Teologi Inklusif;
Kupas Tuntas Pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi [1]
ABSTRAKSI
Indonesia menganut ideologi Pancasila sebagai suatu
ideologi yang mengatur cara berkehidupan bangsanya yang multi-kultur. Dengan
keragaman yang dimilikinya, Indonesia harus mampu mewujudkan tatanan sosial
yang toleran di tengah-tengah pluralisme masyarakat Inodnesia. Munculnya
gerakan-gerakan sosial seperti
radikalisme atau pun kekerasan atas nama agama yang dianggap sebagai sesuatu
yang tidak manusiawi merupakan salah satu dampak akan adanya sikap ekslusif
dalam beragama. Namun demikian,
hal tersebut dapat disikapi dengan bijak dan toleran dengan membentuk paradigma
berpikir yang tepat dengan kondisi bangsa Indonesia yang plural itu sendiri,
yakni dengan membentuk frame berpikir inklusif. Cak Nur, pemikir Islam
kontemporer Indonesia dengan gagasannya (baca; Inklusif) yang cemerlang mampu
memberikan penyegaran baru atas kondisi masyarakat agama di Indonesia waktu itu
yang berada dalam stagnasi pemikiran ke-Islaman yang dihadapkan pada benturan
kemodernan. Gagasannya ini dilandasi dengan semangat pembahruan pemikiran Islam
yang dinilianya merosot, karena Islam hanya dijadikan sebagai alat untuk
mencapai kepentingan politik kelompok tertentu. Penulis tertarik dengan
pemikiran teologi Cak Nur ini, karenanya dalam penulisan ini lebih difokuskan
pada bagaimana teologi inklusif tersebut sebenarnya. Dengan pendekatan
fenomenologi-historis, penulis mencoba membedah pemikiran Cak Nur yang dianggap
“nyeleneh”.
KATA KUNCI
ü Inklusif adalah suatu cara
berpikir dan sikap terbuka atas segala perbedaan yang ada,
ü Pluarlisme adalah paham yang memberikan sikap
terbuka atas segala bentuk atau ragam perbedaan yang ada, baik suku, agama, ras
dan lain sebagainya,
ü Liberalisme adalah paham yang memebrikan
kebebasan mutlak untuk memilih suatu perkara sesuai dengan keyakinannya,
ü Sekulerisme adalah paham yang mengajarkan
pemisahan urusan agama dan dunia,
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Agama[2] diyakini dan dirasakan
oleh pemeluknya sebagai sumber ketenangan karena agama memberi arah serta makna
hidup yang pasti. Setidaknya agama diyakini sebagai kebenaran yang pasti, yang
berbeda dengan kebenaran ilmiah dan filsafat yang mengandung berbagai
kemungkinan dan selalu menyisakan ruang keraguan. Kebenaran ilmiah akan tetap
melahirkan keraguan dan kritik terus menerus, begitu pula dengan kebenaran
filsafat yang radikal secara klritis telah berjasa besar bagi dinamika
perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang zaman. Dan untuk itu kebenaran yang
dimiliki ketiganya akan tetap ada, karena sejatinya agama, filsafat dan ilmu
pengetahuan akan saling melengkapi satu sama lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman modern seperti
sekarang ini sebagaian orang membenci bahkan mencaci agama karena disinyalir
sebagai pemicu bahkan sumber pertikaian,
dan dalam eksistensinya pun telah tersaingi oleh kemajuan iptek modern.
Meskipun demikian, senyatanya penduduk dunia masih tetap memerlukan agama dan
meyakini adanya Tuhan. Terlebih di Indonesia, di mana Negara tidak memberikan
ruang gerak pada warganya untuk tidak
beragama dan tidak percaya pada Tuhan. Orang bebas untuk memilih agama, tetapi
tidak bebas untuk tidak beragama sehingga identitas agama senantiasa
dicantumkan dalam tanda pengenal penduduk atau dalam dokumen lainnya.
Terlepas adanya interpretasi akan adanya berbagai
pendapat dan sikap orang terhadap agama, yang jelas peranan agama dalam
perkembangan dewasa ini masih tetap hidup dan tradisi yang dilahirkannya terus
dijaga dan dibela oleh pemeluknya dari zaman ke zaman. Bahkan tidak sedikit ada
yang membela dengan cara “mengangkat pedang dan menanam bom”. Berangkat dari
pernyataan tersebut, peran dan fungsi agama menjadi kerdil bahkan tidak sejalan
dengan cita-cita awal agama itu sendiri untuk memberikan kedamaian dan ketenangan
batin bagi setiap pemeluknya. Seolah-olah agama menjadi senjata bagi mereka
untuk melakukan gerakan-gerakan dakwah yang sifatnya memaksakan ummat lain
untuk ikut dan taat pada agama yang dianutnya. Hal semacam ini didasari dengan
dalih semangat “jihad” atau tegaknya “kerajaan Tuhan” di muka bumi, dengan
adanya sikap seperti itu merupakan sikap eksklusif[3]
dalam beragama.
Munculnya gerakan-gerakan sosial seperti radikalisme atau pun kekerasan atas
nama agama yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak manusiawi merupakan salah
satu dampak akan adanya sikap ekslusif dalam beragama. Jelas sekali hal
semacam ini perlu adanya suatu resolusi yang berarti untuk dapat menuntaskan
segala konflik sosial yang didasari semangat keagamaan.
Seperti yang telah diketahui, bahwa Indonesia menganut
ideologi Pancasila sebagai suatu ideologi yang mengatur cara berkehidupan
bangsanya yang multi-kultur. Dengan keragaman yang dimilikinya, Indonesia harus
mampu mewujudkan tatanan sosial yang toleran di tengah-tengah pluralisme
masyarakat Inodnesia. Manakala asumsi orang yang mengatakan bahwa wajah agama
dalam ranah realitas kehidupan kita sekarang ini ada yang berwajah garang, ada
pula yang berwajah menyejukan. Ada yang ramah, dan ada juga yang menakutkan.
Namun demikian, hal tersebut dapat disikapi dengan bijak dan toleran dengan
membentuk paradigma berpikir yang tepat dengan kondisi bangsa Indonesia yang
plural itu sendiri.
Ketika kebanyakan umat beragama di Indonesia ini sedang terlelap
dalam tidur panjangnya, seketika kemudian dibangunkan dengan suatu pemikiran
yang kontroversial yakni Teologi Inklusif dan pluralismenya yang mampu membedah
cakrawala berpikir ummat dikala itu. ia adalah Nurcholis Madjid atau yang lebih
akrab disapa Cak Nur
Cak Nur merupakan sosok pemikir Islam kontemporer yang
memiliki wawasan ke-Islaman yang luas, bahkan ia sempat disinggung bahwa pernah
“berguru” langsung pada Fazlur Rahman seorang pemikir Islam kontemporer dari
Pakistan. Dengan modal wawasan yang dimilikinya itu, ia mampu melahirkan ledakan
pemikiran terkait pandangannya yang didasarkan pada kehidupan
sosio-kultur masyarakat Indonesia yang majemuk. Di tengah-tengah kegersangan
berpikir, ia mampu tampil membawa dobrakan yang berarti bagi laju perkembangan
umat beragama di Indonesia, khususnya Islam.
Untuk dapat memahami lebih detail terkait masalah Teologi
Inklusif ini, berikut akan diuraikan pembahasannya.
Metodologi Penelitian
Kasus yang dijadikan
bahan penelitian dalam karya ini terjadi dalam ruang lingkup sosio-kultur
masyarakat di Indonesia masa 1970an yang pada umumnya terpusat pada salah satu
gagasan kontroversial Cak Nur tentang teologi inklusifnya yang menerima ajaran
Sipilis (Sekuler, Plural, dan Liberal), oleh karenanya dalam penulisan karya
ilmiah ini penulis lebih memfokuskan pada studi fenomenologi-historis keagamaan
di Indonesia waktu itu dengan pendekatan deskriptif-naratif di mana agama
dijadikan sebagai faktor perubahan sosial.[4] Dan untuk
itu, penulis mencoba menguraikannya dengan sistematis agar layak dijadikan
sebagai karya ilmiah sesuai standar baku yang telah ditentukan.
Kajian Pustaka
Dalam penulisan karya
singkat ini, penulis berupaya mencari sumber pustaka yang sekiranya relevan
dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang muncul pada masa kini. Sumber
referensi yang penulis gunakan adalah buku-buku terkait persoalan agama pada
khususnya dan studi fenomenologi melalui media massa sebagai sumber referensi
sekunder.
Di samping itu, pun
penulis merujuk pada referensi beberapa pemikiran tentang agama seperti halnya
Cak Nur, Robert . Bellah, Alwi Shihab dan Thomas F. Odea dan lain sebagainya
untuk mendapatkan inspirasi pengetahuan keagamaan penulis. Akan tetapi yang
terpenting dalam hal ini adalah bagaimana teori-teori tentang agama tersebut
mampu mengebumi dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural atau bheineka.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan fokus pembahasan di atas, dalam persoalan tentang teologi
inklusif Cak Nur dipastikan masih terdapat pro dan kontra dari berbagai
kalangan. Dengan demikian, untuk memhami lebih rinci terkait hal itu penulis
memberikan batasan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1.
Seperti apa latar
belakang ke-Islaman Cak Nur?
2.
Apa hakikat dari
Teologi Inklusif Cak Nur?
3.
Tantangan penerapan
teologi inklusif versi Cak Nur ?
PEMBAHASAN
Biografi Nurcholis
Madjid (Cak Nur)
Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau
populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan
budayawan Indonesia yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939
dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66
tahun. [5]
Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya
tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat
banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat
sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia,
dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada
tahun 2005.
Ia dibesarkan di lingkungan keluarga
kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH
Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di
berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi
kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani
studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika
Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu
Taimiyah.
Cak Nur dianggap sebagai ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang
pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya,
terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan
dan ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur dikenal dengan konsep
pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ ke-bhinneka-an keyakinan di
Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan
keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan
tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain,
walaupun memeluk agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar
manusia yang berbeda-beda, dan dalam hal ini Cak Nur mendukung konsep kebebasan
dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai
kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab
penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu
yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan
bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah
konsep yang logis. Manusia akan
bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa
yang diyakini, itulah yang dipertanggungjawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan
menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan
cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap
kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia.
Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran
Islam terutama setelah berkiprahnya ia dalam Yayasan Paramadina dalam
mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Pemikiran Ke-Islaman
Nurcholis Madjid
Sebagai sebuah agama, Islam amatlah pantas untuk
dipertahankan dan diperjuangkan dengan semangat nilai-nilai kemanusiaan,
keterbukaan, dan semangat keberagaman sebagai bagian dari sikap toleransi dan
perwujudan nilai-nilai ukhuwah antar sesama manusia. Dengan jalan itu maka
yakin dan percaya bahwa Islam akan tetap jadi panutan yang pantas bagi semua
umat manusia sekalipun dia bukan bagian dari Islam sebagai agama.
Islam diharapkan tampil sebagai alternatif terakhir dalam
menawarkan konsep-konsep produktif dan pemberi solusi dalam masyarakat yang
terus tergerus invasi globalisasi, serta sebagai pembawa kebaikan bagi semua
umat manusia di muka bumi ini. Islam sebagai agama kemanusiaan juga sebagai
agama terbuka serta menjadi agama masa depan bagi manusia modern ke
depannya, dalam perjalanannya sebagai agama tersukses sepanjang sejarah umat
manusia. Oleh karena itu, Islam dalam kehidupan dunia nyata selalu memiliki
kaitan politik yang erat dalam proses membangun karakter dan identitas dirinya.
Dalam dunia politik Indonesia, Islam selalu jadi bahan perdebatan terlebih
kondisi keIslaman Indonesia yang beragam, berbagai macam mahzab dan aliran yang
mewarnai kancah perpolitikan kita.
Dalam upaya merealisasikan pembaruan
pemikirannya tentang kondisi Islam di Indonesia, Cak Nur berpandangan bahwa
pentingnya umat memahami esensi Islam itu sendiri. Yang terpenting bagi Cak
Nur, bahwa Islam tidak terletak pada simbol atau penampakan simboliknya. Akan
tetapi yang paling utama adalah bagaimana umat diarahkan kepada nilai-nilai esensial Islam yang membebaskan.[6] Di
Indoensia keragaman agama dan budaya yang memiliki tempat yang sama di depan
hukum dan Negara meskipun mayoritas rakyatnya beragama Islam. Dengan demikian,
setiap agama selalu tumbuh berkembang bersama tradisi dan kondisi geografis
setempat.[7] Hal
ini merupakan landasan kemunculan pemikiran terkait pluralisme keberagamaan.[8]
Pernyataan Cak Nur yang cukup
popular adalah “Islam, yes! partai Islam, no!” merupakan penegasan ihwal pentingnya esensialitas keberagamaan
sebagai sarana menuju yang transenden, umat harus keluar dari kungkungan
simbol-simbol yang tidak membebaskan.[9] Pernyataannya
ini dilatarbelakangi oleh banyaknya parpol-parpol yang (sengaja) memakai nama Islam
sebagai simbol untuk menarik dukungan sebanyak-banyaknya. Upaya Cak Nur dalam
mengarahkan umat kepada nilai-nilai esensial Islam pada satu sisi karena
kemunculan Orde Baru yang telah meminggirkan politik Islam. Dan pada sisi yang
lain, kebenciannya terhadap ideologi komunisme mendorong rezim militer
mempromosikan pengajaran agama. Akibatnya, saat Islam politik mandul,
ketertarikan orang-orang terhadap Islam justru kian meningkat.[10]
Ketika munculnya jagon tersebut, Cak
Nur mendapatkan penentangan yang cukup besar karena pemikirannya dinilai
menyimpang dari mainstream yang telah dijadikan pegangan kuat oleh umat. Namun demikian,
suatu pemikiran yang dianggap “menyimpang” tersebut bukan berarti penanda
runtuhnya peradaban atau masa depan umat. Justru hal itu bisa dikatakan sebagai
sinyal menuju masa depan yang menrcerahkan. “Jika ingin mengantisipasi
perkembangan masyarakat masa depan, sebaiknya berpaling kepada para intelektual
yang menyimpang dari arus utama.” Demikianlah menurut Ali Syariati, seorang
intelektual revolusioner Iran.[11]
Dengan demikian, apa yang telah
dilakukan oleh Cak Nur merupakan sebuah bentuk sikap antisipasi yang didasari
oleh komitmen keberagamaan dalam menatap masa depan umat Islam Indonesia. Sikap
antisipasi itu muncul di tengah semakin maraknya umat digiring ke arah yang
bersifat simbolik dan cenderung melupakan yang esensial.
Sebagai seorang intelektual atau
cendikiawan muslim Cak Nur berkali-kali melakukan pembelaan ketika Islam hanya
dijadikan sebagai sarana atau instrumen politik, di mana di dalamnya syarat
dengan kepentingan kelompok. Apalagi ada kecenderungan di antara parpol-parpol
berlabel Islam seakan-akan memonopoli kebenaran. ,padahal agama tidak
mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atau suatu kebenaran, apalagi memaksakan
kebenaran tersebut kepada pihak lain.[12]
Sehingga tidak heran kalau kemudian terjadi konflik horisontal antar pendukung
parpol atas nama kebenaran. Padahal konflik itu terjadi tidak lain hanyalah
karena menyangkut kepentingan yang sifatnya politis, bukan ideologis apalagi
teologis.
Cak Nur seringkali mempertanyakan
idealisme dari parpol-parpol Islam yang dinilainya sudah tidak punya “daya
tarik” lagi. Dan kalau ini tetap
dipertahankan, niscaya umat akan mengalami kemunduran. Hal semacam ini dikarenakan
partai-partai Islam, telah gagal membangun image positif dan simpatik.
Perpecahan atau disintegrasi di kalangan umat Islam sendiri, misalnya, adalah
contoh konkrit di mana partai-partai Islam tidak mampu membangun semangat
kesatuan dan persatuan. Ditambah lagi dengan kasus-kasus penyelewengan kekuasaan
yang dilakukan oleh sebagian besar wakil-wakil dari partai Islam di birokrasi
pemerintahan yang sampai saat ini makin marak terjadi.
Inilah sebuah paradoks keberagamaan
yang lahir dari idealisme utopis. Pada satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di
bawah payung partai Islam, dan pada sisi yang lain mereka lupa meniupkan
nilai-nilai keIslaman sebagai nafas perjuangan.[13]
Akibatnya, dari waktu ke waktu Islam di Indonesia hanya berkembang secara
kuantitas seiring dengan banyaknya partai-partai Islam yang memosisikan diri
sebagai “pengemban aspirasi” umat Islam.
Mereka menganggap bahwa paham Cak
Nur telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur
yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan “Islam Yes,
Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan, sementara
dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk
berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi
gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan
terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
Islam vis a vis
Modernitas
Islam
telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keIslaman pun
semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis
dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya
terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus
memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban,
komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan
mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan
metode dan pendekatan interdisipliner.
Sementara itu, agama atau
keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah
berkembang selama 14 abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti,
baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial,
politik, ekonomi dan budaya.
Islam[14]
semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan
konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua,
tanpa eksklusifisme komunal. Orang muslim harus secara otentik mengembangkan
paham kemajemukan masyarakat (pluralisme sosial), dituntut pula kesanggupan
mengembangkan sikap-sikap saling menghargai antar sesama anggota masyarakat,
dengan menghormati apa yang dianggap paling penting pada masing-masing orang
dan kelompok.
Nilai-nilai universal
selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia.
Nilai-nilai universal itu harus diikatkan kepada kondisi-kondisi nyata ruang
dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat, sebagai dasar etika
sosial. Dan dalam perkembangannya, Islam selalu
dihadapkan dengan tantangan modern yang didalamnya terdapat keanekaragaman
kehidupan baik pemikiran maupun agama.[15]
Kecenderungan masa kini iptek yang mewakili faktor modernisme telah
bersinggungan keras dengan kaum agamawan dalam hal ini Islam, sehingga
kezumudan berfikir ummat terus tertanam. Dengan demikian, Islam harus
senantiasa menyesuaikan dengan semangat zaman yang ada.[16]
Kaum
modernis menuding kaum agamwan justru melestarikan pemusnahan manusia dan
lingkungannya. Asumsi gerakan modern yang menempatkan pemikiran atau akal (intellect/ reason) di atas wahyu, atau
bahkan mengesampingkannya, merupakan salah satu gugatan yang mempertemukan
kelompok agamawan dan penganut gerakan modernisme.[17]
Berbeda
dengan agama, gerakan modern mencakup wilayah yang luas dari berbagai kelompok
dengan ragam pemikiran, walaupun bersatu pada rasa kecemasan terhadap kehidupan
masa kini. Sisi gelap dari gerakan ini menggambarkan rasa putus asa, yang
berbicara tentang kehancuran yang tak terelakan dan kebenaran serta kepastian
yang tidak mungkin dicapai.[18] Untuk memberikan resolusi atas pertentangan
kaum modernis dengan agamawan adalah dengan mendamaikan diantarnya dengan suatu
sikap yang disebut dengan inklusifisme dan pluralisme dan toleransi dalam
beragama.[19]
Hubungan agama dan
agama-agama harus dirawat melalui toleransi dengan memahami bahwa Allah telah
mendamaikan dirinya dengan orang yang tidak bertuhan (berikut dengan agamanya) melalui
anugerah, seperti kesabaran (pengendalian diri) yang ditunjukkan oleh Kristus. Secara
analogis, agama lain harus dilihat seperti manusia yang keras kepala dilengan
ibunya, dimana Allah tetap melakukan tindakan penyelamatan walaupun ia
ditentang.[20] Jenis toleransi ini, hanya dapat mungkin
dilakukan oleh siapa yang siap untuk merendahkan agama dan dirinya sendiri
bersama dengan manusia, dengan setiap masing-masing individu, mengetahui bahwa
mereka pertama dan agama mereka, membutuhkan toleransi, sebuah toleransi yang
teguh dan sabar.
Dalam hal ini, toleransi
bukanlah merupakan suatu semangat untuk bersikap tidak berlebihan terhadap
penganut dan religiusitas agama lain. Toleransi yang dimaksud adalah melatih
pengendalian diri terhadap mereka yang telah mengatakan pada diri mereka
sendiri bahwa iman mereka bukanlah satu-satunya iman, bahwa fanatisme adalah
hal yang buruk, bahwa kasih harus selalu menjadi kata pertama dan terakhir.[21]
Toleransi tidak boleh
dibingungkan oleh sikap menyendiri orang yang rasionalistis yang berpendapat
bahwa dia dapat merasa nyaman dan pada
akhirnya berhasil dengan semua agama-agama melalui konsep agama yang benar. Dan
juga toleransi tidak harus dibingungkan dengan relatifisme dan skeptisime yang
tidak memihak, yang tidak mempertanyakan kebenaran dan ketidakbenaran dalam
fenomena keberagamaan.[22] Pandangan-pandangan
tersebut sebenarnya memandang bahwa agama-agama dan manusia sebagai masalah
yang serius. Jika toleransi yang dimaksud adalah sikap yang tidak berlebih-lebihan,
pemahaman superior atau skeptisisme, maka sebenarnya toleransi tersebut
merupakan sikap terburuk ketidak-toleranan.
Di
tengah kejumudan berpikir yang menimpa kalangan umat Islam, Cak Nur menawarkan
gagasan progresifnya terkait keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah
integrasi umat. Gagasan ini tak pelak menimbulkan kontroversi yang
berkepanjangan. Bahkan ada yang menganggap ide Cak Nur itu tak lebih hanyalah
sebagai bagian dari upaya penghancuran terhadap ajaran Islam yang sudah mapan.
Realitas kejumudan di mana
masyarakat masih lebur dalam euforia romantisme masa lalu, yakni berkutat
dengan nilai-nilai tradisional dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral,
membuat Cak Nur semakin gelisah sehingga ia memberanikan diri menerobos dinding
kejumudan yang sedemikian kokoh dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur
menegaskan pentingnya proses pembebasan di mana masyarakat harus digiring
kepada nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Proses pembebasan ini,
menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi sekulariasasi, keterbukaan (inklusif)
dan lain sebagainya.[23]
Tanpa adanya upaya progresif semacam
itu, umat Islam tidak akan mampu meneropong masa depan yang gemilang. Upaya
untuk mengembalikan masa kejayaannya sebagaimana pada beberapa abad sebelumnya
hanya akan menjadi utopia belaka.[24]
Bagaimana mungkin peradaban akan dibangun jika pemikiran umat Islam tidak
menunjukkan sinyal pencerahan yang progresif dan dinamis. Kemudian pada sisi
yang lain umat menganggap ide pembaruan yang sangat universal itu sebagai
ancaman yang harus ditolak. Sehingga tidak heran kalau kemudian muncul
keyakinan ekslusif yang terkesan “dibuat-buat” yang mengasumsikan bahwa Islam
sudah tidak membutuhkan pembaruan karena Islam sudah syarat dengan pembaruan
itu sendiri.[25]
Di sinilah letak kesalahan paradigma
atau pola pikir yang sedang menghinggapi sebagian besar kalangan umat Islam
hingga saat ini. Realitas kejumudan tidak disadari sebagai suatu fenomena yang
membahayakan masa depan umat Islam sendiri, ibarat duri dalam daging. Suatu saat
pola pikir semacam itu akan menghambat kemajuan dalam konteks apa pun. Karena
itu, gagasan yang diusung oleh Cak Nur pada dasarnya berangkat dari semangat
Al- Qur’an sebagai way of life, dengan interpretasi yang lebih
menyegarkan. Bukan ide baru yang tidak berpijak pada semangat qur’ani.
Kajian agama, termasuk Islam,
seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan
ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi
agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan
pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai
lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang
kemudian memunculkan orientalisme.
Inklusiftas Ummat
dalam Beragama
Dalam kata pengantar buku Tiga Agama
Satu tuhan, Cak Nur menulis bahwa setiap agama merupakan jalan yang sama untuk
menuju Tuhan. “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat
Inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis.” Sebagai
contoh filsafat perennial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog
antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa
setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.
Ibarat roda, pusat adalah Tuhan, dan jari-jari adalah jalan dari berbagai
agama/ filsafat perennial juga membagi agama pada level esoteric (batin) dan
eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik,
tetapi relative sama dalam level esoterik. Oleh karena itu ada istilah “Satu
Tuhan Banyak Jalan”.[26]
Pada dasarnya agama-agama
tidak lain hanyalah jalan-jalan menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Oleh
karenanya, konsep pluralisme terdapat unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli)
atau suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak
sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia.
Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis atau
tradisional dan konservatif pada sumber ajaran Islam.[27]
Pluralisme
agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk mencari
pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun
praktis dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama.
Antara lain dan paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana
dialog antarumat beragama. Ada dua
komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog yang digarisbawahi oleh
para ahli. Pertama adalah toleransi,
dan Kedua adalah Pluralisme.[28]
Pluralisme
tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang
dimaksud adalah keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme,
yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral
dari agama baru tersebut.[29]
Begitu pula dengan sekularisasi, sekularisasi
tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah
nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia tertutup yang baru yang berfungsi
sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk
perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam,
akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai
yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal.
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan
sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology,
a new closed world view which funtion very much like a new religion.
Demikianlah penegasan Cak Nur ketika mendapatkan banyak kritikan mengenai
pembaruan pemikirannya tentang pentingnya sekularisasi.
Masih terngiang hingga saat ini
suara-suara sumbang yang tidak sepaham dengan jalan pikiran Cak Nur.
Sekularisasi dianggap sebagai suatu proses penerapan sekularisme. Padahal
sekularisasi pada dasarnya berbeda pengertiannya dengan sekularisme. Meminjam
bahasanya Robert N. Bellah, sekularisasi yang dimaksudkan adalah proses
temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun oleh banyak
orang cenderung dianggap transenden dan disucikan.
Seadangkan sekularisme itu sendiri
adalah paham keduniawian yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi
masalah-masalah duniawi. Paham tersebut mengatakan bahwa kehidupan duniawi
adalah mutlak dan terakhir. Mereka tidak percaya adanya hari kemudian, di mana Islam
seringkali menamakannya sebagai hari kebangkitan. Seorang sekularis menolak
pemakaian prinsip ketuhanan dalam menyelesaikan masalah-masalah duniawi
manusia. Mereka percaya sepenuhnya pada kekuatan rasio sebagai instrumen untuk
menemukan kebenaran terakhir. Dengan demikian, menurut pemahaman Cak Nur, bisa
dikatakan bahwa seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, adalah orang atheis.
Sebaliknya, seorang sekular yang tidak konsekuen akan mengalami kepribadian
yang pecah (split personality).
Berangkat dari pemahaman di atas,
maka tentu saja sekularisme bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab sekularisme
membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau
bertentangan dengan hampir seluruh agama yang ada di muka bumi ini, apalagi
dengan Islam. Bahkan Al-Qur’an sendiri menggambarkan orang-orang sekularis
sebagai kelompok yang kafir, mengingkari Tuhan beserta ketetapan-ketetapannya :
“Mereka ( orang-orang kafir itu) berkata: ‘Tidak ada kehidupan kecuali
kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu
yang membinasakan kita, kecuali masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang pasti tentang hal itu. mereka hanyalah menduga-duga saja.”
(Q.S. Al-Jatsiyah: 24).
Demikianlah gambaran Al-Qur’an
tentang orang-orang sekularis. Akan tetapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa
ide Cak Nur tentang sekularisasi adalah bagian dari upaya mewujudkan
nilai-nilai sekularisme itu sendiri. Sebab sekularisasi dalam perspektif Cak
Nur pada dasarnya adalah suatu proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses
itu terjadi pemberian yang lebih besar daripada sebelumnya terhadap kehidupan
duniawi ini. Karena bagaimana pun kita adalah makhluk sekular, makhluk yang
masih hidup di dunia.
Harvei Cox, sebagaimana dikutip oleh
Cak Nur membedakan pengertian antara sekularisasi dan sekularisme : “Bagaimana
pun, sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan
mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda, tergantung kepada
sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun
ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya
proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat
dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan
pandangan dunia metafisis yang tertutup. Telah kita tegaskan bahwa
sekularisasi, pada dasarnya, adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan
sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang
tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.”
Masalah sekularisasi dan sekularisme
memang “hanya” persoalan istilah. Akan tetapi Cak Nur paham betul ihwal makna
serta implikasi dari kedua istilah tersebut sama perbedaannya antara rasionalis
dan rasional, antara rasionalisasi dan rasionalisme. Karena itu, ia tidak mau
disebut dirinya sebagai seorang sekularis yang berarti penganut sekularisme,
atau rasionalis yang berarti pemuja rasionalisme atau kemutlakan rasio.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa
ide Cak Nur tentang sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya
dzat yang bersifat transendental. Akan tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai
yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
PENUTUP
Kesimpulan
Islam telah menjadi kajian yang
menarik minat banyak kalangan. Studi keIslaman pun semakin berkembang, Islam
tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah
menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian
petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya.
Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi
dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak
lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan
interdisipliner.
Realitas kejumudan di mana
masyarakat masih lebur dalam euforia romantisme masa lalu, yakni berkutat
dengan nilai-nilai tradisional dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral,
membuat Cak Nur semakin gelisah sehingga ia memberanikan diri menerobos dinding
kejumudan yang sedemikian kokoh dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur
menegaskan pentingnya proses pembebasan di mana masyarakat harus digiring
kepada nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Proses pembebasan ini,
menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi sekulariasasi, Skap inklusif
beragama.
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang
sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan
masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang
menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber
ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur telah menyimpang dari
teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah.
Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Hubungan agama dan agama-agama harus dirawat melalui toleransi dengan
memahami bahwa Allah telah mendamaikan dirinya dengan orang yang tidak bertuhan
(berikut dengan agamanya) melalui anugerah, seperti kesabaran (pengendalian
diri) yang ditunjukkan oleh Kristus. Secara analogis, agama lain harus dilihat
seperti manusia yang keras kepala dilengan ibunya, dimana Allah tetap melakukan
tindakan penyelamatan walaupun ia ditentang.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa
ide Cak Nur tentang sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya
dzat yang bersifat transendental. Akan tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai
yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
Saran
Dalam penyusunan karya
tulis ini, masih terdapat banyak kekurangan yang mesti harus diperbaiki. Dan
untuk itu sekiranya handai taulan dapat memberikan masukan yang membangun untuk
perbaikan karya tulis penulis untuk ke depannya.
Namun
penulis berharap untuk ke depannya dalam penyusunan karya tulis yang serupa
dengan topik ini sekiranya mampu menjelaskan atau setidaknya membuat interpretasi
baru dan menarik terkait pemahaman teologi inklusif Nurcholis Madjid. Dalam
pengkajiannya, penulis lebih menitikberatkan pada bagaimana Cak Nur memberikan
interpretasi tentang ke-Islamannya yang diracik sedemikian rupa dalam wacana
ke-Indonesiaan dan Ke-modernan.
Semoga apa
yang penulis suratkan dalam karya tulis sederhana ini dapat menjadi referensi
dan warna baru bagi pemikiran kita semua, selebihnya penulis mengharapkan
segala masukan positif yang berarti bagi perbaikan karya-karya berikutnya, dan
terutama bagi handai taulan yang ingin menyelami samudera pemikiran Cak Nur senantiasa
dapat lebih dalam dan memahami dengan baik konsepsi yang telah Cak Nur
torehkan. Dan kepada Allah semata saya sandarkan segala usaha yang telah
dilakukan dalam membentuk pribadi yang memahami inklusifitas dalam beragama.
الحمد لله رب العالمين
DAFTAR
BACAAN
Akmal
Tarigan, Azhari. 2007. Islam Mazhab HMI; Tafsir tema Besar NDP. Kultura.
Jakarta
Hidayat,
Komarudin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
------------------------------.
2011. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermaneutik.
Mizan. Bandung.
Kahmad,
Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Agama. Pustaka Setia. Bandung
Madjid,
Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina.
Jakarta
--------------------------.
2008. Islam, Kemodernan dan Keindoensiaan. Mizan. Bandung.
--------------------------.
2004. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina. Jakarta.
Magnis,
Frans. & Suseno. 1988. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan
Modern. Gramedia.
Jakarta
Shihab,
Alwi. 1997. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Mizan.
Bandung
[1] Penulis adalah mahasiswa Pasca
Sarjana UIN SGD Bandung jurusan Religious Studies semester 2 (dua), Email :
areadone88@gmail.com
[2] Agama secara gramatikal adalah
tidak kacau, lebih lengkap menurut Wuraish Shihab dalam kata pengantar buku
Agama Punya Seribu Nyawa, mendefiniskan agama sebagai hubungan manusia dengan
satu kekuatan yang jauh melebihinya dimana manusia patuh kepada kekuatan itu
yang kemudian makna “kekuatan” ditekankan pada Sang pencipta alam, yakni
Tuhan. Lihat Komarudin Hidayat, Agama
Punya Seribu Nyawa, (Jakarta; Noura Book, 2012), Hlm. Vi
[3] Eksklusif merupakan sikap menutup
diri dan atau menganganggap individu atau kelompoknya sebagai satu-satunya yang
memiliki kebenaran mutlak sejati, sehingga apa yang ada diluar dirinya adalah
keliru dan tidak sesuai dengan apa yang ada dalam individu atau kelompok
tersbut. Lihat George B. Grose dan Benjamin J. Hubbard (ed.), Tiga Agama
Satu Tuhan; Sebuah Dialog, (Bandung; Mizan, 1998), Hlm. xix
[4] Dadang Kahmad, Metodologi
Penelitian Agama, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), Hlm. 75-77
[6] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin
dan Peradaban, edisi baru, (Jakarta; Paramdina-Dian Rakyat (cetak), 2008),
Hlm. 34
[7] Ibid., Agama Punya…, Hlm.
223-224
[8] Ibid., Satu Tuhan…, Hlm. Xix
[9] Nurcholis Madjid, Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan,Edisi baru (Bandung; Mizan,2008),Hlm. 16
[10] Ibid., Hlm. 17
[11] Komarudin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, (Bandung; Mizan, 2011), Hlm 32
[12] Alwi Shihab, Islam Inklusif;
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan,1997), Hlm.15
[13] Nurcholis Madjid, Pintu-pintu
Menuju Tuhan, Cetakan VIII, (Jakarta; Paramadina, 2008), Hlm 56
[14] Menurut Azhar Islam merupakan suatu
sikap pasrah yang dilandasi keyakinannya terhadap sesuatu yang maha dahsyat. Lihat
Azhari Akmal tarigan, Islam Mazhab HMI, (Jakarta; Kultura, 2008),
Hlm. 21
[15] Ibid., Nurcholis Madjid, Islam,
Kemodernan…, Hlm. 28
[16] Ibid., Hlm. 30
[17] Ibid., Hlm. 34
[18] Frans Magnis &
Suseno. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. (Jakarta;
Gramedia, 1988), Hlm. 78
[19] Ibid., Nurcholid Madjid, Islam,
Kemodernan…., Hlm. 43
[20] Ibid., Alwi Shihab, Islam
Inklusif; Menuju…., Hlm. 132
[21] Ibid.,
[22] Ibid., Hlm. 133
[23] Ibid., Nurcholis Madjid, Islam,
Doktrin…, Hlm. 111
[24] Ibid., Hlm. 113
[25] Ibid., Alwi Shihab, Islam
Inklusif; Menuju Sikap…, Hlm. 89
[26] Ibid., George B. Grose dan
Benjamin J. Hubbard, Tiga Agama…, Hlm. xix
[27] Ibid., Komarudin Hidayat, Memahami…,
Hlm. 67
[28] Ibid., Alwi Shihab, Islam
Inklusif; Menuju…,Hlm. 15
[29] Ibid., Hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar