Metode dan Mazhab Tafsir[1]
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai
mukjizat Nabi Muhammad, terbukti mampu menampilkan sisi kemukjizatannya yang
luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga
pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga
ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Al-Qur’an selalu
dijadikan sebagai pedoman dalam setiap
aspek kehidupan dan Al-Qur’an
merupakan kitab suci ummat Islam yang selalu relevan sepanjang
masa. Relevansi kitab suci ini
terlihat pada petunjuk-petunjuk yang diberikannya kepada
umat manusia dalam berbagai aspek
kehidupan yang tidak hanya berbicara tentang
moralitas dan spritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan kehidupan umat manusia.
Allah telah menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi
Muhammad saw melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab
yang sempurna bukanlah tanpa adanya alasan dan tujuan yang jelas. Al-Qur’an
yang diturunkan Allah untuk ummat
manusia dijadikan sebagai hudan,
bayyinah, dan furqan. Sebagaimana Allah berfirman :[2]
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 Ïf ãPuqø%r& çÅe³u;ãur tûüÏZÏB÷sßJø9$# ............
“Sesungguhnya
Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min...”
Pemaknaan yang terkandung
dalam Al-Qur`an terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah
hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir
dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga
muncullah banyak penafsiran tentangnya, terutama terkait dengan susunan kalimat
yang singkat dan sarat akan makna. Inilah sebabnya untuk
memahami Al-Qur’an di kalangan
ummat Islam selalu
muncul berbagai multi
interpretasi atas ayat yang ada dalam Al-Qur`an seiring kebutuhan dan tantangan
yang mereka hadapi. Kendatipun
demikian, hal tersebut menjadi warna tersendiri dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Agar fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus
menemukan makna firman Allah SWT saat
menafsirkan Al-Qur’an. Upaya untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk
mencari dan menemukan makna- makna yang terkandung di dalamnya. Muhammad
Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa Al-Qur’an
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai
pemikiran dan penjelasan pada tingkat
wujud adalah mutlak. Dengan
demikian ayat selalu terbuka untuk diinterpretasi pada perkara baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[3]
Corak penafsiran Al-Qur’an tidak terlepas dari perbedaan,
kecenderungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan
kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta
perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang
berkembang menjadi aliran yang
bermacam-macam dengan metode-metode yang
berbeda-beda.
Banyak ulama tafsir yang
telah menulis beberapa karya tentang metode penafsiran Al-Qur’an. Dari para
ulama itu muncullah berbagai macam model dan metode penafsiran dalam rangka
menyingkap pesan-pesan Al-Qur’an secara optimal sesuai dengan kemampuan dan
kondisi sosial mereka. Diantara metode penafsiran yang popular dikalangan para
ulama tafsir adalah metode tahlili (analitik), metode Ijmali (Global),
metode muqaran (komparatif), dan metode mawdu`i (tematik).
Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
menyangkut berbagai metode
yang digunakan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dan lebih ditekankan pada pengertian metode
dengan kosakata yang berkaitan dengan metode tafsir seperti metode, aliran,
cara, orientasi, dan corak. Kemudian dilanjutkan
dengan perkembangan metode
tafsir, pembagian metode tafsir kelebihan dan kelemahannya dan terakhir
pembahasan mengenai metode
yang relevan untuk penafsiran masa kini.
Sebelum jauh memahami berbagai metode tafsir dalam memahami
Al-Qur`an, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui makna dan
perkembangan tafsir itu sendiri sebagai bagian dari cara untuk memahami makna
yang tersirat di dalam Al-Qur`an. Karena tidak menutup kemungkinan sejarah
tentang perkembangan tafsir juga dapat mempengaruhi terhadap corak dari
berbagai metode tafsir yang telah ada dan berkembang sampai saat ini.
PENGERTIAN METODE TAFSIR
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan
kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan
saja, corak penafsiran Al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an. M. Quraish Sihab mengungkapkan bahwa dalam
perkembangannya, ilmu tafsir dengan berbagai metodenya memiliki corak
masing-masing dalam melakukan penafsiran terlebih karena adanya pengaruh fiqih,
tasawuf, atau bahkwan tasawuf sekalipun.
Namun sebelum jauh mengenal corak-corak yang mempengaruhi
terhadap perkembangan metode tafsir, terlebih kita memahami dahulu tafsir dan
metodenya itu sendiri. Istilah metode diambil dari bahasa inggris yaitu method
artinya serangkaian praktek, prosedur dan aturan yang digunakan dalam suatu
disiplin ilmu atau penyelidikan, dan dari bahasa latin methodus yang
kemudian diserap dalam bahasa yunani menjadi methodos yang berarti cara
atau jalan. Sedangkan dalam bahasa arab metode diartikan sebagai manhaj atau
minhaj artinya jalan yang terang. Demikian maskud metode adalah suatu jalan
atau cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu
pengetahuan.[4]
Lebih lanjut menurut Steven J. Taylor mengungkapkan bahwa Metode merujuk pada
proses, prinsip, dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan
menemukan jawabannya. [5]
Sedangkan istilah tafsir secara etimologis diambil dari kata fassar-yufassiru-tafsiran
yang berarti keterangan atau uraian, Al-Jurjani berpendapat bahwa kata
tafsir adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan
melahirkan. [6]
secara terminologis, tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud
firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia/ mufassir. Sedangkan
tujuannya itu sendiri adalah untuk mengklarifikasi maksud sebuah teks.[7]
Dalam beberapa pendapat seperti yang dikemukakan Az-Zarkasyi,
tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkan
kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya. Sedangkan menurut Syekh Al-Jaziri
dalam Shahih At-Taujih mengemukakan bahwa tafsir pada hakikatnya adalah
menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha
mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dilalah-nya. [8]
Dalam mempelajari tafsir, yang menjadikan objek awal tafsirnya
itu sendiri adalah teks Al-Qur`an, dengan memberikan perhatian penuh pada teks
tersebut agar jelas maknanya. Selain itu, juga memberikan arti fungsi secara
simultan mengadaptasikan teks pada situasi yang sedang dihadapi mufassir.
Dengan kata lain, kebanyakan penafsiran tidaklah murni teoritis, ia memiliki
aspek praktis untuk membuat teks dapat diterapkan dalam memantapkan keimanan
dan menjadi pandangan hidup orang mukmin.
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para
sahabat. Rasulullah beserta para sahabatnya mentardisikan, menguraikan dan
menafsirkan Al-Qur`an sesaat setelah turunnya ayat tersebut. Tradisi itu terus
berlangsung sampai wafatnya Rasulullah. Dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
pada saat itu dikenal dengan tafsir bil al-matsur sebagai tafsir
yang bersumberkan dari Nabi, Sahabat, Tabiin, Tabi`it tabi`in sampai
diturunkannya ke setiap generasi melalui periwayatan.[9]
Tradisi penafsiran melalui tafsir bil al-matsur berlangsung sampai
periode awal pengkodifikasian hadits, yang pada saat itu tafsir merupakan salah
satu bagian kitab hadits itu.[10]
Menjelang akhir pemerintahan bani umayah dan awal pemerintahan
bani abbas, yakni tatkala terjadi pengkodifikasian secara besar-besaran
beberapa disiplin ilmu, barulah tafsir terpisah dari kitab hadits dan menjadi
sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Maka disusunlah kitab tafsir ayat
per ayat berdasarkan susunan mushaf. Pekerjaan dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur`an ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama
seperti Ibn Majah yang wafat pada tahun 310 Hijriah dan An-Naisabury yang wafat
pada tahun 318 Hijriah, kegiatan penafsiran seperti ini berlansung sampai sekarang
ini.[11]
Semenjak saat itulah tafsir berkembang dan tumbuh seiring
dengan keragaman yang dimiliki para mufassir sehingga sampai kepada bentuk yang
sampai saat ini dapat dilihat. Akan tetapi perlu didingat, bahwa dalam
melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an, seorang mufassirin tidak
dapat dilepaskan dari corak pemikirannya atau bahkan kepribadiannya yang
menjadi latar belakang dalam memaknai, menguraikan dan menafsirkan suatu ayat
dalam Al-Qur`an, seperti halnya corak dari tafsir sufistik, tafsir fiqih,
tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima`i. Dari berbagai corak tafsir
tersebut dinukilkan secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan kelahirannya dengan
tafsir bil al matsur.
Kelahiran tafsir sebagai sautu disiplin ilmu telah banyak
melahirkan berbagai metode tafsir Al-Qur`an seperti metode Ijmali Global)
yang cenderung memiliki bentuk bil matsur,[12] tahlili
(Analitis) sebagai metode tafsir yang lahir sebagai bentuk jawaban dari
perkembangan pemikiran ummat terhadap penafsiran Al-Qur`an yang didasarkan pada
tafsir ra`yi,[13]
dengan banyaknya penafsiran ulama terhadap ayat-yat Al-Qur`an tanpa menafikan
banyaknya pengaruh dari corak pemahaman tafsir itu sendiri seperti tasawuf,
fiqih, bahasa, bahkan falsafi, maka tafsir muqarin (Perbandingan) terlahir
sebagai metode tafsir yang memuat perbandingan pandangan terkait corak yang
dimiliki mufassirin seperti munculnya kitab tafsir Darrat al-Tanzil wa Ghurrat
al- Ta’wil karya al-Iskaf, dan pada perkembangan tafsir berkitunya terlahir
pula metode tafsir maudhu`i (tematik) sebagai upaya untuk memudahkan
pemahaman dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an berdasarkan tema-tema tertentu
semisal tentang ilmu, ibadah, agama dan lain sebagainya tanpa harus melakukan
penelusuran lebih lama dengan menguras banyak waktu.
Dari
berbagai metode tafsir yang ada sampai sekarang ini, kesemuanya dapat
memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an. Ummat
merasa terayomi oleh
penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an. Maka pada
perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diikuti oleh
ulama-ulama tafsir, bahkan berkembang dengan sangat pesat dengan menyandarkan
ke dalam dua bentuk penafsiran yaitu tafsir al-ma’tsur dan al-ra’y
dengan berbagai corak yang dihasilkannya,[14]
seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’I dan lain-lain.[15]
Lahirnya
metode-metode tafsir
tersebut, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang
selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka
adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat
(asbab al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika
ayat-ayat Al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami
ayat-ayat Al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya
umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan
isyarat dan penjelasan secara global (ijmal). Itulah sebabnya Nabi tak
perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian
suatu ayat atau kata di dalam Al-Qur’an.
Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa
kebutuhan ummat Islam saat itu terpenuhi
olah penafsiran yang singkat (global),
karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak
dapat dipungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan
para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode Ijmali terasa lebih praktis
dan mudah dipahami, kemudian
metode ini banyak
diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal,
seperti : Al-Suyuthi dan Al-Mahalli di dalam kitab tafsir yang monumental yaitu kitab tafsir Jalalain, dan Al-Mirghani
di dalam kitab Taj Al- Tafsir, dan lain-lain. Tetapi pada periode berikutnya,
setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak
bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan
pemikiran Islam.[16] Maka, konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam.
Corak-corak
Tafsir
1)
Tafsir Sufistik
Dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, telah memunculkan ilmu tasawuf yang memberikan
corak pada ilmu tafsir.[17]
Terdapat dua aliran dalam tasawuf yaitu :
a)
Aliran tasawuf teoritis (Falsafi)
Dalam aliran ini banyak tokoh-tokoh
tasawuf yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan
mendalami Al-Qur`an dengan sudut pandang teori-teori tasawuf mereka dengan
menakwilkan ayat-ayat Al-Qur`an tanpa mengikuti cara yang benar seperti
penyimpangan dalam pengertian tekstual yang telah dikenal kebenarannya dalam
segi bahasa. Adz-Dzahabi mengemukakan temuannya dalam kitab tafsir Isyari,
bahwa di dalamnya tedapat penafsiran Al-Qur`an secara parsial yang dinisbatkan
kepada Ibn `Araby pada kitab Futuhat Al-Makiyyah dan Al-Fushush yang ditulis oleh
Ibn Araby.
b)
Aliran tasawuf praktis (Akhlaqi)
Tasawuf praktis adalah cara hidup
sederhana, zuhud, dan sifat meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Ulama
aliran ini menamai karyanya dengan tafsir isyarat, yakni menakwilkan
Al-Qur`an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya seperti
isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk
(perjalanan menuju Allah).
Para sahabat pun banyak yang mengungkapkan
tafsir isyarat ini berbarengan kemunculannya dengan tafsir bil al matsur.
Tafsir sufistik dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
(1)
Tidak menafikan makna lahir (Pengetahuan tekstual Al-Surqan),
(2)
Penafsirannya diperkuat oleh dalill syara` yang lain,
(3)
Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara` atau rasio
(4)
Penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin)
itulah yang dikehendaki Allah, bukan pengertian tekstualnya dan mengakui
pengertian tekstual terlebih dahulu.
Kitab-kitab tentang tafsir sufistik
diantaranya :
(1)
Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim, karya imam At-Tusturi (w. 283 H),
(2)
Haqa`iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412),
(3)
Arais Al-Bayan fi Haqa`iq Al-Qur`an, karya Imam Asy-Syirazi (w.
283)
2)
Tafsir Fiqih
Tafsir
fiqih semakin berkembang seiring dengan majunya intensitas ijtihad. Pada
awalnya, penafsiran-penafsiran fiqih terlepas dari kontaminasi hawa nafsu dan
motivasi negatif. Hal ini berlahangsung sampai munculnya mazhab fiqih yang
berbeda-beda. Banyak para ulama melakukan ijtihad di bawah naungan Al-Qur`an
dan Hadits dalam melakukan penetapan hukum yang tidak diperinci dalam
Al-Qur`an.
Setelah
kemunculannya imam besar mazhab fiqih, banyak diantara ummat yang fanatik
sehingga banyak melahirkan macam-macam tafsir fiqih menurut mazhab yang
dianutnya, seperti mazhab khawarij, syiah dan lainnya. Diantara kitab tafsir
fiqih diantaranya :
a)
Ahkam Al-Qur`an, Karya Al-jashash (w. 370)
b)
Ahkam Al-Qur`an, karya Ibn Arabiy (w.543)
c)
Al Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, karya Al-Qurtubhy (w. 671)
3)
Tafsir Falsafi
Salah
satu pemicu awal kemunculan keberagaman penafsiran adalah perkembangan budaya
dan pengetahuan ummat Islam. Bersamaan dengan itu, pada masa dinasti Abbasyiah
digalakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab, diantara buku-buku
itu adalah buku filsafat. Dalam menyikapi persoalan ini, ummat Islam terbagi
menjadi dua golongan yakni :
a)
Golongan pertama, menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari
buku-buku karangan para filosof karena bertentangan dengan aqidah dan agama.
Dari golongan ini lahir kitab Mafatih Al-Ghaib, karya Al-Fakhr Ar-Razy (w.606)
b)
Golongan kedua, mengagumi filsafat, banyak diantara mereka
secara tekun dan menerima filsafat selama tidak bertentangan dengan Islam.
4)
Tafsir Ilmi
Allah
telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniyah, di samping ayat-ayat
qur`aniyah. Dengan semangat ini bermunculanlah mufassir yang menafsirkan
ayat-ayat kauniyah dengan bertolak dari proporsi pokok-pokok bahasa, dari
kapasitas keilmuan yang dimiliki, dan dari hasil pengamatan langsung terhadap
fenomena alam. Namun mereka membatasi diri pada penjelasan ayat per ayat secara
parsial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.
Diantara mufassir yang mendalami tafsir
ilmu ini adalah:
a)
Imam Fakhr Ar-Razy dalam kitab Tafsr Al-Kabir
b)
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur`an
c)
Imam As-Suyuthi dalam tafsir Ilmi
5)
Tafsir Adabi-Ijtimai (Bahasa)
Dalam
tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa Al-Qur`an dan
mukjizat-mukjizatnya, menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan
Al-Qur`an tentang kemasyarakatan dan mengatasi persoalan yang yang dihadapi
umat lainnya secara umum. Karya-karya tafsir adabi-ijtimai diantaranya adalah :
a)
Tafsir al-manar, karya Rasyid Ridha (w.1354)
b)
Tafsir al-maraghi, karya Al-Maraghi (w.1945)
c)
Tafsir Al-Qur`an Al-Karim, karya Syaikh Syaltut
Ilmu
Bantu Tafsir
1)
Ilmu bahasa,
2)
Ilmu nahwu (tata bahasa),
3)
Ilmu sharaf (kojugasi),
4)
Ilmu istiqaq (derivasi kata, etimologi)
5)
Ilmu ma`ani (retorika)
6)
Ilmu bayan (kejelasan berbicara)
7)
Ilmu badi` (efektifitas berbicara)
8)
Ilmu qir`at
9)
Ilmu ushuluddin (dasar-dasar agama Islam)
10)
Ilmu ushul fiqih
11)
Ilmu nasikh mansukh
12)
Ilmu fiqih
13)
Ilmu hadits
14)
Ilmu asbab an-nuzul
15)
Ilmu mauhibbah (ilmu yang dianugerahkan Allah khusus untuk
siapa saja yang mengamalkan apa yang diketahui)
KLASIFIKASI METODE TAFSIR
Pada pembahasan awal, telah dibicarakan
bahwa dalam perkembangan ilmu tafsir secara umum terdapat empat macam
metode tafsir, yaitu: metode Ijmali
(Global), Metode Tahlili (analitis),
Metode Muqarin (perbandingan),
dan Metode Maudhu’i (tematik).
Sebelum penulis menguraikan secara singkat masing-asing dari metode
tersebut, sebaiknya terlebih dahulu perhatikan skema berikut :
Komponen
|
Metode
Tafsir
|
Corak
Tafsir
|
Bentuk
Tafsir
|
Global (Ijmali)
|
Analisis (Tahlili)
|
Komparatif (Muqaran)
|
Tematik (Muadhu`i)
|
Riwayah (Ma`tsur)
|
Pemikiran (Ra`yi)
|
1. Tasawuf
2. Fiqih
3. Filsafat
4. Ilmiah (Adabi Ijtimai)
|
Berdasarkan sumbernya, tafsir dibedakan jadi dua, yaitu:
1)
Tafsir bi Al Matsur (bil ar riwayah atau an-naql), adalah
penafsiran al-qur`an yang mendasarkan pada penjelasan Al-Qur`an sendiri,
penjelasan nabi, sahabat, melalui ijtihad dan pendapat (aqwal) tabi`in. dalam
pengertian tersebut ada empat otoritas dalam tafsir al ma`tsur yaitu :
a)
Al-Qur`an yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap
Al-Qur`an sendiri, seperti penafsiran kata muttaqin pada Q.S. Al-Imran:
133. Dengan menggunakan ayat berikutnya sebagai penafsir.
b)
Otoritas hadits Nabi, seperti kata azh-zhulm pada Q.S.
Al-An`am:6
c)
Otoritas penejlasan sahabat, seperti Ibn Abbas terhadap
kandungan Q.S. An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d)
Otoritas penjelasan Tabi`in, seperti penjelasan Q.S.
Ash-Shafaat: 65 dengan sya`ir Imr Al-Qays.
Dalam segi otoritas riwayah ini, sebagian ulama mufassir
seperti Ibn Syaibah dan Ibn Aqil masih memperdebatkan riwayah tabi`in, karena
tabi`in tidak mengetahui secara langsung turunnya ayat. Berbeda dengan Ikrima
dan Ad-Dahhak bin Al-Muzahim yang menerima langsung otoritas mereka. Dalam
pertentangan ini, Quraish Shihab memberikan pandangan bahwa penafsiran nabi dan
sahabat dibagi menjadi dua yaitu La Maja li al Aql fihi (Masalah yang
diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika, dan Fi
majal al-Aql (dalam wilayah nalar) seperti masalah kemasyarakatan.[18]
Kelebihan
tafsir al-ma`tsur diantaranya :
a)
Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur`an,
b)
Memaprakan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan
pesan-pesannya,
c)
Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya
agar tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan.
Kelemahan
tafsir Al-Ma`tsur diantaranya :
a)
Terjadi pemalsuan dalam tafsir,
b)
Masuknya unsur Israilliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur
yahudi dan nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur`an,
c)
Penghilangan sanad,
d)
Terjerumusnya seorang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan
kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok AL-Qur`an kabur,
e)
Seringkali konteks asbab an-nuzul dipahami dari uraian nasikh
mansukh, sehingga dianggap ayat tersebut turun di tengah masyarakat yang hampa
budaya.
Diantara kitab tafsir al-ma`tsur diantaranya :Tafsir Al-Qur`an
Al-Azhim karya Ibn Katsir, Jami Al-Bayan fi tafsir Al-Qur`an karya Ibn Jaris
Ath-Thabari.
2)
Tafsir bi ra`yi,
Tafsir bi ra`yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran
belakangan setelah muncul tafsir al ma`tsur walaupun sebelumnya ra`yi dalam
pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Qur`an.
Apalagi sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. Diantara penyebab
yang memicu kemunculan corak tafsir ra`yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu
keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para
ulama, aneka warna metode penafsiran dan pakar dibidangnya masing-masing,
Seperti yang telah dijelaskan di awal pengertian tafsir ra`yi
menurut Al-Farmawi dimaksudkan menafsirkan Al-Qur`an dengan ijtihad setelah
mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab
ketika berbicara dan mengetahui kosakata arab beserta muatan artinya.[19]
Kemunculan tafsir bi ra`yi juga dilatarbelakngi oleh hasil
interaksi umat Islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal, oleh
karenanya dalam tafsir bi ra`yi banyak dilakukan menggunakan akal yang paling
dominan. Dengan latar belakang inilah banyak diantara para mufassir
mempersoalkannya, diantaranya :
a)
Golongan yang menolak, banyak ulama yang menolak dikarenakan
berbagai alasan diantaranya:
(1)
Menafsirkan Al-Qur`an berdasarkan ra`yi berarti berbicara
firman Allah tanpa pengetahuan,
(2)
Yang berhak menjelaskan Al-Qur`an adalah nabi, ini terlihat
dalam Q.S. An-Nahl : 44,
(3)
Dalam menafsirkan Al-Qur`an tidak sembarangan orang, harus yang
betul-betul paham
b)
Golongan yang mengizinkan, mengemukakan pendapatnya itu yakni :
(1)
Di dalam Al-Qur`an banyak ayat yang menyeru untuk memahami
kandungan Al-Qur`an,
(2)
Seandainya tafsir bi ra`yi dilarang, mengapa ijtihad
diperbolehkan,
(3)
Para sahabat sering berselisih pendapat, ini bukti bahwa mereka
menggunakan ra`yi
Di
dalam tafsir bi ra`yi juga, digolongkan tafsir yang dapat diterima dan ditolak.
Tafsir bi ra`yi dapat diterima apabila selama mampu menghindarkan dari hal-hal
:
a)
Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah
pada suatu ayat,
b)
Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui Allah,
c)
Menafsirkan Al-Qur`an dengan disertai bahwa nafsu dan sikap
istihsan (menilai sesuatu baik berdasarkan persepsinya),
d)
Menafsirkan ayat untuk mendukung suatu mazhab yang salah dengan
cara menjadikan paham mazhab sebagai dasar,
e)
Menafsirkan Al-Qur`an dengan memastikan bahwa makna yang
dikehendaki Allah adalah demikian…tanpa dalil.
Diantara
contoh tafsir ra`yi yang tidak diterima adalah sebagai berikut :
a)
Penafsiran golongan syiah terhadap kata Al-Baqarah (Q.S.
Al-Baqarah :67) dengan Aisyah r.a.
b)
Penafsiran Q.S. Al-Baqarah : 74 tentang anggapan adanya batu
yang berfikir, berbicara dan jatuh karena takut kepada Allah.
Diantara
kitab-kitab tafsir bi ra`yi diantaranya adalah : Mafatih Al-Ghalib karya Fakhr
Ar-Razy, Lubab At-Takwil fi Ma`ani At-Takwil karya AlKhazim.
Sedangkan berdasarkan metodenya, menurut
Quraish Shihab tafsir dibedakan menjadi 4 macam, diantaranya:
1)
Tafsir Ijmali (Global)
Tafsir ijmali merupakan metode tafsir bagian dari tafsir al
ma`tsur (berdasarkan riwayah). Metode tafsir ini mencoba menafsirkan Al-Qur’an
dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika
penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya,
tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an.[20]
Kelebihan
dan kelemahan
Kelebihan
metode ijmali di antaranya, adalah:
a)
Praktis dan mudah dipahami,
b)
Bebas dari penafsiran
israiliyat,
c)
Akrab dengan bahasa al-Qur’an.
Sedangkan
kelemhannya antara lain:
a) Menjadikan
petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial, al-Qur’an merupakan satu-kesatuan
yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain membentuk satu pengertian
yang utuh, tidak terpecah-pecah dan berarti, hal-hal yang global atau
samar-samar di dalam suatu ayat, maka pada ayat yang lain ada penjelasan yang
lebih rinci. Dengan menggabungkan kedua
ayat tersebut akan diperoleh suatu pemahaman yang utuh dan dapat terhindar dari
kekeliruan.[21]
b) Tidak ada ruangan untuk mengemukakan
analisis yang memadai, Tafsir yang memakai metode ijmali tidak menyediakan
ruangan untuk memberikan uraian dan pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan
pemahaman suatu ayat. Oleh karenanya, jika menginginkan adanya analisis yang rinci, metode global tak dapat
diandalkan. Ini disebut suatu kelemahan yang disadari oleh mufassir yang
menggunakan metode ini. Namun tidak
berarti kelemahan tersebut bersifat negatif, kondisi demikian amat posetif
sebagai ciri dari tafsir yang menggunakan metode global.[22]
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmali, yaitu tafsir
al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir
Al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad
Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir al- Muyasasar karangan Syaikh Abdul
al-Jalil Isa, dan sebagainya.
2)
Tafsir Tahlili (Analisis)
Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung di dalam ayat- ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu
mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang
tersusun di dalam al-Qur’an. Maka, tafsir yang memakai pendekatan
ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit
demi sedikit, dengan menggunakan
alat-alat penafsiran yang ia yakini efektif [seperti mengandalkan
pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata
atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji], sebatas kemampuannya
di dalam membantu menerangkan makna
bagian yang sedang ditafsirkan,
sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tahlili, adalah
metode yang berusaha untuk
menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya,
berdasarkan urutan-urutan ayat atau
surah dalam mushaf, dengan menonjolkan
kandungan lafadz- lafadznya,
hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya,
hadis-hadis yang berhubungan dengannya,
pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai
oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
Kelebihan dan kelemahan [23]
Kelebihan metode ini antara lain:
a.
Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas
kepada pada pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
b.
Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat
orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil
ada yang kontradiktif.
c.
Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat,
d.
Mendorong untuk mengkaji
berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.
Adapun kelemahannya adalah :
a.
Penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat diberikan
kepada pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasan yang dikemukakan
di dalamnya terlalu luas dan kadang- kadang ekstrim,
b.
Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
sosial yang tumbuh di tengah masyarakat,
karena metode ini lebih mengutamakan
perbandingan dari pada pemecahan
masalah,
c.
Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan
oleh para ulama daripada
mengemukakan penafsiran-
penafsiran baru.
3)
Tafsir Maudhu`I (Tematik)
Metode tematik ialah metode yang membahas ayat-ayat Al-Qur’an
sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya,
seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci
dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an,
hadis, maupun pemikiran rasional.[24]
Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep
nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al- Qur’an terhadap ekonomi, dan
sebagainya.
M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode meudhu’i mempunyai
dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an
dengan menjelaskan tujuan-tujuannya
secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara
satu dengan lainnya dan juga dengan tema
tersebut, sehingga satu surat
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan
satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Kedua, penafsiran yang
bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat
tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang
dibahas itu.[25]
Lebih lanjut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama
menyajikan kotak berisi
pesan-pesan al- Qur’an yang terdapat
pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan
pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama
nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai
berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang
terdapat tidak hanya pada satu surah saja.[26]
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema Judul atau topik
pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut
metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di
tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain.
Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh
dari berbagai aspeknya sesuai dengan
kapasitas atau petunjuk yang termuat di
dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak
boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat
al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau
terkaan berkala [al-ra’y al- mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode
ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu
tafsir.[27]
Kelebihan
dan kekurangan
Kelebihan metode
ini antara lain :
a. Menjawab
tantangan zaman,
b. Praktis dan sistematis: Tafsir dengan
metode
c. Metode tematik membuat tafsir al- Qur’an
selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman,
d. Membuat pemahaman menjadi utuh.
Adapun
kelemahannya adalah :
- Memenggal ayat al-Qur’an,
- Membatasi pemahaman ayat.
Selain keempat metode diatas, menurut
Abdullah ibn Abbas seorang sahabat Rasulullah mengungkapkan bahwa dalam
memahami Al-Qur`an pengkajian tafsir dapat dikalsifikasikan menjadi empat
wilayah yaitu : [28]
1) Tafsir yang menjelaskan halal dan haram
yang wajib dibaca oleh semua orang,
2) Tafsir yang dijelaskan oleh orang-orang
Arab,
3) Tafsir yang diinterpretasikan oleh para
ulama,
4) Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah
semata terutama ayat-ayat mutasyabihat.
Sedangkan menurut At-Thabari lebih jelas
mengungkapkan bahwa sedikitnya ada tiga materi kajian Al-Qur`an yang dapat
diidentifikasi mufassir dalam menafsirkan Al-Qur`an, yaitu :
1) Ayat-ayat yang hanya dapat ditafsirkan
oleh Nabi SAW. Hal ini disandarkan pada Q.S. An-Nahl : 44,
2) Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah
semata, misalnya ayat yang berbicara tentang turunnya Isa bin Maryam,
3) Ayat-ayat yang bisa ditafsirkan oleh
setiap orang yang memiliki pengetahuan tentang bahasa Al-Qur`an yang meliputi
pemahaman memahami infleksional, pengertian kata yang tidak homonim, dan
pemahaman karakteristik kata sifat deskriptif.
Taufik Adnan Amal menilai bahwa sumbangan At-Thabari di atas
merupakan evolusi teori hermeneutika Al-Qur`an, karena pengetahuan tentang
materi kajian Al-Qur`an merupakan etape awal yang krusial dalam metode tafsir.[29]
Maka dari gagasan inilah metode tafsir baru muncul seperti metode tafsir
hermeunetika atau metode kontekstual.
PENUTUP
Literatur
perkembangan tafsir telah dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Rasulullah
beserta para sahabatnya telah mentardisikan, menguraikan dan menafsirkan
Al-Qur`an sesaat setelah turunnya ayat tersebut. Tradisi itu terus berlangsung
sampai wafatnya Rasulullah.
Dalam
melakukan penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an pada saat itu dikenal dengan tafsir bil
al-matsur sebagai tafsir yang bersumberkan dari Nabi, Sahabat, Tabiin,
Tabi`it tabi`in sampai diturunkannya ke setiap generasi melalui periwayatan dan
berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadits, yang pada saat itu
tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits itu. Penafsiran Al-Qur`an model
seperti ini cenderung mengungkap fakta-fakta sejarah, seiring perkembangan
keilmuan dan gesekan kebudayaan terlahir pula tafsir bi ra`yi yang cenderung
mengedepankan akal sebagai ukurannya.
Selain
sumber-sumber yang dijadikan bahan penafsiran juga tidak dapat dilepaskan bagi
seorang mufassirin tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya atau bahkan
kepribadiannya yang menjadi latar belakang dalam memaknai, menguraikan dan
menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur`an, seperti halnya corak dari tafsir
sufistik, tafsir fiqih, tafsir falsafi, tafsir ilmi, tafsir adabi ijtima`i.
Sehingga mampu melahirkan berbagai tafsir-tafsir yang beraneka ragam.
Diantara pengklasifikasian metode tafsir yang telah diuraikan,
maka dapat ditarik suatu ikhtisar bahwa metode tafsir terbagi menjadi empat
baik dalam bil ma`tsur maupun bi ra`yi,
sekalipun dalam perkembangan ilmu tafsir kontemporer telah dikenal dengan
metode hermeneutika sebagai metode penafsiran modern. Diantara metode tafsir
itu ialah :
1)
Tafsir Ijmali (Global)
2)
Tafsir Tahlili (Analisis)
3)
Tafsir Muqaran (Perbadingan)
4)
Tafsir Maudhu`I (Tematik)
الحمد لله
رب العالمين
BIBLIOGRAPHY
Syukri Saleh, Ahmad. 2007. Metodologi
Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman.
Gaung
Persada Press. Jakarta
Anwar Rosihon. 2008. Ilmu Tafsir. Pustaka
Setia. Bandung
Amal, Taufik Adnan. 2001. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur`an. Penyusun Rizal Panggabean. Forum Kajian
Agama
dan Budaya. Yogyakarta
Palmer, E.Richard. 2005. Hermeuneutika;
Teori Baru Mengenal Interpretasi. Terj. Musnur Hery. Pustaka
Pelajar.
Yogyakarta
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan
Al-Qur`an. Mizan. Bandung
------------------------, 1997. Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudhui`y atas Perbagai Persoalan Umat. Mizan.
Bandung
Baidan, Nashruddin. 1998. Metodologi
Penafsiran Al-Qur`an. Pustaka Pelajar. Jakarta
Jurnal Almawarid edisi XVIII tahun 2008
ditulis oleh Hujair As-Sanaky dengan judul metode tafsir
[1]
Disampaikan pada saat presentasi kelas pada mata kuliah Ilmu Tafsir di Prodi
Religious Studies PPS UIN SGD Bandung, Dosen pengampu Prof. Dr. Rosihon Anwar,
M.Ag
[2]
Q.S. Al-Israa` : 9
[3]
M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan
Al-Qur’an. (Bandung: Mizan). hlm. 72.
[4]
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Alqur`an Kontemporer dalam Pandangan
Fazlur Rahman. (Jakarta; Gaung Persada Press, 2007). Hlm. 41
[5]
Ibid.
[6]
Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir. (Bandung; Pustaka Setia, 2008), hlm. 141
[7]
Ibid., Ahmad Syukri Saleh,, Metodologi Tafsir …hlm. 42
[8]
Ibid., Rosihon Anwar, Ilmu …, hlm. 142
[9]
Ibid., hlm. 165
[10]
Pada saat itu, tafsir belum dikodifikasikan secara khusus surat persurat dan
ayat per ayat dari awal hingga akhir mushaf, akan tetapi yang terjadi adalah
ada sebagian ulama yang melakukan pengumpulan hadits bersamaan pula dengan
dikumpulkannya riwayat-riwayat tentang tafisr yang dinisbatkan kepda Nabi, atau
sahabat, atau tabi`in. Lihat Ibid. Rosihon Anwar, Illmu … hlm.
165
[11]
Ibid.
[12]
Dalam tafsir ijmali pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu
tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir
Al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an. Lihat
Jurnal Almawarid edisi XVIII tahun 2008 ditulis oleh Hujair As-Sanaky dengan
judul metode tafsir, hlm. 268
[13]
Secara etimologi Ra`yi berarti keyakinan (i`tiqad), analogi (qiyas), dan
ijtihad. Sedangkan dalam terminologi tafsir adalah ijtihad, tafsir bi ra`yi
merupakan tafsir dirayah, sebagaimana Adz-Dzahabi mendefinisikan bahwa tafsir
bi ra`yi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad ijtihad
dan pemikiran mufassir setelah menguasai bahasa arab dan metodenya, dalil hukum
yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbab an-nuzul dan nasikh
mansukh. Lihat ibid. Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir,
hlm. 151
[14] Corak sastra bahasa, timbul akibat
banyaknya orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri
di bidang sastra, sehingga
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keinstimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an. Corak
filsafat dan teologi, akibatnya penerjemahan
kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut
agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih
mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya
menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. Corak penafsiran ilmiah,
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat
Al-Qur’an sejalan dengan
perkembangan ilmu. Corak fiqih
atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya
mazhab-mazhab fiqih yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan penafsiaran- penafsiran mereka terhadap ayat-ayat
hukum. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan- gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai
kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Namun semenjak munculnya pemikir
paembaharuan pada masa Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut
mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra
budaya kemasyarakatan. Lihat Ibid. Quraish Shihab. Membumikan
… hlm. 72-73.
[15]
Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-Qur`an.(Jakarta; Pustaka
Pelajar, 1998) . hlm. 6
[16] Perkembangan pemikiran Islam; berbagai peradaban
dan kebudayaan non-Islam masuk ke dalam
khasanah intelektual Islam. Akibatnya kehidupan
ummat Islam menjadi
terpengaruh oleh berbagai khasanah
peradaban dan kebudayaan itu.
[17]
Ibid., Rosihon Anwar, Ilmu …, hlm. 166
[18]
Ibid., Rosihon Anwar. Ilmu…, hlm. 145
[19]
Ibid., hlm. 151
[20]
Ibid., Nashruddin, Baidan. Metodologi Penafsiran…, Hlm. 13
[21]
Sebagai contoh perhatikan firman
Allah dalam q.s. Ar-Ra`du ayat 11
[22]
Ibid., Hlm. 22-27
[23]
Ibid., Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran, Hlm. 143-144
[24]
Ibid., Hlm. 155
[25]
Ibid., M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, Hlm. 74
[26] M. Quraish Shihab. 1997. Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudhui`y atas Perbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan. hlm.
xiii.
[27]
Ibid., Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran, Hlm. 152
[28]
Ibid., Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir … Hlm. 44
[29]
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an. (Yogyakarta; Forum
kajian budaya dan agama, 2001), hlm. 356
Tidak ada komentar:
Posting Komentar