Kamis, 05 Juli 2012

Islam abad XX; Pembebasan kolonialisme barat


Dunia Islam Abad XX; Pembebasan Dari Koloialisme Barat[1]
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi

PENDAHULUAN
Periode modernisasi dalam perkembangan sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi Dunia Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.

Periode ini memang merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan dalam Islam. Gerakan pemabaharuan ini muncul karena dua hal, yakni :[2]
1.       Timbulnya kesadaran dikalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan  diterima  sebagai  ajaran Islam. Ajaran-ajaran  ini  bertentangan  dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat dan tahyul. Oleh karena itu mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi,
2.       Pada  periode  ini  Barat  mendominasi  Dunia  di  bidang  politik  dan  peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Oleh karena  itu, mereka  berusaha  bangkit  dengan  mencontoh  Barat  dalam  masalah- masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power.

Sebagaimana telah didiskusikan pada waktu-waktu yang lalu, ketika tiga kerajaan besar Islam sedang mengalami kemunduran di abad ke-18, Eropa Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran, karena tidak hanya mendapat serangan dari kerajaan Turki, tetapi juga mendapat serangan dari kalangan Dinasti yang tunduk pada Safawiyah yang ingin merdeka, yaitu berturut-turut Raja Afganistan, sehingga pada tahun 1722 M berhasil menduduki Asfahan, kemudian disusul oleh serangan Dinasti Zand yang pada tahun 1750 M berhasil menguasai seluruh Persia. Maka berakhirlah kekuasaan kerajaan Safawi di pertengahan abad ke-18.

Di belahan kerajaan Mughal juga dilanda kemunduran, tepatnya pada pemerintahan setelah Aurangzeb, yaitu mendapat serangan dari masyarakat Hindu. Diantaranya pemberontakan Sikh yang dipimpin oleh Guru Tegh Mahabur Dean, guru Gobind Singh. Pada awal pertengahan kedua abad ke-19 M kerajaan Mughal hancur di tangan Inggris yang kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India.
Kekuatan Islam terakhir yang masih disegani oleh lawan tinggal kerajaan Utsmani di Turki. Akan tetapi yang terakhir ini pun terus mengalami kemunduran demi kemunduran, sehingga dijuluki sebagai the sick man of Europe atau orang sakit dari Eropa.[3] Dalam periode kerajaan Utsmani peradaban Islam mendapat perlawanan dari dua arah, yaitu dari dalam berupa perlawanan dari orang Islam sendiri, dan dari luar berupa serangan balik dari Eropa khususnya kerajaan Kristen melalui Perang Salib.

Dalam persoalan intern, kerajaan Utsmani dilanda konflik antara penguasa  urki dan perlawanan dari  daerah  kekuasaannya yang menuntut merdeka, seperti Mesir dan negara Arab lainnya. Karena pada waktu itu Turki dipandangnya bukan sebagai Khalifah yang melindungi Islam, tetapi tidak lebih sebagai kerajaan yang hanya  mementingkan kekuasaan, bahkan kehidupan dalam Istana tidak kelihatan corak keislamanya, yang ada hanyalah kemewahan. Sehingga dengan demikian pecahlah peperangan dengan kerajaan Safawiyah yang berkepanjangan sampai runtuhnya Utsmani secara total. Di antara peperangan itu adalah peperangan yang memperebutkan wilayah Irak pada abad ke-18, ada yang berpendapat peperangan itu merupakan peperangan ideologis antara Sunni dan Syiah. Kemerosotan Kesultanan Turki Utsmani semakin cepat setelah mendapat serangan dari Dunia Barat, sehingga daerah kekuasaannya satu persatu jatuh kembali ketangan Kristen pasca Perang salib terjadi.

Dengan melihat kelemahan-kelemahan yang dimiliki kerajaan Islam tersebutmaka dengan mudah bangsa eropa dapat menguasai, menduduki dan menjajah negeri-negeri Islam dengan gerakan imperelaisme dan kolonialismenya.

IMPEREALISME BARAT TERHADAP ISLAM
Dengan melemahnya kekuatan politik dan militer Islam yang disebabkan konflik berkepanjangan dalam tubuh Islam sendiri seperti yang terjadi pada kerajaan Turki Utsmani, Mughal dan Safawi maka lahirlah babak baru dalam sejarah dunia Islam, yaitu babak penjajahan Barat terhadap dunia Islam, sebagai counter gerakan dunia Islam yang terwujud dalam gerakan sporadis dari setiap wilayah yang dijajah karena ingin merdeka, sebab kekuatan integratif maupun kordinatif yang mempersatukan Islam sudah tidak mendapat legitimasi dari masyarakat Islam. Sementara itu, masa depan Islam bertumpu pada sejauh mana kekuatan Islam  melakukan perlawanan, kendati bersifat lokal.

Pada masa agresi kolonialisme, Islam telah mengalami kemunduran yang cukup memperihatinkan apalagi ketika pasca Perang Salib yang dijadikan sebagai simbol ruh dari kebangkitan kaum gereja dan bangsa-bangsa barat. Dunia Islam di masa itu banyak tersingkirkan oleh kekuatan Eropa yang membawa semangat gold, glory, gospel (3G). Semangat itu muncul sebagai ujung tombak gereja untuk mengulangi kejayaan mereka pada saat menaklukan Islam melalui Perang Salib.

Dengan adanya semangat tersebut mendorong bangsa Eropa yang mewakili bangsa Barat untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah Muslim, mungkin seperti halnya negeri-begeri di Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang, merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu dan menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan kekuasaannya di negeri ini. Hal ini dimungkinkan karena dibandingkan dengan Mughal, kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukkan.

Masuknya bangsa Eropa ke dunia Islam, dengan menancapkan kuku-kuku mereka, telah banyak merubah tatanan kehidupan masyarakat Islam, bahkan tidak sedikit mereka negara-negara Islam yang mereka jajah hingga berabad-abad. Alasan lain yang menjadikan bangsa barat melakukan ekspansi dan kolonialisme terhadap dunia timur dalam hal ini Islam adalah jatuhnya Komunisme pasca Perang Dunia II dan muncul anggapan baru bahwa Islam sebagai “Calon” musuh Utama mereka.[4]

Implikasi dominasi ekonomi dan kolonial Eropa terus berlangsung. Pemerintah kolonial merusak keseimbangan institusi yang telah membentuk sistem masyarakat Muslim pra modern dan menimbulkan kemunduran kekuatan politik masyarakat Muslim di seluruh dunia dan menimbulkan reaksi kehadiran Muslim dibeberapa wilayah tertentu. Imperium Utsmani kehilangan kekuasaan atas wilayah Balkan, dan warga Muslim di asia Tengah akhirnya jatuh di bawah kekuasaan Rusia dan China. Sepeninggal Imperium Mughal, anak benua India menjadi terpecah. Negara-negara jihad Muslim di Afrika tertundukkan. Dalam banyak kasus Warga Muslim minoritas di tengah masyarakat yang di dominasi oleh warga non-Muslim.

Hampir semua wilayah Muslim, pemerintahan kolonial mendatangkan elite baru sebagai jajaran atasan. Kekuasaan politik terampas dari elite rejim lama dan berpindah kepada stratum militer, birokratik atau tuan-tuan tanah yang baru, dan beberapa negeri Muslim lainnya pada generasi berikutnya, kekusaan politik tersebut berpindah ketangan kelompok atasan yang berpendidikan modern. Hanya pada kasus yang relatif kecil perubahan ekonomi yang di timbulkan oleh penetrasi Eropa menyokong kelas pedagang, petani dan pekerja pabrik. Sekalipun demikian, seluruh kelompok dan kelas baru tersebut pada awalnya berjumlah sangat kecil, namun menjadi barisan terdepan bagi proses modernisasi.

Dominasi bangsa barat di seluruh wilayah Muslim diperuntukan bagi pemaksaan institusi dan pola kultural mereka terhadap bangsa-bangsa non barat. Intervensi politik barat dalam hal ini eropa, atau kontrol mereka yang berlebihan, mengantarkan pada konstruksi (pembentukan) negara-negara teritorial birokratik yang mengintegrasikan perekonomian bangsa-bangsa Barat yang diwakili Eropa dan penetrasi kaum kapitalis menimbulkan berkembangnya perdagangan yang bersifat eksploitatif. Kekuatan Barat memaksa dan mendesak bangsa lain mendirikan sekolah-sekolah modern dan menanamkan nilai-nilai peradaban Barat dan sedapat mungkin mereka memadukan dengan kultur lokal.
Pengaruh bangsa-bangsa barat juga menimbulkan penerimaan sistem nilai-nilai baru, kesadaran akan identitas nasional dan partisipasi politik, keterlibatan ekonomi, aktivisme moral dan pandangan dunia yang baru. Selanjutnya modernisasi (pembaharuan) menimbulkan perubahan ekonomi dan politik, organisasi sosial dan nila kultur yang terkait. Seluruh perubahan tersebut melibatkan adopsi dan reaksi pola dasar peradaban bangsa barat  dalam menerangkan masyarakat Islam yang lama.

DUNIA ISLAM ABAD 20; KEBANGKITAN DAN PEMBAHARUAN
Pada permulaan abad ke-20 kekuatan Eropa hampir telah menguasai seluruh dunia Islam. Hal ini disebabkan karena dengan didukung pertumbuhan produksi pabrik dalam skala dan perubahan yang sangat besar serta metode komunikasi dengan ditemukannya kapal uap, kereta api dan telegrap, sehingga Eropa telah siap untuk melakukan ekspansi perdagangan ke seluruh dunia.

Ekspansi yang dilakukan bangsa Barat ke dunia Islam dimulai ketika menghadapi kerajaan Turki Utsmani sebagai benteng pertahanan Islam yang pertama kali harus di runtuhkan. Dengan adanya dorongan pasca Perang Salib maka dilakukanlah imperialisme pada Turki Utsmani sampai mengalami kemunduran bahkan kekalahan. Sementara pasca runtuhnya Turki Utsmani, kehidupan bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan di segala bidang, seperti perdagangan, ekonomi, industri perang dan teknologi militer.

Agresi yang dilakukan bangsa kolonial itu dimulai saat terjadinya perjanjian Caritouiz, 26 Januari 1699 M, antara Turki Usmani dengan Australia, Rusia, Polandia, dan Inggris. Negara-negara tersebut secara tidak langsung ingin meruntuhkan kejayaan Turki Utsmani melalui gerakan imperealisme dengan melakukan pembagian wilayah kekuasaan untuk mereka miliki. Dengan adanya perjanjian tersebut Turki Usmani menjadi negara yang kecil dan tidak berdaya untuk melakukan pembebasan dari kolonilalisme barat, dan semenjak Turki Utsmani runtuh maka sejak itulah abad modern dimulai.

Terjadinya penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer dan politik negara-negara muslim menurun, perekonomian mereka merosot sebagai akibat monopoli perdagangan antara timur dan barat tidak lagi ditangan mereka. Disamping itu pengetahuan di dunia muslim dalam kondisi stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistik.[5]

Pada sisi yang lain, Eropa dalam waktu yang sama menggunakan metode berpikir rasional, dan disana tumbuh kelompok intelektual yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan Gereja; Barat memasuki abad renaisancoe. Sementara dalam bidang ekonomi dan perdagangan mereka telah mengalami kemajuan pesat dengan ditemukannya Tanjung Harapan sebagai jalur perdagangan maritim langsung ke Timur, demikian pula penemuan benua Amerika. Dengan dua temuan ini Eropa memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan karena tidak  bergantung  lagi kepada jalur lama yang dikuasai Islam.[6]

Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki  Utsmani,  karena  kerajaan  ini  yang  pertama  menghadapi  kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki banyak Belajar dari Eropa. Pada pertenganahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat. Periode ini merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan.

Dengan demikian yang dimaksud dengan kebangkitan Islam adalah kristalisasi kesadaran keimanan dalam membangun tatanan seluruh aspek kehidupan yang berdasar atau yang sesuai dengan prinsip Islam. Makna ini mempunyai implikasi kewajiban bagi umat  Islam  untuk  mewujudkannya  melalui  gerakan-gerakan,  baik  di  bidang  politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Pada permulaan abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir disemua negeri muslim yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan mendasar yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut kemampuan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat paling penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi. Upaya kearah itu tidak lepas dari   pembaharuan pemikiran  yang dapat mengantarkan Islam terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat.

Dunia Islam abad XX ditandai dengan kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah karena keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengelola berbagai lembaga pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan.

Keunggulan-keunggulan Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer tidak hanya  menghancurkan  pemerintahan  negara-negara muslim yang ada pada waktu itu, tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara-negara muslim yang ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri muslim pun yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui   bahwa pada tahun 1798 M, Napoleon Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun pendudukan Perancis itu berakhir dalam tiga tahun, mereka dikalahkan oleh kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan masyarakat muslim. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir sebagai salah satu pusat Islam untuk menghadapi kekuatan Barat.

Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah dicapai Barat. Gelombang ekspansi Barat ke Negara-negara Muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami gerakan-gerakan kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul 1897.[7] Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme, yang  dalam  pengertian  luas  berarti  solidaritas  antara seluruh umat muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat melawan kolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagai stimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu antara   lain   diseputar: Perjuangan  melawan absolutisme  para  penguasa; Melengkapi sains dan teknologi modern; Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan kolonial asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat.[8]
Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935). Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah. Untuk menyebarkan gagasan-gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai tulisan-tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya.

Di daratan Eropa, Syakib Arsalan selalu memotori gerakan-gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim Arab yang berasal dari kekuasaan negara-negara  Barat  dan  menggalang  pendapat  seluruh  orang  Islam  Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan keIslaman, mereka dapat memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan sosial yang lebih baik.[9]

Gerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam selalu kandas ketika berhadapan  dengan  kolonialis  Barat, karena teknologi dan militer mereka jauh lebih maju  dari yang  dimiliki umat Islam.  Menurut  Afghani,  untuk menanggapi tantangan Barat, umat Islam harus mempelajari contoh-contoh darinya.[10] Tentu saja tidak semua komunitas Islam sependapat dengan yang dimaksud belajar atau berguru kepada Barat. Para ulama tradisional tetap mempertahankan corak non-koperatifnya,  sementara  putra-putra  negeri  jajahan gelombang demi gelombang belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang sengaja diadakan di negeri jajahannya. Dengan demikian, terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan basisnya masing-masing, ada yang sifatnya non-koperatif yang basisnya lembaga-lembaga pendidikan agama di Indonesia pesantren, sedang di Asia Tengah dan Barat serta Afrika basisnya pada kelompok-kelompok tarekat dan yang bercorak kooperatif yaitu pakar terpelajar dengan pendidikan Barat.

Pada pertengahan pertama abad XX terjadi perang dunia kedua yang melibatkan seluruh negara kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda peperangan, disamping Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini dengan Fasis Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika yang bersekutu, serta Rusia. Konsekuensi atas terjadinya peperangan ini adalah terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di kubu masing-masing negara, baik untuk keperluan ofensif maupun  defensif. Pengkonsentrasian  kekuatan  militer  tersebut  mengakibatkan ditarik dan berkurangnya kekuatan militer kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka. Dalam pada itu, negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia kedua sehingga pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan negerinya masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada saat itu memungkinkan tercapainya cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negara-negara muslim yang terjajah memproklamirkan kemerdekaannya.

Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan  pembaharuan didorong  oleh dua faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan pembaharuan itu dengan segera  juga memasuki  dunia  politik, karena Islam memandang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama  kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al Afghani [1839-1897 M].[11]

Jika di Mesir bangkit dengan nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir gagasan Pan-Islamisme  yang  dikenal  dengan gerakan Khilafat  juga  mendapat  pengikut, pelopornya  adalah  Syed  Amir  Ali (1848-1928  M).  Gagasan itu tidak mampu bertahan lama,karena terbukti dengan ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar tokoh-tokoh Islam. Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut  nasionalisme,  tetapi  Islamisme  yang  dalam  masyarakat  India dikenal dengan nama komunalisme.

Sementara di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam [SI], yang didirikan pada tahun 1912 dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan kelajutan dari Sarekat Dagang Islam [SDI] yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Tidak lama kemudian, partai- partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia [PNI] didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-Baru], didirikan oleh Muhammad Hatta [1931],  Persatuan Muslimin Indonesia [PERMI]  yang  baru menjadi  partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtamar Luthfi.[12]

Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama   umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat, dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya teraplikasi dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun dalam bentuk pendidikan dan propaganda yang tujuannya adalah mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan mengisi kemerdekaan.

Adapun Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan  kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu. Akan tetapi, rakyat Indonesia  harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun berturut-turut karena Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berusaha menguasai kembali kepulauan ini. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara  resmi  memperoleh  kemerdekaannya  dari  Inggris  pada  tahun 1922. akan tetapi, pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Raja Farouk pengaruh  Inggris  sangat  besar.  Baru  pada  waktu  pemerintahan  Jamal  Abd  al Nasser yang menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka.

Demikianlah negara muslim yang memerdekakan dirinya dari penjajahan. Bahkan beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara muslim yang dahulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan baru merdeka pada tahun 1992, serta Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 1992.[13]

Namun, sampai saat ini masih ada umat muslim yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di Filipina. Alasan mereka menuntut kebebasan dan kemerdekaan itu adalah karena status minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kesejahteraan hidup dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agama mereka.

Namun banyaknya polemik yang berkembang dengan keinginan-keinginan ummat Islam untuk memerdekakan diri dari tekanan dan pengaruh hegemoni bangsa barat terlepas dari persoalan semangat menanamkan nilai-nilai Nasionalisme dalam diri umat Islam seperti yang dicetuskan oleh Jamal al-Afghani untuk memperjuangkan kejayaan kembali Islam di mata dunia, di lain hal adanya gerakan-gerakan fundamental untuk mendirikan Negara Islam yang bukannya memberikan sumbangan besar bagi Islam, melainkan menjadi suatu kesempatan bagi bangsa Barat untuk memperalat dan bahkan mengadu domba antar kelompok-kelompok dalam Islam.[14]

Sekiranya perlu ada suatu sikap dan mental keberanian yang sejati untuk mencapai kemenangan Islam, bukan sekedar dijejali mental Inlander yang berdampak pada kezumudan untuk berfikir dan berjuang melawan daya pengaruh global yang didominasi bangsa-bangsa Barat. Untuk mendapatkan kemenangan Islam diperlukan ada kemenangan ide, cita-cita, sikap hidup yang tidak selalu menyoroti kemenangan atas pribadinya,[15] melainkan kemenangan Islam adalah kemenangan seluruh umat beserta sistem yang ada di dalamnya.

Kecaman demi kecaman yang dilakukan bangsa Barat terhadap Islam telah banyak menghegemoni pemikiran bahkan kekuasan politik ekonomi setiap Negara-negara Islam di dunia.[16] Hal yang perlu dibenahi dan belum sepenuhnya utuh terwujud adalah pembentukan pola pikir ummat Islam agar memiliki bentuk yang jelas dan terarah bagi kemengan Islam itu sendiri.

Pembaharuan peradaban dalam dunia Islam
1.      Peradaban Islam Turki Modern
Transfer ilmu pengetahuan dan tekhnologi dari eropa, terutama dari prancis merupakan jalan keluar dari keterbelakangan turki. Ahli eropa juga di undang ke turki guna mempercepat pembaruan. Bagaimananpun usaha pembaharuan berjalan tidak mudah. Kelompok konservatif yang pada awalnya mendukung pembaharuan, ternyata bekerja sama untuk kepentingan mereka sendiri. Pada orde baru pembaruan lebih luas dilakukan oleh sultan salim III, yang memerintah antara tahun 1789-1807. Salim berusaha melampaui inovasi militer dan tekhnik-tekhnik modern dengan pembaharuan yang fundamental di bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum. Meskipun salng gagal dalam banyak hal, usaha pembaharuannya menimbulkan periode Nijami-Jedid (Orde Baru) dan meletakan dasar pembaharuan Turki Modern.

Sulit untuk disangkal bahwa Mustapha Kemal membawa Turki kedalam perubahan yang radikal, bahkan dengan perubahan revolusioner dari sistem kkhalifahak ke republik parlementer, dari pembaruan westernisasi ke sekularisasi. Hal yang paling mennjol dari revolusi itu ialah bahwa sebagian besar, meski secara bertahap sesuai dengan tujuannya. Sekalipun Kemal memusatkan kekuatan politik ditangannya ia juga mendirikan partai politik., Partai Rakyat Republik, yang meneruskan program kemalis setelah kematiannya. Namun setelah kebijakan multi partai diperkenalkan tahun 1946 dan kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu 1950, tidak saja menyebabkan berakhirnya dominsai Partai Rakyat Republik, melainkan juga bangkitnya semangant penegasan kembali pada islam dalam bentuk aktifis partai politik. Pada saat yang sama militer telah mengambil alih tradisi menjaga negara.

2.      Peradaban Islam Modern di Afrika Utara
Kondisi sosial politik, yang kurang stabil pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, berpengaruh banyak dan pada awalnya kurang kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangna peradabna baru di negara-negara afrika utara. Insta-bilitas terjadi disebabkan oleh yang pertama konflik internal: perubahan popularitas antar sufi dan politisi, kelompok sufi dan ulama dan antar politisi. Yang kedua intervensi pihak asing, terutama negara Prancis untuk selain Libya, dan itali untuk Libya. Intervensi ini selanjutnya menempatkan kedua egara itu menjadi protectorate dan bahkan kolonial.

Proses pertumbuhan dan perkembangan peradaban baru di Afrika Utara mempunayi keunikan tersendiri. Disebagian negara proses itu berlangsung secara reformas, namun terutama di Libya, proses itu cukup revlusioner.

3.      Peradaban Islam Modern di Asia Tenggara
Menjelangn kedatangan bangsa barat di Asia Tenggara sedikitnya tedapat tiga pusat kekuatan islam yang berbeda-beda kondisi politik, ekonomi, sosial maupau budayanya. Ketiga pusat kekuatan tersebut adalah sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa yang terbagi dalam beberapa kerajaan dengan kondisi yang berbeda-beda baik politik, ekonomi, sosial ataupun proses islamisasinya.

Di Sumatra dan sekitarnya, sejak keruntuhan Sriwijaya muncul kerajaan Islam seperti Pedir, Pasai, Taming, Siak, Indragiri, Rokan, Jambi dan Malaka. Diantara kerajaan tersebut malaka yang paling terkemuka, namun kemudian jatuh ketangan portugis pada tahun 1521 M. Setelah itu Samudra Pasai dianeksasi ole Aceh Darusalam.

Kerajaan Acah Darussalam mulai mengalami kemajuan dlalam bidang perdaganganpada masa pemerintahan Muzzafar Syah (1467-1497). Kegiatan perdagangan aceh semakin menu sejak Malaka dikuasai Portugis karena para pedagang muslim memindahkan perdagangannya di daerah aceh. Pada masa Sultan Ali Mughayat Syah, ia berhasil menyatukan laan-lawan porugis dengan cara mengalahkan mereka terlebih dahulu.

Demikian halnya di semenanjung malaya banyak berdiri kesultanan muslim. Diantaranya yang terkenal adalah kesultanan johor. Kesultanan ini bukan sebuh dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan kekuasaan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang berlainan.

PENUTUP
Mencermati akselarasi kebangkitan dunia Islam pada masa pembebasan awal abad 20 dengan gerakan pembaharuan dan menanamkan sikap nasionalisme, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam ke depan diantaranya adalah gerakan kristenisasi yang digarap secara besar-besaran dalam dunia Islam, khususnya yang terkatagori melarat. Gerakan zionisme yang mendapat dukungan politik dan dana dari dunia Barat kapitalisme dan komunisme yang seringkali berkolaborasi dengan elite militer yang sedang berkuasa dan sekularisme yang mengarap Dunia Islam melalui gerakan pemikiran dan intelektual. Gejala ini dapat dilihat dalam kebijakan negara yang memarginalkan kelompok elite agama dalam pemerintahan. Dan dapat pula dilihat semakin banyaknya sarjana Muslim (IAIN) ke dunia Barat dengan harapan mende-islamisasikan masyarakat secara pemikirannya.

Kedua, kelemahan dunia Islam diantaranya lemahnya pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta lemahnya pengusaan terhadap Islam itu sendiri, misalnya banyaknya umat Islam yang belum bisa menguasai pemahaman al-Qur’an, bahkan banyak  pula yang buta huruf membaca al-Qur’an. Pertanyaannya, bagaimana Islam bisa bangkit kalau memahami ajaranya saja kurang sempurna. Inilah masalah yang dihadapi umat Islam pada zaman sekrang ini.

Ketiga, Salahnya dunia Barat dalam memahami Islam, sebab mereka memahami Islam bukan dari sumbernya tetapi dari prilaku-prilaku pemeluk Islam yang salah pula. Tetapi sekarang ini  ada kecenderungan Dunia Barat lebih obyektif melihat Dunia Islam, sebab orang Barat sendiri sudah bosan dan muak melihat budayanya   yang serba materialistis, tidak mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan. Dari sinilah mereka mulai tertarik mempelajari Islam tanpa apriori. Kenyataan ini banyak dibuktikan banyaknya orang Barat yang masuk Islam, baik dari kalangan budayawan maupun lainnya.

Pendek kata kebangkitan Dunia Islam akan lahir apabila pemahaman dan komitmen terhadap ajaran Islam merata di kalangan masyarakat Islam, sehingga dalam diri mereka tersimpul keinginan untuk mengaktualkan Islam dalam pentas kehidupan bernegara. Hal lain yang tak kalah penting adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa dua kriteria itu tidak mungkin lahir kebangkitan Islam kembali.

الحمد لله رب العالمين



BIBLIOGRAPHY

Madjid, Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Paramadina. Jakarta
--------------------. 2000. Islam Agama Peradaban. Paramdina. Jakarta
Muthahhari, Murthado. 1986,  Gerakan Islam  Abad  XX,  terj.  Rineka Cipta, Jakarta
Nasution, Harun. 1988, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid. I, UI Press, Jakarta.
Philip K.Hitty,1974, History of The Arabs, The Macmillan Press, London. William I. Cleveland, 1991,
            Islam Menghadapi Barat, terj. Ahmad Niamullah Muiz,1991, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Wahid, Hidayat Nur. 2004. Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani. Fikri. Ciputat-Jakarta
Yatim, Badri. 1999,  Sejarah  Peradaban  Islam,  RajaGrafindo  Persada. Jakarta.


--------***-------


[1] Disampaikan pada saat presentasi kelas pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam di PPS UIN SGD Bandung, Dosen pengampu Prof. DR.Idzan Fautanu
[2] Badri  Yatim, Sejarah  Peradaban  Islam,  (Jakarta; 1999, Raja Grafindo Persada), Hlm. 173-174
[3] Ibid., Hlm. 174
[4] Nurcholis Madjid, Pintu-pintu menuju Tuhan. (Jakarta; Paramdina, 2008), Hlm. 272
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid.I, (Jakarta; UI Press, 1988), Hlm. 88
[6] Ibid., Badri Yatim, Sejarah Peradaban …, hlm. 169-170.
[7] Ibid., Harun Nasution, Islam ditinjau …,     Hlm. 51
[8] Murtadha Muthahhari, Gerakan Islam Abad XX, terj. Rineka Cipta, (Jakarta; Rineka Cipta, 1986), Hlm. 54
[9] William I. Cleveland, Islam Menghadapi Barat, terj. Ahmad Niamullah Muiz,(Jakarta; Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 92.
[10] Ibid., Harun Nasution, Islam ditinjau …, Hlm 23
[11] Ibid, Badri Yatim, Sejarah Peradaban …, hlm. 185-187.
[12] Ibid., Hlm. 186-187.
[13] Ibid., Hlm. 188
[14] Nurcholis Madjid. Islam Agama Peradaban. (Jakarta; Paramdina, 2000). Hlm. 218
[15] Ibid., Nurcholis Madjid, Pintu-pintu menuju …, Hlm. 284-285
[16] Hidayat Nur Wahid, Mengelola Masa Transisi …, (Jakarta; Fikri, 2004), Hlm. 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar