Dunia Islam Abad XX;
Pembebasan Dari Koloialisme Barat[1]
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi
PENDAHULUAN
Periode modernisasi
dalam perkembangan sejarah Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung
sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi Dunia Islam secara politis berada
di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M Dunia Islam
bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.
Periode ini memang
merupakan zaman kebangkitan kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di
periode pertengahan. Pada periode ini mulai bermunculan pemikiran pembaharuan
dalam Islam. Gerakan pemabaharuan ini muncul karena dua hal, yakni :[2]
1.
Timbulnya kesadaran
dikalangan ulama bahwa banyak ajaran-ajaran “asing” yang masuk dan diterima
sebagai ajaran Islam.
Ajaran-ajaran ini bertentangan
dengan semangat ajaran Islam yang sebenarnya, seperti bid’ah, khurafat
dan tahyul. Oleh karena itu mereka bangkit untuk membersihkan Islam dari ajaran
atau paham seperti itu. Gerakan ini dikenal sebagai gerakan reformasi,
2.
Pada periode
ini Barat mendominasi
Dunia di bidang
politik dan peradaban. Persentuhan dengan Barat menyadarkan
tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Oleh karena itu, mereka
berusaha bangkit dengan
mencontoh Barat dalam
masalah- masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of
power.
Sebagaimana telah
didiskusikan pada waktu-waktu yang lalu, ketika tiga kerajaan besar Islam
sedang mengalami kemunduran di abad ke-18, Eropa Barat mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Kerajaan Safawiyah mengalami kemunduran, karena tidak hanya
mendapat serangan dari kerajaan Turki, tetapi juga mendapat serangan dari
kalangan Dinasti yang tunduk pada Safawiyah yang ingin merdeka, yaitu
berturut-turut Raja Afganistan, sehingga pada tahun 1722 M berhasil menduduki
Asfahan, kemudian disusul oleh serangan Dinasti Zand yang pada tahun 1750 M
berhasil menguasai seluruh Persia. Maka berakhirlah kekuasaan kerajaan Safawi
di pertengahan abad ke-18.
Di belahan kerajaan
Mughal juga dilanda kemunduran, tepatnya pada pemerintahan setelah Aurangzeb,
yaitu mendapat serangan dari masyarakat Hindu. Diantaranya pemberontakan Sikh
yang dipimpin oleh Guru Tegh Mahabur Dean, guru Gobind Singh. Pada awal
pertengahan kedua abad ke-19 M kerajaan Mughal hancur di tangan Inggris yang
kemudian mengambil alih kekuasaan di anak benua India.
Kekuatan Islam
terakhir yang masih disegani oleh lawan tinggal kerajaan Utsmani di Turki. Akan
tetapi yang terakhir ini pun terus mengalami kemunduran demi kemunduran, sehingga
dijuluki sebagai the sick man of Europe atau orang sakit dari Eropa.[3]
Dalam periode kerajaan Utsmani peradaban Islam mendapat perlawanan dari dua
arah, yaitu dari dalam berupa perlawanan dari orang Islam sendiri, dan dari
luar berupa serangan balik dari Eropa khususnya kerajaan Kristen melalui Perang
Salib.
Dalam persoalan
intern, kerajaan Utsmani dilanda konflik antara penguasa urki dan perlawanan dari daerah
kekuasaannya yang menuntut merdeka, seperti Mesir dan negara Arab lainnya.
Karena pada waktu itu Turki dipandangnya bukan sebagai Khalifah yang melindungi
Islam, tetapi tidak lebih sebagai kerajaan yang hanya mementingkan kekuasaan, bahkan kehidupan
dalam Istana tidak kelihatan corak keislamanya, yang ada hanyalah kemewahan.
Sehingga dengan demikian pecahlah peperangan dengan kerajaan Safawiyah yang
berkepanjangan sampai runtuhnya Utsmani secara total. Di antara peperangan itu
adalah peperangan yang memperebutkan wilayah Irak pada abad ke-18, ada yang
berpendapat peperangan itu merupakan peperangan ideologis antara Sunni dan
Syiah. Kemerosotan Kesultanan Turki Utsmani semakin cepat setelah mendapat
serangan dari Dunia Barat, sehingga daerah kekuasaannya satu persatu jatuh
kembali ketangan Kristen pasca Perang salib terjadi.
Dengan melihat
kelemahan-kelemahan yang dimiliki kerajaan Islam tersebutmaka dengan mudah
bangsa eropa dapat menguasai, menduduki dan menjajah negeri-negeri Islam dengan
gerakan imperelaisme dan kolonialismenya.
IMPEREALISME BARAT
TERHADAP ISLAM
Dengan melemahnya
kekuatan politik dan militer Islam yang disebabkan konflik berkepanjangan dalam
tubuh Islam sendiri seperti yang terjadi pada kerajaan Turki Utsmani, Mughal
dan Safawi maka lahirlah babak baru dalam sejarah dunia Islam, yaitu babak
penjajahan Barat terhadap dunia Islam, sebagai counter gerakan dunia Islam yang
terwujud dalam gerakan sporadis dari setiap wilayah yang dijajah karena ingin
merdeka, sebab kekuatan integratif maupun kordinatif yang mempersatukan Islam
sudah tidak mendapat legitimasi dari masyarakat Islam. Sementara itu, masa
depan Islam bertumpu pada sejauh mana kekuatan Islam melakukan perlawanan, kendati bersifat lokal.
Pada masa agresi
kolonialisme, Islam telah mengalami kemunduran yang cukup memperihatinkan
apalagi ketika pasca Perang Salib yang dijadikan sebagai simbol ruh dari
kebangkitan kaum gereja dan bangsa-bangsa barat. Dunia Islam di masa itu banyak
tersingkirkan oleh kekuatan Eropa yang membawa semangat gold, glory, gospel
(3G). Semangat itu muncul sebagai ujung tombak gereja untuk mengulangi kejayaan
mereka pada saat menaklukan Islam melalui Perang Salib.
Dengan adanya
semangat tersebut mendorong bangsa Eropa yang mewakili bangsa Barat untuk
melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah Muslim, mungkin seperti halnya
negeri-begeri di Asia Tenggara, negeri tempat Islam baru mulai berkembang,
merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada masa itu dan menjadi ajang
perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa malah lebih awal menancapkan
kekuasaannya di negeri ini. Hal ini dimungkinkan karena dibandingkan dengan
Mughal, kerajaan-kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan
mudah dapat ditaklukkan.
Masuknya bangsa Eropa ke dunia
Islam, dengan menancapkan kuku-kuku mereka, telah banyak merubah tatanan kehidupan
masyarakat Islam, bahkan tidak sedikit mereka negara-negara Islam yang mereka
jajah hingga berabad-abad. Alasan lain yang menjadikan bangsa barat melakukan
ekspansi dan kolonialisme terhadap dunia timur dalam hal ini Islam adalah
jatuhnya Komunisme pasca Perang Dunia II dan muncul anggapan baru bahwa Islam
sebagai “Calon” musuh Utama mereka.[4]
Implikasi dominasi ekonomi dan
kolonial Eropa terus berlangsung. Pemerintah kolonial merusak keseimbangan
institusi yang telah membentuk sistem masyarakat Muslim pra modern dan
menimbulkan kemunduran kekuatan politik masyarakat Muslim di seluruh dunia
dan menimbulkan reaksi kehadiran Muslim dibeberapa wilayah tertentu. Imperium Utsmani
kehilangan kekuasaan atas wilayah Balkan, dan warga Muslim di asia Tengah akhirnya
jatuh di bawah kekuasaan Rusia dan China. Sepeninggal Imperium Mughal, anak
benua India menjadi terpecah. Negara-negara jihad Muslim di Afrika
tertundukkan. Dalam banyak kasus Warga Muslim minoritas di tengah masyarakat
yang di dominasi oleh warga non-Muslim.
Hampir semua wilayah Muslim,
pemerintahan kolonial mendatangkan elite baru sebagai jajaran atasan. Kekuasaan
politik terampas dari elite rejim lama dan berpindah kepada stratum militer, birokratik
atau tuan-tuan tanah yang baru, dan beberapa negeri Muslim lainnya pada
generasi berikutnya, kekusaan politik tersebut berpindah ketangan kelompok
atasan yang berpendidikan modern. Hanya pada kasus yang relatif kecil perubahan
ekonomi yang di timbulkan oleh penetrasi Eropa menyokong kelas pedagang, petani
dan pekerja pabrik. Sekalipun demikian, seluruh kelompok dan kelas baru
tersebut pada awalnya berjumlah sangat kecil, namun menjadi barisan terdepan
bagi proses modernisasi.
Dominasi bangsa barat di
seluruh wilayah Muslim diperuntukan bagi pemaksaan institusi dan pola kultural
mereka terhadap bangsa-bangsa non barat. Intervensi politik barat dalam hal ini
eropa, atau kontrol mereka yang berlebihan, mengantarkan pada konstruksi
(pembentukan) negara-negara teritorial birokratik yang mengintegrasikan perekonomian
bangsa-bangsa Barat yang diwakili Eropa dan penetrasi kaum kapitalis
menimbulkan berkembangnya perdagangan yang bersifat eksploitatif. Kekuatan Barat
memaksa dan mendesak bangsa lain mendirikan sekolah-sekolah modern dan
menanamkan nilai-nilai peradaban Barat dan sedapat mungkin mereka memadukan
dengan kultur lokal.
Pengaruh bangsa-bangsa barat
juga menimbulkan penerimaan sistem nilai-nilai baru, kesadaran akan identitas
nasional dan partisipasi politik, keterlibatan ekonomi, aktivisme moral dan
pandangan dunia yang baru. Selanjutnya modernisasi (pembaharuan) menimbulkan
perubahan ekonomi dan politik, organisasi sosial dan nila kultur yang terkait.
Seluruh perubahan tersebut melibatkan adopsi dan reaksi pola dasar peradaban bangsa
barat dalam menerangkan masyarakat Islam
yang lama.
DUNIA ISLAM ABAD 20;
KEBANGKITAN DAN PEMBAHARUAN
Pada permulaan abad ke-20
kekuatan Eropa hampir telah menguasai seluruh dunia Islam. Hal ini disebabkan
karena dengan didukung pertumbuhan produksi pabrik dalam skala dan perubahan
yang sangat besar serta metode komunikasi dengan ditemukannya kapal uap, kereta
api dan telegrap, sehingga Eropa telah siap untuk melakukan ekspansi
perdagangan ke seluruh dunia.
Ekspansi yang
dilakukan bangsa Barat ke dunia Islam dimulai ketika menghadapi kerajaan Turki Utsmani
sebagai benteng pertahanan Islam yang pertama kali harus di runtuhkan. Dengan
adanya dorongan pasca Perang Salib maka dilakukanlah imperialisme pada Turki
Utsmani sampai mengalami kemunduran bahkan kekalahan. Sementara pasca runtuhnya
Turki Utsmani, kehidupan bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan di segala
bidang, seperti perdagangan, ekonomi, industri perang dan teknologi militer.
Agresi yang dilakukan
bangsa kolonial itu dimulai saat terjadinya perjanjian Caritouiz, 26
Januari 1699 M, antara Turki Usmani dengan Australia, Rusia, Polandia, dan
Inggris. Negara-negara tersebut secara tidak langsung ingin meruntuhkan
kejayaan Turki Utsmani melalui gerakan imperealisme dengan melakukan pembagian
wilayah kekuasaan untuk mereka miliki. Dengan adanya perjanjian tersebut Turki
Usmani menjadi negara yang kecil dan tidak berdaya untuk melakukan pembebasan
dari kolonilalisme barat, dan semenjak Turki Utsmani runtuh maka sejak itulah
abad modern dimulai.
Terjadinya penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer
dan politik negara-negara muslim menurun, perekonomian mereka merosot sebagai
akibat monopoli perdagangan antara timur dan barat tidak lagi ditangan mereka.
Disamping itu pengetahuan di dunia muslim dalam kondisi stagnasi.
Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi
oleh sikap fatalistik.[5]
Pada sisi yang lain, Eropa dalam waktu yang sama menggunakan
metode berpikir rasional, dan disana tumbuh kelompok intelektual yang
melepaskan diri dari ikatan-ikatan Gereja; Barat memasuki abad renaisancoe.
Sementara dalam bidang ekonomi dan perdagangan mereka telah mengalami kemajuan
pesat dengan ditemukannya Tanjung Harapan sebagai jalur perdagangan maritim
langsung ke Timur, demikian pula penemuan benua Amerika. Dengan dua temuan ini
Eropa memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan karena tidak bergantung
lagi kepada jalur lama yang dikuasai Islam.[6]
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah
menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang
pertama merasakan hal itu diantaranya Turki
Utsmani, karena kerajaan
ini yang pertama
menghadapi kekuatan Eropa.
Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki banyak Belajar dari
Eropa. Pada pertenganahan abad ke-20 M Dunia Islam bangkit memerdekakan
negerinya dari penjajahan Barat. Periode ini merupakan zaman kebangkitan
kembali Islam, setelah mengalami kemunduran di periode pertengahan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan kebangkitan Islam
adalah kristalisasi kesadaran keimanan dalam membangun tatanan seluruh aspek
kehidupan yang berdasar atau yang sesuai dengan prinsip Islam. Makna ini
mempunyai implikasi kewajiban bagi umat
Islam untuk mewujudkannya
melalui gerakan-gerakan, baik
di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pada permulaan abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir
disemua negeri muslim yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional.
Tetapi persoalan mendasar yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam,
terutama menyangkut kemampuan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai alat paling penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi.
Upaya kearah itu tidak lepas dari
pembaharuan pemikiran yang dapat
mengantarkan Islam terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat.
Dunia Islam abad XX ditandai dengan kebangkitan dari
kemunduran dan kelemahan secara budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa
mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah karena keberhasilannya dalam menerapkan
strategi ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengelola berbagai lembaga
pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat keterbelakangan
dalam berbagai aspek kehidupan.
Keunggulan-keunggulan Barat dalam bidang industri, teknologi,
tatanan politik, dan militer tidak hanya
menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu itu,
tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara-negara muslim yang
ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri
muslim pun yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana
diketahui bahwa pada tahun 1798 M, Napoleon
Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun pendudukan Perancis itu berakhir dalam tiga
tahun, mereka dikalahkan oleh kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh
perlawanan masyarakat muslim. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir
sebagai salah satu pusat Islam untuk menghadapi kekuatan Barat.
Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat
Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan dan kemundurannya, sementara
mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah dicapai Barat. Gelombang
ekspansi Barat ke Negara-negara Muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa
para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang
dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami gerakan-gerakan
kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839
di Afghanistan dan meninggal di Istambul 1897.[7]
Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme,
yang dalam pengertian
luas berarti solidaritas
antara seluruh umat muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang
terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat
melawan kolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagai
stimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu
antara lain diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para
penguasa; Melengkapi sains dan teknologi modern; Kembali kepada ajaran
Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan kolonial
asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam
tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan ketakutan
terhadap Barat.[8]
Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab
lainnya yang telah mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa
berikutnya. Dua pemikir itu adalah Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).
Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat
mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan
nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam
bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat
tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana
yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah. Untuk
menyebarkan gagasan-gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai
tulisan-tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya.
Di daratan Eropa, Syakib Arsalan selalu memotori
gerakan-gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan adalah menginternasionalkan
berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim Arab yang berasal
dari kekuasaan negara-negara Barat dan
menggalang pendapat seluruh
orang Islam Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan
keIslaman, mereka dapat memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan
sosial yang lebih baik.[9]
Gerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam selalu kandas
ketika berhadapan dengan kolonialis
Barat, karena teknologi dan militer mereka jauh lebih maju dari yang
dimiliki umat Islam. Menurut Afghani,
untuk menanggapi tantangan Barat, umat Islam harus mempelajari contoh-contoh
darinya.[10]
Tentu saja tidak semua komunitas Islam sependapat dengan yang dimaksud belajar
atau berguru kepada Barat. Para ulama tradisional tetap mempertahankan corak
non-koperatifnya, sementara putra-putra
negeri jajahan gelombang demi gelombang
belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang sengaja diadakan di negeri
jajahannya. Dengan demikian, terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan
basisnya masing-masing, ada yang sifatnya non-koperatif yang basisnya lembaga-lembaga
pendidikan agama di Indonesia pesantren, sedang di Asia Tengah dan Barat serta
Afrika basisnya pada kelompok-kelompok tarekat dan yang bercorak kooperatif
yaitu pakar terpelajar dengan pendidikan Barat.
Pada pertengahan pertama abad XX terjadi perang dunia kedua
yang melibatkan seluruh negara kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda
peperangan, disamping Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi
melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini dengan Fasis
Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika yang
bersekutu, serta Rusia. Konsekuensi atas terjadinya peperangan ini adalah
terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di kubu masing-masing negara, baik
untuk keperluan ofensif maupun defensif.
Pengkonsentrasian kekuatan militer
tersebut mengakibatkan ditarik
dan berkurangnya kekuatan militer kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka.
Dalam pada itu, negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia kedua sehingga
pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan
negerinya masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada saat itu
memungkinkan tercapainya cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negara-negara
muslim yang terjajah memproklamirkan kemerdekaannya.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya
yang dikenal dengan gerakan pembaharuan
didorong oleh dua faktor yang saling mendukung,
yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab
kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan
dari Barat. Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki
dunia politik, karena Islam
memandang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang
pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme
yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiah. Namun, gagasan
ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin
Al Afghani [1839-1897 M].[11]
Jika di Mesir bangkit dengan nasionalismenya, dibagian
negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan
mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar
kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina,
Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India, sebagaimana di Turki
dan Mesir gagasan Pan-Islamisme
yang dikenal dengan gerakan Khilafat juga
mendapat pengikut,
pelopornya adalah Syed
Amir Ali (1848-1928 M).
Gagasan itu tidak mampu bertahan lama,karena terbukti dengan
ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar tokoh-tokoh Islam.
Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme,
tetapi Islamisme yang
dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme.
Sementara di Indonesia, partai politik besar yang menentang
penjajahan adalah Sarekat Islam [SI], yang didirikan pada tahun 1912 dibawah
pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan kelajutan dari Sarekat Dagang
Islam [SDI] yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Tidak lama kemudian,
partai- partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia [PNI]
didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-Baru], didirikan
oleh Muhammad Hatta [1931], Persatuan
Muslimin Indonesia [PERMI] yang baru menjadi
partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtamar Luthfi.[12]
Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan
berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk
mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat, dalam
kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari
kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya teraplikasi dalam beberapa
bentuk kegiatan, seperti gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun dalam
bentuk pendidikan dan propaganda yang tujuannya adalah mempersiapkan masyarakat
untuk menyambut dan mengisi kemerdekaan.
Adapun Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali
berhasil memproklamasikan kemerdekaannya
adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari
pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu. Akan tetapi,
rakyat Indonesia harus mempertahankan
kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun
berturut-turut karena Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berusaha
menguasai kembali kepulauan ini. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara resmi
memperoleh kemerdekaannya dari
Inggris pada tahun 1922. akan tetapi, pada saat kendali
pemerintahan dipegang oleh Raja Farouk pengaruh
Inggris sangat besar.
Baru pada waktu
pemerintahan Jamal Abd al
Nasser yang menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar-benar
merdeka.
Demikianlah negara muslim yang memerdekakan dirinya dari
penjajahan. Bahkan beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada
tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara muslim yang dahulunya bersatu dalam
Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan,
dan Azerbaijan baru merdeka pada tahun 1992, serta Bosnia memerdekakan diri dari
Yugoslavia pada tahun 1992.[13]
Namun, sampai saat ini masih ada umat muslim yang berharap
mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat
mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara
nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di Filipina. Alasan mereka
menuntut kebebasan dan kemerdekaan itu adalah karena status minoritas
seringkali mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kesejahteraan hidup dan
kebebasan dalam menjalankan ajaran agama mereka.
Namun banyaknya polemik yang berkembang dengan
keinginan-keinginan ummat Islam untuk memerdekakan diri dari tekanan dan
pengaruh hegemoni bangsa barat terlepas dari persoalan semangat menanamkan
nilai-nilai Nasionalisme dalam diri umat Islam seperti yang dicetuskan oleh
Jamal al-Afghani untuk memperjuangkan kejayaan kembali Islam di mata dunia, di
lain hal adanya gerakan-gerakan fundamental untuk mendirikan Negara Islam yang
bukannya memberikan sumbangan besar bagi Islam, melainkan menjadi suatu
kesempatan bagi bangsa Barat untuk memperalat dan bahkan mengadu domba antar
kelompok-kelompok dalam Islam.[14]
Sekiranya perlu ada suatu sikap dan mental keberanian yang
sejati untuk mencapai kemenangan Islam, bukan sekedar dijejali mental Inlander
yang berdampak pada kezumudan untuk berfikir dan berjuang melawan daya
pengaruh global yang didominasi bangsa-bangsa Barat. Untuk mendapatkan
kemenangan Islam diperlukan ada kemenangan ide, cita-cita, sikap hidup yang
tidak selalu menyoroti kemenangan atas pribadinya,[15]
melainkan kemenangan Islam adalah kemenangan seluruh umat beserta sistem yang
ada di dalamnya.
Kecaman demi kecaman yang dilakukan bangsa Barat terhadap
Islam telah banyak menghegemoni pemikiran bahkan kekuasan politik ekonomi
setiap Negara-negara Islam di dunia.[16] Hal
yang perlu dibenahi dan belum sepenuhnya utuh terwujud adalah pembentukan pola
pikir ummat Islam agar memiliki bentuk yang jelas dan terarah bagi kemengan
Islam itu sendiri.
Pembaharuan peradaban dalam dunia Islam
1.
Peradaban Islam Turki
Modern
Transfer ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dari eropa, terutama dari prancis merupakan jalan keluar dari
keterbelakangan turki. Ahli eropa juga di undang ke turki guna mempercepat
pembaruan. Bagaimananpun usaha pembaharuan berjalan tidak mudah. Kelompok
konservatif yang pada awalnya mendukung pembaharuan, ternyata bekerja sama
untuk kepentingan mereka sendiri. Pada orde baru pembaruan lebih luas dilakukan
oleh sultan salim III, yang memerintah antara tahun 1789-1807. Salim berusaha
melampaui inovasi militer dan tekhnik-tekhnik modern dengan pembaharuan yang
fundamental di bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum. Meskipun salng gagal
dalam banyak hal, usaha pembaharuannya menimbulkan periode Nijami-Jedid (Orde
Baru) dan meletakan dasar pembaharuan Turki Modern.
Sulit untuk disangkal bahwa Mustapha
Kemal membawa Turki kedalam perubahan yang radikal, bahkan dengan perubahan
revolusioner dari sistem kkhalifahak ke republik parlementer, dari pembaruan
westernisasi ke sekularisasi. Hal yang paling mennjol dari revolusi itu ialah
bahwa sebagian besar, meski secara bertahap sesuai dengan tujuannya. Sekalipun
Kemal memusatkan kekuatan politik ditangannya ia juga mendirikan partai
politik., Partai Rakyat Republik, yang meneruskan program kemalis setelah
kematiannya. Namun setelah kebijakan multi partai diperkenalkan tahun 1946 dan
kemenangan Partai Demokrat dalam pemilu 1950, tidak saja menyebabkan
berakhirnya dominsai Partai Rakyat Republik, melainkan juga bangkitnya
semangant penegasan kembali pada islam dalam bentuk aktifis partai politik.
Pada saat yang sama militer telah mengambil alih tradisi menjaga negara.
2.
Peradaban Islam
Modern di Afrika Utara
Kondisi sosial politik, yang kurang
stabil pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, berpengaruh banyak dan pada awalnya
kurang kondusif terhadap pertumbuhan dan perkembangna peradabna baru di
negara-negara afrika utara. Insta-bilitas terjadi disebabkan oleh yang pertama
konflik internal: perubahan popularitas antar sufi dan politisi, kelompok sufi
dan ulama dan antar politisi. Yang kedua intervensi pihak asing, terutama
negara Prancis untuk selain Libya, dan itali untuk Libya. Intervensi ini
selanjutnya menempatkan kedua egara itu menjadi protectorate dan
bahkan kolonial.
Proses pertumbuhan dan perkembangan
peradaban baru di Afrika Utara mempunayi keunikan tersendiri. Disebagian negara
proses itu berlangsung secara reformas, namun terutama di Libya, proses itu
cukup revlusioner.
3.
Peradaban Islam
Modern di Asia Tenggara
Menjelangn kedatangan bangsa barat di
Asia Tenggara sedikitnya tedapat tiga pusat kekuatan islam yang berbeda-beda
kondisi politik, ekonomi, sosial maupau budayanya. Ketiga pusat kekuatan
tersebut adalah sumatera, Semenanjung Malaya, dan Jawa yang terbagi dalam
beberapa kerajaan dengan kondisi yang berbeda-beda baik politik, ekonomi,
sosial ataupun proses islamisasinya.
Di Sumatra dan sekitarnya, sejak
keruntuhan Sriwijaya muncul kerajaan Islam seperti Pedir, Pasai, Taming, Siak,
Indragiri, Rokan, Jambi dan Malaka. Diantara kerajaan tersebut malaka yang
paling terkemuka, namun kemudian jatuh ketangan portugis pada tahun 1521 M.
Setelah itu Samudra Pasai dianeksasi ole Aceh Darusalam.
Kerajaan Acah Darussalam mulai
mengalami kemajuan dlalam bidang perdaganganpada masa pemerintahan Muzzafar Syah
(1467-1497). Kegiatan perdagangan aceh semakin menu sejak Malaka dikuasai
Portugis karena para pedagang muslim memindahkan perdagangannya di daerah aceh.
Pada masa Sultan Ali Mughayat Syah, ia berhasil menyatukan laan-lawan porugis
dengan cara mengalahkan mereka terlebih dahulu.
Demikian halnya di semenanjung malaya
banyak berdiri kesultanan muslim. Diantaranya yang terkenal adalah kesultanan
johor. Kesultanan ini bukan sebuh dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan
kekuasaan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang berlainan.
PENUTUP
Mencermati akselarasi kebangkitan dunia Islam pada masa pembebasan
awal abad 20 dengan gerakan pembaharuan dan menanamkan sikap nasionalisme, maka
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tantangan yang dihadapi
oleh dunia Islam ke depan diantaranya adalah gerakan kristenisasi yang digarap
secara besar-besaran dalam dunia Islam, khususnya yang terkatagori melarat.
Gerakan zionisme yang mendapat dukungan politik dan dana dari dunia Barat
kapitalisme dan komunisme yang seringkali berkolaborasi dengan elite militer
yang sedang berkuasa dan sekularisme yang mengarap Dunia Islam melalui gerakan
pemikiran dan intelektual. Gejala ini dapat dilihat dalam kebijakan negara yang
memarginalkan kelompok elite agama dalam pemerintahan. Dan dapat pula dilihat
semakin banyaknya sarjana Muslim (IAIN) ke dunia Barat dengan harapan
mende-islamisasikan masyarakat secara pemikirannya.
Kedua, kelemahan dunia Islam diantaranya lemahnya pengusaan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta lemahnya pengusaan terhadap Islam itu
sendiri, misalnya banyaknya umat Islam yang belum bisa menguasai pemahaman
al-Qur’an, bahkan banyak pula yang buta
huruf membaca al-Qur’an. Pertanyaannya, bagaimana Islam bisa bangkit kalau
memahami ajaranya saja kurang sempurna. Inilah masalah yang dihadapi umat Islam
pada zaman sekrang ini.
Ketiga, Salahnya dunia Barat dalam memahami Islam, sebab
mereka memahami Islam bukan dari sumbernya tetapi dari prilaku-prilaku pemeluk
Islam yang salah pula. Tetapi sekarang ini
ada kecenderungan Dunia Barat lebih obyektif melihat Dunia Islam, sebab
orang Barat sendiri sudah bosan dan muak melihat budayanya yang serba materialistis, tidak mendatangkan
kedamaian dan kebahagiaan. Dari sinilah mereka mulai tertarik mempelajari Islam
tanpa apriori. Kenyataan ini banyak dibuktikan banyaknya orang Barat yang masuk
Islam, baik dari kalangan budayawan maupun lainnya.
Pendek kata kebangkitan Dunia Islam akan lahir apabila
pemahaman dan komitmen terhadap ajaran Islam merata di kalangan masyarakat
Islam, sehingga dalam diri mereka tersimpul keinginan untuk mengaktualkan Islam
dalam pentas kehidupan bernegara. Hal lain yang tak kalah penting adalah
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa dua kriteria itu tidak mungkin
lahir kebangkitan Islam kembali.
الحمد لله رب العالمين
BIBLIOGRAPHY
Madjid,
Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Paramadina. Jakarta
--------------------.
2000. Islam Agama Peradaban. Paramdina. Jakarta
Muthahhari,
Murthado. 1986, Gerakan Islam Abad
XX, terj. Rineka Cipta, Jakarta
Nasution,
Harun. 1988, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid. I, UI Press,
Jakarta.
Philip
K.Hitty,1974, History of The Arabs, The Macmillan Press, London. William
I. Cleveland, 1991,
Islam Menghadapi Barat, terj.
Ahmad Niamullah Muiz,1991, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Wahid,
Hidayat Nur. 2004. Mengelola Masa Transisi Menuju Masyarakat Madani. Fikri.
Ciputat-Jakarta
Yatim,
Badri. 1999, Sejarah Peradaban
Islam, RajaGrafindo Persada. Jakarta.
--------***-------
[1] Disampaikan pada saat
presentasi kelas pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam di PPS UIN SGD
Bandung, Dosen pengampu Prof. DR.Idzan Fautanu
[2]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta; 1999, Raja
Grafindo Persada), Hlm. 173-174
[3] Ibid., Hlm. 174
[4] Nurcholis Madjid, Pintu-pintu
menuju Tuhan. (Jakarta; Paramdina, 2008), Hlm. 272
[5]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid.I, (Jakarta;
UI Press, 1988), Hlm. 88
[6] Ibid., Badri Yatim, Sejarah
Peradaban …, hlm. 169-170.
[7] Ibid., Harun Nasution, Islam
ditinjau …, Hlm. 51
[8] Murtadha Muthahhari,
Gerakan Islam Abad XX, terj. Rineka Cipta, (Jakarta; Rineka Cipta, 1986),
Hlm. 54
[9] William I. Cleveland, Islam
Menghadapi Barat, terj. Ahmad Niamullah Muiz,(Jakarta; Pustaka Firdaus,
1991), hlm. 92.
[10] Ibid., Harun Nasution, Islam
ditinjau …, Hlm 23
[11] Ibid, Badri Yatim, Sejarah
Peradaban …, hlm. 185-187.
[12] Ibid., Hlm. 186-187.
[13] Ibid., Hlm. 188
[14] Nurcholis Madjid. Islam
Agama Peradaban. (Jakarta; Paramdina, 2000). Hlm. 218
[15] Ibid., Nurcholis
Madjid, Pintu-pintu menuju …, Hlm. 284-285
[16] Hidayat Nur Wahid, Mengelola
Masa Transisi …, (Jakarta; Fikri, 2004), Hlm. 176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar