yang lebih akrab disapa Cak Nur
            Cak Nur merupakan sosok pemikir Islam kontemporer yang memiliki wawasan ke-Islaman yang luas, bahkan ia sempat disinggung bahwa pernah “berguru” langsung pada Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer dari Pakistan. Dengan modal wawasan yang dimilikinya itu, ia mampu melahirkan ledakan pemikiran terkait pandangannya yang didasarkan pada kehidupan sosio-kultur masyarakat Indonesia yang majemuk. Di tengah-tengah kegersangan berpikir, ia mampu tampil membawa dobrakan yang berarti bagi laju perkembangan umat beragama di Indonesia, khususnya Islam.
            Untuk dapat memahami lebih detail terkait masalah Teologi Inklusif ini, berikut akan diuraikan pembahasannya.

Metodologi Penelitian
            Kasus yang dijadikan bahan penelitian dalam karya ini terjadi dalam ruang lingkup sosio-kultur masyarakat di Indonesia masa 1970an yang pada umumnya terpusat pada salah satu gagasan kontroversial Cak Nur tentang teologi inklusifnya yang menerima ajaran Sipilis (Sekuler, Plural, dan Liberal), oleh karenanya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih memfokuskan pada studi fenomenologi-historis keagamaan di Indonesia waktu itu dengan pendekatan deskriptif-naratif di mana agama dijadikan sebagai faktor perubahan sosial.[4] Dan untuk itu, penulis mencoba menguraikannya dengan sistematis agar layak dijadikan sebagai karya ilmiah sesuai standar baku yang telah ditentukan.

Kajian Pustaka
            Dalam penulisan karya singkat ini, penulis berupaya mencari sumber pustaka yang sekiranya relevan dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang muncul pada masa kini. Sumber referensi yang penulis gunakan adalah buku-buku terkait persoalan agama pada khususnya dan studi fenomenologi melalui media massa sebagai sumber referensi sekunder.
            Di samping itu, pun penulis merujuk pada referensi beberapa pemikiran tentang agama seperti halnya Cak Nur, Robert . Bellah, Alwi Shihab dan Thomas F. Odea dan lain sebagainya untuk mendapatkan inspirasi pengetahuan keagamaan penulis. Akan tetapi yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana teori-teori tentang agama tersebut mampu mengebumi dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural atau bheineka.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus pembahasan di atas, dalam persoalan tentang teologi inklusif Cak Nur dipastikan masih terdapat pro dan kontra dari berbagai kalangan. Dengan demikian, untuk memhami lebih rinci terkait hal itu penulis memberikan batasan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1.      Seperti apa latar belakang ke-Islaman Cak Nur?
2.      Apa hakikat dari Teologi Inklusif Cak Nur?
3.      Tantangan penerapan teologi inklusif versi Cak Nur ?

PEMBAHASAN
Biografi Nurcholis Madjid (Cak Nur)
            Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun. [5] Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005.
            Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren,  termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah.
            Cak Nur dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
            Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, dan dalam hal ini Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.  Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggungjawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
            Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprahnya ia dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Pemikiran Ke-Islaman Nurcholis Madjid
            Sebagai sebuah agama, Islam amatlah pantas untuk dipertahankan dan diperjuangkan dengan semangat nilai-nilai kemanusiaan, keterbukaan, dan semangat keberagaman sebagai bagian dari sikap toleransi dan perwujudan nilai-nilai ukhuwah antar sesama manusia. Dengan jalan itu maka yakin dan percaya bahwa Islam akan tetap jadi panutan yang pantas bagi semua umat manusia sekalipun dia bukan bagian dari Islam sebagai agama.
      Islam diharapkan tampil sebagai alternatif terakhir dalam menawarkan konsep-konsep produktif dan pemberi solusi dalam masyarakat yang terus tergerus invasi globalisasi, serta sebagai pembawa kebaikan bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Islam sebagai agama kemanusiaan juga sebagai agama terbuka serta menjadi agama masa depan bagi manusia modern ke depannya, dalam perjalanannya sebagai agama tersukses sepanjang sejarah umat manusia. Oleh karena itu, Islam dalam kehidupan dunia nyata selalu memiliki kaitan politik yang erat dalam proses membangun karakter dan identitas dirinya. Dalam dunia politik Indonesia, Islam selalu jadi bahan perdebatan terlebih kondisi keIslaman Indonesia yang beragam, berbagai macam mahzab dan aliran yang mewarnai kancah perpolitikan kita.
            Dalam upaya merealisasikan pembaruan pemikirannya tentang kondisi Islam di Indonesia, Cak Nur berpandangan bahwa pentingnya umat memahami esensi Islam itu sendiri. Yang terpenting bagi Cak Nur, bahwa Islam tidak terletak pada simbol atau penampakan simboliknya. Akan tetapi yang paling utama adalah bagaimana umat diarahkan kepada nilai-nilai  esensial Islam yang membebaskan.[6] Di Indoensia keragaman agama dan budaya yang memiliki tempat yang sama di depan hukum dan Negara meskipun mayoritas rakyatnya beragama Islam. Dengan demikian, setiap agama selalu tumbuh berkembang bersama tradisi dan kondisi geografis setempat.[7] Hal ini merupakan landasan kemunculan pemikiran terkait pluralisme keberagamaan.[8]
            Pernyataan Cak Nur yang cukup popular adalah “Islam, yes! partai Islam, no!” merupakan penegasan  ihwal pentingnya esensialitas keberagamaan sebagai sarana menuju yang transenden, umat harus keluar dari kungkungan simbol-simbol yang tidak membebaskan.[9] Pernyataannya ini dilatarbelakangi oleh banyaknya parpol-parpol yang (sengaja) memakai nama Islam sebagai simbol untuk menarik dukungan sebanyak-banyaknya. Upaya Cak Nur dalam mengarahkan umat kepada nilai-nilai esensial Islam pada satu sisi karena kemunculan Orde Baru yang telah meminggirkan politik Islam. Dan pada sisi yang lain, kebenciannya terhadap ideologi komunisme mendorong rezim militer mempromosikan pengajaran agama. Akibatnya, saat Islam politik mandul, ketertarikan orang-orang terhadap Islam justru kian meningkat.[10]
            Ketika munculnya jagon tersebut, Cak Nur mendapatkan penentangan yang cukup besar karena pemikirannya dinilai menyimpang dari mainstream yang telah dijadikan pegangan kuat oleh umat. Namun demikian, suatu pemikiran yang dianggap “menyimpang” tersebut bukan berarti penanda runtuhnya peradaban atau masa depan umat. Justru hal itu bisa dikatakan sebagai sinyal menuju masa depan yang menrcerahkan. “Jika ingin mengantisipasi perkembangan masyarakat masa depan, sebaiknya berpaling kepada para intelektual yang menyimpang dari arus utama.” Demikianlah menurut Ali Syariati, seorang intelektual revolusioner Iran.[11]
            Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh Cak Nur merupakan sebuah bentuk sikap antisipasi yang didasari oleh komitmen keberagamaan dalam menatap masa depan umat Islam Indonesia. Sikap antisipasi itu muncul di tengah semakin maraknya umat digiring ke arah yang bersifat simbolik dan cenderung melupakan yang esensial.
            Sebagai seorang intelektual atau cendikiawan muslim Cak Nur berkali-kali melakukan pembelaan ketika Islam hanya dijadikan sebagai sarana atau instrumen politik, di mana di dalamnya syarat dengan kepentingan kelompok. Apalagi ada kecenderungan di antara parpol-parpol berlabel Islam seakan-akan memonopoli kebenaran. ,padahal agama tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atau suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain.[12] Sehingga tidak heran kalau kemudian terjadi konflik horisontal antar pendukung parpol atas nama kebenaran. Padahal konflik itu terjadi tidak lain hanyalah karena menyangkut kepentingan yang sifatnya politis, bukan ideologis apalagi teologis.
            Cak Nur seringkali mempertanyakan idealisme dari parpol-parpol Islam yang dinilainya sudah tidak punya “daya tarik” lagi.  Dan kalau ini tetap dipertahankan, niscaya umat akan mengalami kemunduran. Hal semacam ini dikarenakan partai-partai Islam, telah gagal membangun image positif dan simpatik. Perpecahan atau disintegrasi di kalangan umat Islam sendiri, misalnya, adalah contoh konkrit di mana partai-partai Islam tidak mampu membangun semangat kesatuan dan persatuan. Ditambah lagi dengan kasus-kasus penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian besar wakil-wakil dari partai Islam di birokrasi pemerintahan yang sampai saat ini makin marak terjadi.
            Inilah sebuah paradoks keberagamaan yang lahir dari idealisme utopis. Pada satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di bawah payung partai Islam, dan pada sisi yang lain mereka lupa meniupkan nilai-nilai keIslaman sebagai nafas perjuangan.[13] Akibatnya, dari waktu ke waktu Islam di Indonesia hanya berkembang secara kuantitas seiring dengan banyaknya partai-partai Islam yang memosisikan diri sebagai “pengemban aspirasi” umat Islam.
            Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan “Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan, sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
Islam vis a vis Modernitas
            Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keIslaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
            Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama 14 abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
            Islam[14] semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, tanpa eksklusifisme komunal. Orang muslim harus secara otentik mengembangkan paham kemajemukan masyarakat (pluralisme sosial), dituntut pula kesanggupan mengembangkan sikap-sikap saling menghargai antar sesama anggota masyarakat, dengan menghormati apa yang dianggap paling penting pada masing-masing orang dan kelompok.
            Nilai-nilai universal selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia. Nilai-nilai universal itu harus diikatkan kepada kondisi-kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika sosial.    Dan dalam perkembangannya, Islam selalu dihadapkan dengan tantangan modern yang didalamnya terdapat keanekaragaman kehidupan baik pemikiran maupun agama.[15] Kecenderungan masa kini iptek yang mewakili faktor modernisme telah bersinggungan keras dengan kaum agamawan dalam hal ini Islam, sehingga kezumudan berfikir ummat terus tertanam. Dengan demikian, Islam harus senantiasa menyesuaikan dengan semangat zaman yang ada.[16]
            Kaum modernis menuding kaum agamwan justru melestarikan pemusnahan manusia dan lingkungannya. Asumsi gerakan modern yang menempatkan pemikiran atau akal (intellect/ reason) di atas wahyu, atau bahkan mengesampingkannya, merupakan salah satu gugatan yang mempertemukan kelompok agamawan dan penganut gerakan modernisme.[17]
            Berbeda dengan agama, gerakan modern mencakup wilayah yang luas dari berbagai kelompok dengan ragam pemikiran, walaupun bersatu pada rasa kecemasan terhadap kehidupan masa kini. Sisi gelap dari gerakan ini menggambarkan rasa putus asa, yang berbicara tentang kehancuran yang tak terelakan dan kebenaran serta kepastian yang tidak mungkin dicapai.[18]  Untuk memberikan resolusi atas pertentangan kaum modernis dengan agamawan adalah dengan mendamaikan diantarnya dengan suatu sikap yang disebut dengan inklusifisme dan pluralisme dan toleransi dalam beragama.[19]
            Hubungan agama dan agama-agama harus dirawat melalui toleransi dengan memahami bahwa Allah telah mendamaikan dirinya dengan orang yang tidak bertuhan (berikut dengan agamanya) melalui anugerah, seperti kesabaran (pengendalian diri) yang ditunjukkan oleh Kristus. Secara analogis, agama lain harus dilihat seperti manusia yang keras kepala dilengan ibunya, dimana Allah tetap melakukan tindakan penyelamatan walaupun ia ditentang.[20]  Jenis toleransi ini, hanya dapat mungkin dilakukan oleh siapa yang siap untuk merendahkan agama dan dirinya sendiri bersama dengan manusia, dengan setiap masing-masing individu, mengetahui bahwa mereka pertama dan agama mereka, membutuhkan toleransi, sebuah toleransi yang teguh dan sabar.
            Dalam hal ini, toleransi bukanlah merupakan suatu semangat untuk bersikap tidak berlebihan terhadap penganut dan religiusitas agama lain. Toleransi yang dimaksud adalah melatih pengendalian diri terhadap mereka yang telah mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa iman mereka bukanlah satu-satunya iman, bahwa fanatisme adalah hal yang buruk, bahwa kasih harus selalu menjadi kata pertama dan terakhir.[21]
            Toleransi tidak boleh dibingungkan oleh sikap menyendiri orang yang rasionalistis yang berpendapat bahwa dia dapat merasa  nyaman dan pada akhirnya berhasil dengan semua agama-agama melalui konsep agama yang benar. Dan juga toleransi tidak harus dibingungkan dengan relatifisme dan skeptisime yang tidak memihak, yang tidak mempertanyakan kebenaran dan ketidakbenaran dalam fenomena keberagamaan.[22] Pandangan-pandangan tersebut sebenarnya memandang bahwa agama-agama dan manusia sebagai masalah yang serius. Jika toleransi yang dimaksud adalah sikap yang tidak berlebih-lebihan, pemahaman superior atau skeptisisme, maka sebenarnya toleransi tersebut merupakan sikap terburuk ketidak-toleranan.
            Di tengah kejumudan berpikir yang menimpa kalangan umat Islam, Cak Nur menawarkan gagasan progresifnya terkait keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat. Gagasan ini tak pelak menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan. Bahkan ada yang menganggap ide Cak Nur itu tak lebih hanyalah sebagai bagian dari upaya penghancuran terhadap ajaran Islam yang sudah mapan.
            Realitas kejumudan di mana masyarakat masih lebur dalam euforia romantisme masa lalu, yakni berkutat dengan nilai-nilai tradisional dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, membuat Cak Nur semakin gelisah sehingga ia memberanikan diri menerobos dinding kejumudan yang sedemikian kokoh dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur menegaskan pentingnya proses pembebasan di mana masyarakat harus digiring kepada nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Proses pembebasan ini, menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi sekulariasasi, keterbukaan (inklusif) dan lain sebagainya.[23]
            Tanpa adanya upaya progresif semacam itu, umat Islam tidak akan mampu meneropong masa depan yang gemilang. Upaya untuk mengembalikan masa kejayaannya sebagaimana pada beberapa abad sebelumnya hanya akan menjadi utopia belaka.[24] Bagaimana mungkin peradaban akan dibangun jika pemikiran umat Islam tidak menunjukkan sinyal pencerahan yang progresif dan dinamis. Kemudian pada sisi yang lain umat menganggap ide pembaruan yang sangat universal itu sebagai ancaman yang harus ditolak. Sehingga tidak heran kalau kemudian muncul keyakinan ekslusif yang terkesan “dibuat-buat” yang mengasumsikan bahwa Islam sudah tidak membutuhkan pembaruan karena Islam sudah syarat dengan pembaruan itu sendiri.[25]
            Di sinilah letak kesalahan paradigma atau pola pikir yang sedang menghinggapi sebagian besar kalangan umat Islam hingga saat ini. Realitas kejumudan tidak disadari sebagai suatu fenomena yang membahayakan masa depan umat Islam sendiri, ibarat duri dalam daging. Suatu saat pola pikir semacam itu akan menghambat kemajuan dalam konteks apa pun. Karena itu, gagasan yang diusung oleh Cak Nur pada dasarnya berangkat dari semangat Al- Qur’an sebagai way of life, dengan interpretasi yang lebih menyegarkan. Bukan ide baru yang tidak berpijak pada semangat qur’ani.
            Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.
           
Inklusiftas Ummat dalam Beragama
            Dalam kata pengantar buku Tiga Agama Satu tuhan, Cak Nur menulis bahwa setiap agama merupakan jalan yang sama untuk menuju Tuhan. “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat Inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.” Sebagai contoh filsafat perennial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai agama/ filsafat perennial juga membagi agama pada level esoteric (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relative sama dalam level esoterik. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.[26]
            Pada dasarnya agama-agama tidak lain hanyalah jalan-jalan menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Oleh karenanya, konsep pluralisme terdapat unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atau suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis atau tradisional dan konservatif pada sumber ajaran Islam.[27]
            Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun praktis dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama. Antara lain dan paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antarumat beragama.  Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog yang digarisbawahi oleh para ahli. Pertama adalah toleransi, dan Kedua adalah Pluralisme.[28]
            Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[29]
            Begitu pula dengan sekularisasi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia tertutup yang baru yang berfungsi sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.
            Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which funtion very much like a new religion. Demikianlah penegasan Cak Nur ketika mendapatkan banyak kritikan mengenai pembaruan pemikirannya tentang pentingnya sekularisasi.
            Masih terngiang hingga saat ini suara-suara sumbang yang tidak sepaham dengan jalan pikiran Cak Nur. Sekularisasi dianggap sebagai suatu proses penerapan sekularisme. Padahal sekularisasi pada dasarnya berbeda pengertiannya dengan sekularisme. Meminjam bahasanya Robert N. Bellah, sekularisasi yang dimaksudkan adalah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun oleh banyak orang cenderung dianggap transenden dan disucikan.
            Seadangkan sekularisme itu sendiri adalah paham keduniawian yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi. Paham tersebut mengatakan bahwa kehidupan duniawi adalah mutlak dan terakhir. Mereka tidak percaya adanya hari kemudian, di mana Islam seringkali menamakannya sebagai hari kebangkitan. Seorang sekularis menolak pemakaian prinsip ketuhanan dalam menyelesaikan masalah-masalah duniawi manusia. Mereka percaya sepenuhnya pada kekuatan rasio sebagai instrumen untuk menemukan kebenaran terakhir. Dengan demikian, menurut pemahaman Cak Nur, bisa dikatakan bahwa seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, adalah orang atheis. Sebaliknya, seorang sekular yang tidak konsekuen akan mengalami kepribadian yang pecah (split personality).
            Berangkat dari pemahaman di atas, maka tentu saja sekularisme bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab sekularisme membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama yang ada di muka bumi ini, apalagi dengan Islam. Bahkan Al-Qur’an sendiri menggambarkan orang-orang sekularis sebagai kelompok yang kafir, mengingkari Tuhan beserta ketetapan-ketetapannya : “Mereka ( orang-orang kafir itu) berkata: ‘Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. mereka hanyalah menduga-duga saja.” (Q.S. Al-Jatsiyah: 24).
            Demikianlah gambaran Al-Qur’an tentang orang-orang sekularis. Akan tetapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi adalah bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai sekularisme itu sendiri. Sebab sekularisasi dalam perspektif Cak Nur pada dasarnya adalah suatu proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian yang lebih besar daripada sebelumnya terhadap kehidupan duniawi ini. Karena bagaimana pun kita adalah makhluk sekular, makhluk yang masih hidup di dunia.
            Harvei Cox, sebagaimana dikutip oleh Cak Nur membedakan pengertian antara sekularisasi dan sekularisme : “Bagaimana pun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi, pada dasarnya, adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.”
            Masalah sekularisasi dan sekularisme memang “hanya” persoalan istilah. Akan tetapi Cak Nur paham betul ihwal makna serta implikasi dari kedua istilah tersebut sama perbedaannya antara rasionalis dan rasional, antara rasionalisasi dan rasionalisme. Karena itu, ia tidak mau disebut dirinya sebagai seorang sekularis yang berarti penganut sekularisme, atau rasionalis yang berarti pemuja rasionalisme atau kemutlakan rasio.
            Dengan demikian, sudah jelas bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya dzat yang bersifat transendental. Akan tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.

PENUTUP
Kesimpulan
            Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keIslaman pun semakin berkembang, Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
            Realitas kejumudan di mana masyarakat masih lebur dalam euforia romantisme masa lalu, yakni berkutat dengan nilai-nilai tradisional dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, membuat Cak Nur semakin gelisah sehingga ia memberanikan diri menerobos dinding kejumudan yang sedemikian kokoh dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur menegaskan pentingnya proses pembebasan di mana masyarakat harus digiring kepada nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Proses pembebasan ini, menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi sekulariasasi, Skap inklusif beragama.
            Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah.
            Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.        
            Hubungan agama dan agama-agama harus dirawat melalui toleransi dengan memahami bahwa Allah telah mendamaikan dirinya dengan orang yang tidak bertuhan (berikut dengan agamanya) melalui anugerah, seperti kesabaran (pengendalian diri) yang ditunjukkan oleh Kristus. Secara analogis, agama lain harus dilihat seperti manusia yang keras kepala dilengan ibunya, dimana Allah tetap melakukan tindakan penyelamatan walaupun ia ditentang.
            Dengan demikian, sudah jelas bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya dzat yang bersifat transendental. Akan tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.




Saran
            Dalam penyusunan karya tulis ini, masih terdapat banyak kekurangan yang mesti harus diperbaiki. Dan untuk itu sekiranya handai taulan dapat memberikan masukan yang membangun untuk perbaikan karya tulis penulis untuk ke depannya.
            Namun penulis berharap untuk ke depannya dalam penyusunan karya tulis yang serupa dengan topik ini sekiranya mampu menjelaskan atau setidaknya membuat interpretasi baru dan menarik terkait pemahaman teologi inklusif Nurcholis Madjid. Dalam pengkajiannya, penulis lebih menitikberatkan pada bagaimana Cak Nur memberikan interpretasi tentang ke-Islamannya yang diracik sedemikian rupa dalam wacana ke-Indonesiaan dan Ke-modernan.
            Semoga apa yang penulis suratkan dalam karya tulis sederhana ini dapat menjadi referensi dan warna baru bagi pemikiran kita semua, selebihnya penulis mengharapkan segala masukan positif yang berarti bagi perbaikan karya-karya berikutnya, dan terutama bagi handai taulan yang ingin menyelami samudera pemikiran Cak Nur senantiasa dapat lebih dalam dan memahami dengan baik konsepsi yang telah Cak Nur torehkan. Dan kepada Allah semata saya sandarkan segala usaha yang telah dilakukan dalam membentuk pribadi yang memahami inklusifitas dalam beragama.

الحمد لله رب العالمين











DAFTAR BACAAN

Akmal Tarigan, Azhari. 2007. Islam Mazhab HMI; Tafsir tema Besar NDP. Kultura.
            Jakarta
Hidayat, Komarudin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
------------------------------. 2011. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermaneutik.
            Mizan. Bandung.
Kahmad, Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Agama. Pustaka Setia. Bandung
Madjid, Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina.
            Jakarta
--------------------------. 2008. Islam, Kemodernan dan Keindoensiaan. Mizan. Bandung.
--------------------------. 2004. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina. Jakarta.
Magnis, Frans. & Suseno. 1988. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
            Modern. Gramedia. Jakarta
Shihab, Alwi. 1997. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Mizan.
            Bandung



[1] Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana UIN SGD Bandung jurusan Religious Studies semester 2 (dua), Email : areadone88@gmail.com
[2] Agama secara gramatikal adalah tidak kacau, lebih lengkap menurut Wuraish Shihab dalam kata pengantar buku Agama Punya Seribu Nyawa, mendefiniskan agama sebagai hubungan manusia dengan satu kekuatan yang jauh melebihinya dimana manusia patuh kepada kekuatan itu yang kemudian makna “kekuatan” ditekankan pada Sang pencipta alam, yakni Tuhan.  Lihat Komarudin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta; Noura Book, 2012), Hlm. Vi
[3] Eksklusif merupakan sikap menutup diri dan atau menganganggap individu atau kelompoknya sebagai satu-satunya yang memiliki kebenaran mutlak sejati, sehingga apa yang ada diluar dirinya adalah keliru dan tidak sesuai dengan apa yang ada dalam individu atau kelompok tersbut. Lihat George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog, (Bandung; Mizan, 1998), Hlm. xix
[4] Dadang Kahmad, Metodologi Penelitian Agama, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), Hlm. 75-77
[5] http://adhanmu.blgspot.com diunduh tanggal 13 Mei 2012 pukul 16.13 wib.
[6] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, edisi baru, (Jakarta; Paramdina-Dian Rakyat (cetak), 2008), Hlm. 34
[7] Ibid., Agama Punya…, Hlm. 223-224
[8] Ibid., Satu Tuhan…, Hlm. Xix
[9] Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,Edisi baru (Bandung; Mizan,2008),Hlm. 16
[10] Ibid., Hlm. 17
[11] Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Bandung; Mizan, 2011), Hlm 32
[12] Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan,1997), Hlm.15
[13] Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Cetakan VIII, (Jakarta; Paramadina, 2008), Hlm 56
[14] Menurut Azhar Islam merupakan suatu sikap pasrah yang dilandasi keyakinannya terhadap sesuatu yang maha dahsyat. Lihat Azhari Akmal tarigan, Islam Mazhab HMI, (Jakarta; Kultura, 2008), Hlm. 21
[15] Ibid., Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan…, Hlm. 28
[16] Ibid., Hlm. 30
[17] Ibid., Hlm. 34
[18] Frans Magnis & Suseno. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. (Jakarta; Gramedia, 1988), Hlm. 78
[19] Ibid., Nurcholid Madjid, Islam, Kemodernan…., Hlm. 43
[20] Ibid., Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju…., Hlm. 132
[21] Ibid.,
[22] Ibid., Hlm. 133
[23] Ibid., Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin…, Hlm. 111
[24] Ibid., Hlm. 113
[25] Ibid., Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap…, Hlm. 89
[26] Ibid., George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard, Tiga Agama…, Hlm. xix
[27] Ibid., Komarudin Hidayat, Memahami…, Hlm. 67
[28] Ibid., Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju…,Hlm. 15
[29] Ibid., Hlm. 17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar