Kamis, 05 Juli 2012

Fazlur Rahman; Ijtihad (masih) terbuka


RESENSI BUKU[1]

Judul Buku   : Membuka Pintu Ijtihad diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin
Penulis           : Fazlur Rahman
Penerbit         : Pustaka, Bandung
Tahun Terbit : 1995
Tebal Buku   : 304 Halaman
Sampul          : Kaligrafi (Warna Kuning)

Daftar isi Buku        :
Prakata
Kata Pengantar
Bab I. Konsep-konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma` pada Awal Sejarah Islam
Bab II. Sunnah dan Hadits
1.      Pembahasan Lebih Lanjut Mengenai Sunnah
2.      Perkembangan Hadits di Masa Lampau
3.      Gerakan Hadits
4.      Hadits Kaum Ortodoks
5.      Sunnah dan Hadits
Bab III. Perkembangan-perkembangan Post-Formatif di Dalam Islam
1.      Tata Politik
2.      Prinsip-prinsip Moral
3.      Kehidupan Spiritual; Sufisme
4.      Gerakan Filosofis
5.      Sifat Pendidikan
6.      Kesimpulan
Bab IV. Ijtihad pada Abad-abad yang Kemudian
Bab V. Perubahan Sosial dan Sunnah di Masa Lampau
1.      Masalah yang Kita Hadapi
2.      Contoh-contoh
3.      Kesimpulan Secara Garis Besarnya
Bibliografi
Indeks



Fazlur Rahman; Membuka Pintu Ijtihad

            Buku Membuka Pintu Ijtihad ini merupakan salah satu buku yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi perbincangan mutakhir tentang cita Islam. Sesuatu yang paling menonjol yang terdapat dalam uraian-uraian isinya adalah diseputar pengertiann Sunnah. Dalam tujuan pembahasannya sama sekali jauh dari keinginan untuk menghilangkan semua yang terjadi sejak masa permulaan Islam, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup , tetapi lebih merupakan ushaa kaum muslimin yang dibatasi oleh daerah, waktu dan pemahaman dapat mengatahui aspek-aspek kesejarahan mereka, untuk dapat berperan lebih jauh.
            Tidaklah berlebih-lebihan jika keempat prinsip tersebut amat penting dan bukan hanya merupakan prinsip yurispudensi Islam tetapi juga merupakan prinsip dari setiap pemikiran Islam. Yang terpenting untuk diperhatikan adalah bagaimana cara memadukan dan menerpakan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks hidup kekinian.
            Perbedaan mendasar di dalam memadukan dan penerapan prinsip-prinsip tersebutlah yang menjadi pembeda antara stagnasi dengan gerakan dan diantara kemjuan dengan kebekuan. Perbedaan seperti ini dapat dilihat antara fase awal dengan fase akhir perkembangan Islam dan penemuan historis yang teramat penting dimana para orientalis telah sedemikian banyaknya memberikan sumbangan mereka dan tidak dapat terus disembunyikan dibalik teori konvensional abad pertengahan mengenai prinsip-prinsip tersebut.
            Jadi sudah sangat jelas diterangkan dalam buku ini yang tidak hanya mengandung nilai kesejarahan yang murni tetapi juga mengandung nilai praktis yang amat penting dan dapat menunjukkan jalan bagi perkembangan-perkembangan Islam di masa mendatang. Dan oleh karena itu untuk lebih mengetahui secara mendalam apa yang disampaikan dalam buku Membuka Pintu Ijtihad karya Fazlur Rahman yang fenomenal ini, saya mencoba meringkasnya secara runtut sesuai apa yang ada dalam buku aslinya.

Bab I. Konsep-konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma` pada Awal Sejarah Islam
            Fazlur Rahman yang kemudian aya sebut Rahman menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah adalah konsep perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun aksi-aksi mental, dengan perkataan lain bahwa sebuah Sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulang kali. Hal ini dikarenakan bahwa Sunnah ini tidak hanya tertuju kepada sebuah aksi sebagaimana adanya tetapi selama aski ini berlangsung secara aktual dan berulang kali atau sekali saja.
            Tingkah laku yang dimaksud dalam Sunnah tersebut dimaksudkan sebagai perilaku dari pelaku yang sadar, yang dapat memiliki aksi-aksi mereka. Dan ini menunjukkan bahwa Sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku seperti suatu hukum dari benda-benda alam tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif; “keharusan” moral adalah suatu hal yang tidak dapat dilepaskan dari konsep Sunnah. Akan tetapi bagi beberapa pendapat dari kalangan sarjana Barat mengemukakan bahwa Sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang memperoleh status nornatif dan menjadi Sunnah.
            Di dalam teori yang dikemukakan di atas, Sunnah merupakan sebuah konsep perilaku maka sesuatu yang secara aktual diprkatekkan masyarakat untuk waktu yang cukuo lama dan tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai prkatek yang normatif dari masyarakat tersebut. Kesmpulan sederhana ini memebrikanmaksud bahwa dari konsep Sunnah itulah yang bermula suatu perilaku yang menjadi kebiasaan tertentu dan akan menjadikannya sebagai sesutau yang mengikat (normatif).
            Pada dasarnya dalam buku ini secar tegas mencoba menyampaikan bahwa Sunnah berarti “Tingkah laku yang merupakan teladan” dan bahwa kepatuhan yang aktual kepada “teladan” tersebut bukanlah sebagian daripada arti Sunnah, walaupun untuk menyempurnakannya Sunnah tersebut perlu dipatuhi sekalipun AbuYusuf yang diterangkan dalam buku ini mengemukakan bahwa Sunnah sebagai teladan meskipun dalam aktualnya ada baik dan buruk.
            Konsep perilaku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah paku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jadi pengertian yang melengkapi perkataan Sunnah tersebut memasuki unsur “kelurusan” atau kebenaran. Pengertian seperti ini yang terkandung dalam sanan al-thariq yang berarti jalan lurus yang berada di depan atau jalan yang tidak menyimpang. Selanjutnya pengertian Sunnah sebagai jalan yang lurus dan tidak menyimpang juga memeberikan arti sebagai sebuah “Penengah di antara hal-hal yang bersifat ekstrim” atau jalan tengah. Dengan pengertian seperti ini akan terlahir istilah Ahli Sunnah atau ortodoksi.
            Di samping pengertian Sunnah di atas, ada beberapa konsep Sunnah menurut sarjana-sarjana Barat seperti Ignaz Goldziher yang meyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala perbuatan dan tingkah lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat Muslim yang masih baru tesebut dan idealitas sunnah dari orang-orang Arab sebelum Islam pun berakhir. Sarjana lain Snouck Hurgro mengemukakan bawha kaum Muslimin sendiri menambah-nambah sunnah Nabi, sehingga hamper semua hasil pemikiran dan praktek Muslim dianggap Sunnah Nabi, beberapa pendapat lainnya adalah dari Josep Schacht  yang mengemukakan pandangan bahwa Sunnah Nabi hanya timbul dikemudian hari, sedang generasi Muslim di masa lampau Sunnah berarti praktek kaum Muslimin itu sendiri.
            Namun bagi Rahman, pendapat-pendapat mereka tentang Sunnah adalah suatu hal yang keliru, karena mereka (sarjana Barat) memandang konsep Sunnah hanya menemukan sebagian dari kandungan sunnah dari adat istiadat Arab pra-Islam, kemudian memandang kandungan Sunnah merupakan hasil pemikiran ahli-ahli hukum Islam yang dengan ijtihad pribadi mereka telah menarik kesimpulan dan praktek yang sudah ada dengan memasukkan  unsur-unsur luar seperti dari sumber Yahudi.
            Bagi Rahman, argumentasi Sunnah menurut sarjana Barat tersebut keliru dan menyatakan bahwa Sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam hingga masa kini, juga Sunnah yang bersumberkan Nabi tidakbanyak jumlahnya dan tidak dimaskudkan untuk bersifat spesifik secara mutlah, kemudian Sunnah sesudah Nabi wafat tidak mencakup Sunnah dari Nabi melainkan juga penafsiran terhadap Sunnah Nabi, dan Sunnah sama luasnya dengan Ijma yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus menerus.
            Betapapun juga konsep yang dimunculkan, Sunnah merupakan sebuah tradisi yang berbeda dari aktivitas seorang pribadi, karena sunnah pada masa generasi muslim awal adalah sebagai kelanjutan dari praktek-praktek Arab pra-Islam atau sebagian aktivitas pemikiran yang dilakukan secara asimilatif-deduktif oleh generasi Muslim tersebut. Akan tetapi yang terpenting sunnah dalam pengertian yang sesungguhnya adalah “memberikan sebuah teladan” agar teladan tersebut diikuti oleh orang lain seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Bahkan dalam Al-Qur`an pun berulang kali berbicara mengenai “Sunnah Allah yang tidak dapat diubah” juga mengenai perbutan Nabi yang patut dijadikan teladan.
            Pengertian Sunnah tidak diartikan sebagai  jalan tengah sebagaimana dalam surat Abu Hanifah yang mengatakan demikian, karena makna itu terjadi ketika ada pertikaian pendapat theologi. Kemudian muncul suatu perntanyaan “Mengapa Allah memilih Muhammad sebagai penyampai wahyu-Nya?”, pertanyaan seperti ini sering kali muncul dikalangan orientalis dan mampu dipatahkan dengan argumentasi bahwa seorang Nabi adalah manusia yang sangat berkepentingan untuk merubah sejarah sesuai dengan pola yang dikehendaki Allah. Dengan demikian baik wahyu yang disampaikan oleh Nabi tidak dapat terlepas dari situasi historis yang aktual pada masanya, dan ia tidak dapat hanya mementingkan generalisasi-generalisasi yang sama sekali bersifat abstrak. Oleh karenanya Nabi Muhammad dijadikan wakil-Nya sebagai sosok yang mampu bertanggungjawab atas didri dan ummatnya, dan itulah pilihan Allah.
            Secara garis besar Sunnah Nabi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman daripada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat mutlak. Atau dengan perkataan lain bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku (behavior) karena dalam prakteknya tidak ada 2 buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dpat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Kemudian Hasan al-Bishri menegaskan bahwa sunnah Nabi lebih merupakan petunjuk arah daripada serangkaian peratura-peraturan yang telah ditetapkan, bahwa pengertian sunnah ideal yang seperti inilah yang dijadikan landasan pemikiran kaum Muslimin di masa itu, dan bahwa ijtihad dan ijma` adalah pelengkap-pelengakapnya yang perlu sehingga Sunnah itu semakin dapat disempurnakan.
            Sunnah adalah sunnah Nabi atau sunnah dari setiap otoritas berikutnya yang bersumber dari sunnah Nabi, karena kami telah memberikan bukti bahwa praktek orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam tidak dapat dipandang sebagai normatif.
            Dengan melihat perkembangan masyarakat Muslim yang begitu luas dan komplek, ide-ide tentang sunnah diberbagai daerah seperti Mesir, Irak, Hijaz dan lain sebaginya berbeda-beda. Dan ini mendorong adanya pemikiran bebas secara individual (ra`y) dan memungkinkan pemikiran yang lebih sistematis terhadap al-Qur`an dan Sunnah yang sudah ada. Dan kemudian pemikiran sistematis ini disebut dengan qiyas. Sunnah bermula dari Sunnah ideal Nabi dan secara progressif telah diinterpretasikan oleh ra`y dan qiyas, sedang ijma` adalah interpretasi sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang telh disepakati secara bersama begitu ia secara perlahan-lahan diterima oleh ummat.
            Kandungan aktual sunnah dari generasi-generasi Muslim di masa lampau secara garis besar adalah produk jtihad, apabila ijtihad ini telah melalui interaksi pendapat secara terus menerus akhirnya dapat diterima oleh semua ummat atau disetujui ummat secara consensus (Ijma`). Itulah sebabnya mengapa istilah sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama, yaitu praktek aktual oleh Malik dipergunakan sebagai ekuivalen dari istilah al-amr al-mujtama` `alayhi atau dari sitilah ijma`. Sunnah dan Ijma` saling berpadu dan secara aktual dan material adalah identik. Tetapi sunnah manakala berhenti maka Ijma` akanmengambil alih peranannya. Dengan demikian kesepakatan di antara para sahabat adalah Sunnah al-Shahabah dan Ijma` al-Ashabah.
            Fenomena Sunnah-Ijma` adalah suatu ijma`-informal yang tidak menghilangkan perbedaan-perbedaan pendapat. Ijma` tersebut tidak bersifat regional, misalnya Sunnah-Ijma` yang terdapat di Madinah akan berbeda dengan yang ada di Irak. Hal ini menjelaskan proses pencapaian ijma`  yaitu melalui perbedaan-perbedaan pendapat melalui penggunaan lokal dan penafsiran-penafsiran yang berebeda timbullah sebuah pendapat yang umum (opinion public).
            Menurut beberapa mazhab, Ijma` bukanlah sebuah fakta yang statis yang ditetapkan dan diciptakan, melainkan sebuah proses demokratis yang terus menerus, bersifat informal dan tumbuh secara wajar dan toleran bahkan menghendaki adanya pemikiran segar dan baru sehingga ia tidak hanya harus hidup bersama-sama dengan tetapi juga di atas perbedaan-perbedaan pendapat.
            Menurut Imam Syafi`I peranan Sunnah-Ijtihad-Ijma` diberikannya kepada sunnah Nabi sedangkan menurutnya sunnah Nabi bukanlah suat upetunjuk yang bersifat umum tetapi bersifat tegas dan ditafsirkan secara literal dan penyiaran sunnah Nabi ini hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan hadits. Gerakan penciptaan hadits secara besar-besaran menuntut ummat untuk memilah dan memilih Sunnah Nabi sebagai suatu keseragaman pandangan atas kewenangan Nabi Muhammad SAW.
            Menurut Syafi`I ketiga peranan sumber pokok pemikiran Islam secara runtut dikemukakan terlebih dahulu adalah peranan Sunnah, kemudian Ijma` dan Ijtihad. Akan tetapi jika urutan Ijtihad-Ijma`  dibalikan menjadi Ijma`-Ijtihad akan menjadi rusak. Ijma` tidak lagi menjadi sebuah proses yang menghadap ke masa depan sebagai produk dari Ijtihad secara bebas, maka Ijma` menjadi statis dan menghadap ke masa lampau. Kegeniusan Syafi`i memang berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan kepada struktur sosio-religius kaum Muslimin pada zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilanhkan kreativitas dan originalitas mereka.

Bab II. Sunnah dan Hadits
            Dalam pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa yang disebut dengan Sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi-generasi Muslim pada zaman lampau, dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka peroleh, dan bahwa penafsiran yang kontinyu dan progresif ini walaupun berbeda bagi daerah-daerah yang berebeda, maka itulah disebut dengan Sunnah.
            Sebagai suatu contoh, Abu Yusuf menulis dalam bukunya berjudul al-Radd `ala Siyar al Awza`i menyatakan pendapat Abu Hanifah bahwa jika seseorang yang menjadi Muslim di negeri non-Muslim meninggalkan kampong halamannya untuk bergabung dengan Muslim-muslim lainnya sedang negeri itu kemudian jatuh ke tangan kaum Muslimin, maka harta kekayaannya yang berada di negeri tersebut tidak dikembalikan kepadanya dengan begitu saja tetapi dimasukkan ke dalam mal al-ghanimah. Seorang tokoh Syria Awza`I menentang pendapat Abu Hanifah tersebut  dengan mengemukakan bahwa ketika kota Mekkah jatuh ke tangan kamum Muslimin Nabi telah mengembalikan harta kekayaan orang-orang yang telah meninggalkan kota itu untuk bergabung dengan kaum Muslimin di Madinah.
            Untuk membela pendapat Abu Hanifahnya itu, Abu Yusuf mengemukakan bahwa Sunnah Nabi dengan suku Hawazin juga berbeda. Setelah mengalami kekalahan, Bani Ahwazin menghadap Nabi, dan memohonkan ampunan serta kebebasan bagi orang-orang mereka yang ditawan dan meminta agar harta kekayaan mereka dikembalikan. Untuk memenuhi harapan mereka Nabi Muhammad SAW menyerahkan harta rampasan yang merupakan bagiannya dan perbuatannya itu diikuti oleh yang lainnya kecuali suku-suku tertentu diantara mereka. Oleh karena itu, Nabi terpaksa member ganti rugi kepada suku-suku tersebut dan dengan demikian harta kekayaan budak-budak milik Bani Hawazin dapat dikembalikan semuanya.
            Perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad, menurut Abu Yusuf sebagai kekecualian dan oleh karena itu tidak dianggapnya sebagai Sunnah. Akan tetapi menurut al-Awza`i tindakan Nabi tersebut adalah Sunnah. Menyimak diskusi panjang antara Abu Yusuf dan al-Awza`I merupakan contoh perdebatan tentang makna Sunnah Nabi. Akan tetapi hal ini dpaat ditarik suatu kesimpulan bahwa “apabila keadaan memaksa kekecualian terhadap peraturan dapat dipergunakan sebagai peraturan”.
           
1.      Perkembangan Hadits di Masa Lampau
            Menjadi suatu kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa hadits Nabi telah ada semenjak awal perkembangan Islam. Sesungguhnya semasa hidup Nabi Muhammad adalah wajar sekali jika kaum Muslimin membicarakan apakah yang dilakukan dan dikatakan Nabi, terutama sekali yang berkenaan dengan masyarakat.
            Semasa hidup Nabi sendiri hadits-hadits umumnya hanya dipergunakan di dalamkasus-kasus informal karena satu-satunya peranan hadits adalah memberikan bimbingan di dalam praktek aktual kaum muslimin dankebutuhan ini telah dipenuhi oleh Nabi sendiri. Setelah NAbi wafat tampaknya hadits memiliki status yang semi formal karena adalah wajar sekali jika generasi yang sedang bangkit tersebut mempelajari kehidupan Nabi mereka.
            Hadits juga dijadikan sebagai sarana penyiaran sunnah Nabi, ia ada untuk tujuan-tujuan praktis, sebagai sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat dikembangkan menjadi praktek kaum muslimin. Karena itulah hadits-hadits tersebut secara bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang sedang mereka hadapi dan akhirnya terciptalah apa yang dinamakan dengan “sunnah yang hidup”.  Dalam mengembangkan hukum, ahli-ahli hukum mengemabil sunnah yang hidup tersebut sebagai landasan mereka dan memberikan penafsiran secara bebas melalui pertimbangan pribadi mereka, maka penyair-penyair hadits meyakini bahwa kewajiban mereka adalah menyiarkan hadits untuk menegakkan stabilitas hukum.
            Pada masa-masa awal sejarah Islam tersebut, sebagian besar hadits-hadits yang ada tidak bersumber kepada Nabi, hal ini bukan karena bukan hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya tetapi karena ulah generasi-generasi yang kemudian. Bahkan di dalam karya-karya dari abad kedua Hijriyah yang pada saat ini masih dapat dijumpai, hamper semua hadits-hadits hukum, bahkan hadits-hadits moral tidak bersumber dari Nabi, tetapi apabila ditelusuri ternyata bersumber dari para sahabat, para “penerus”, dan generasi muslim yang ketiga.
            Pada pertengahan abad kedua gerakan hadits sudah cukuo banyak memperoleh kemajuan dan walaupun hamper semua hadits-hadits yang ada masih dinyatakan tidak bersumber dari Nabi melainkan bersumber dari para sahabat dan generasi-generasi Muslimsesudah mereka, bahkan sebagian dari pendapat-pendapat di bidang hukum dan pandangan-pandangan dogmatis dari kaum muslimin pada masa lampau mulai diproyeksikan kepada Nabi Muhammad SAW.  
           
2.      Gerakan Hadits
            Materi-materi hadits terus bertambah pada abad kedua dan periode yang kami kemukakan di atas merupakan periode transisi di dalam perkembangan literatur dan status dari hadits Nabi.
            Kedudukan hadits semakin kuat jika dibandingkan dengan sunnah yang hidup, sunnah yang berdasarkan penafsiran secara bebas dan progressif. Dengan latar belakang seperti inilah al-Syafi`i , si “Jagoan Hadits” melancarkan kampanye yang berhasil untuk menempatkan hadits sebagai pengganti Sunnah yang hidup tersebut. Sebagai salah satu contoh dari sikap Syafi`i terhadap hadits dan penafsiran bebas adalah tentang kasus melembagakan perwalian (waliy) di dalam perkawinan. Lemabaga waliy ini tentu lebih tua daripada sejarah Islam itu sendiri, dan mengenai betapa pentingnya lembaga ini dapat ditemukan melalu iriwayat yang bersumber dari NAbi serta yang lainnya. Menurut satu riwayat seorang wali diperlukan untuk pernikahan yang pertamasekali sedang bagi seorang wanita “janda” yang hendak menikah lagi tidak diperlukan. Tetapi dalam riwayat yang lain menyatakan bahwa tanpa adanya waliy setiap pernikahan adalah tidak sah.
            Lebih lanjut Syafi`i mengatakan bahwa hadits mengenai perwalian ini harus diterima tanpa berbeda pendapat dan bantah-bantahan. Jadi dapat diketahui penafsiran yang dilakukan Syafi`i terhadap lembaga waliy ini bukanlah untuk menjaga martabat dan harga diri, tetapi untuk melindungi kaum wanita dari keaiban dan untuk memberikan jaminan Negara kepada pernikahan yang sesungguhnya. Walaupun Syafi`i telah tepat sekali dalam menganalisa nilainya (`illat al hukm) tetapi ia memperingatkan kita agar tidak melakukan aktivitas rasional yang seperti inidan menyarankan agar kita menerima hasits secara literal.
            Gerakan hadits yang merupakan perubahan baru di dalam struktur religius Islam sebagai sebuah disiplin dengan aktifitas Syafi`i di dalam hadits hukum sebagai batu loncatannya, pada hakikatnya menghendaki bahwa hadits harus berkembang, dan bahwa hadits-hadits harus selalu diciptakan di dalam situasi-situasi yang baruseperti di bidang sosial, moral, religius dan sebagainya.
            Sesungguhnya sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak lain daripada sunnah-ijthad dari generasi pertama kaum muslimin. Ijtihad ini bersumber dari ide individu tetapi setelah beberapa lama dan setelah perjuangan-perjuangan serta konflik-konflik yang seru menentang bid`ah-bid`ah serta ide-ide yang sangat picik dibenarkan oleh Ijma`, atau ditaati oleh mayoritas kaum muslim. Dengan perkataan lain, Sunnah yang hidup di masa lampau tersebut terlihat di dalam cermin hadits yang disertai dengan rantaian perawi. Namun di antara sunnah dengan hadits ada sebuah perbedaan yang sangat penting, apabila secara garis besar sunnah merupakan sebuah fenomena praktis yang ditujukkan kepada norma-norma perilaku, maka hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan prinsip-prinsip religius.

3.      Hadits Kaum Ortodoks (al-Sunnah wa`l Jama`ah)
            Sebuah ciri terpenting dari sejarah agama Islam, ciri yang jika dilupakan atau disepelekan akan terjadi salah paham terhadap sejarah Islam adalah kenyataan begitu perbedaan-perbedaan pendapat di bidang politik, theologi, dan hukum mengancam integritas kaum muslimin maka timbullah ide untuk mempertahankan persatuan kaum muslimin. Doktrin yang menyatakan persatuan ini adalah semacam sintesa atau via media (al-sunnah) adalah sebuah akibat yang wajar dan perlu dari ide di atas. Dengan demikian konsep “al-Sunnah wa`l Jama`ah” sebagai sebuah ungkapan tidak hanya tepat tetapi juga dianggap saling berhubungan.
            Peperangan politik beserta pertentangan theologis dan dogmatis yang saling susul menyusul telah menimbulkan hadits-hadits yang bersifat prediktif dan dikenal sebagai hadits mengenai perang saudara (Hadits al-fitan). Jelas sekali bahwa hadits-hadits ini memberikan jalan tengah terutama sekali di antara golongan khariji dan syi`ah yang secara theologis danpolitis memiliki pandangan-pandangan ekstrim.
            Suatu konsep yang mengatakan bahwa “mayoritas yang berada di tengah-tengah” ini timbul karena kebutuhan politik, namun akhirnya dipergunakan untk kebutuhan theologi dan hukum karena masing-masing golongan politik cenderung pada suatu landasan theologis-moral hukum untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini yang perlu diingat istilah “al-jama`ah min al-Hadits” (yaitu hadits yang diakui oleh pihak mayoritas atau sifat kolektif dari hadits) dan “al-Sunnah al-Ma`rufah” yang sering digunakan Abu Yusuf untuk membedakannya dari pendapatyang “dangkal” dan “kabur”.
            Pertentangan yang membawa pada peperangan seperti inilah yang berbahaya, yang tidak hanya merupakan pertentangan moral-theologis yang pertama dalam sejarah Islam, tetapi juga karena sifatnya yang sangat mengancam kepada struktur masyarakat muslim. Dan sebagai akibat dari aktivitas hadits yang dilakukan secara seksama agar memikat hati di dalam konflik yang tak henti-henti tersebut otodoksi muslim (Ahli Sunnah) yang merupakan masyoritas kaum muslimin akhirnya merumuskan melalui al-Asy`ari, al-Maturidi dan penerus mereka agar sebuah definisi Islam secara universal yang mebungkam Kharijisme dan Mu`tazilaisme sehingga dapat  menyelamatkan kaum muslimin dari kehancuran besar.
            Perjuangan yang serupa dari Ahli Sunnah untuk mengambil jalan tengah dan menahan kecenderungan yang kuat pada masa itu dapat kita saksikan di dalam fenomena hadits-hadits yang pro dan anti-sufisme.

4.      Sunnah dan Hadits
            Hadits terkadang bersifat historis tetapi tidak mengandung kenormatifan syari`ah atau dengan perkataan lain walaupun shahih namun hadits-hadits tersebut merupakan sunnah. Muslim sering kali mnghendaki kemajuan, tetapi kemajuan in karena Islam bukan karena meninggalkan atau mengenyampingkan Islam. Selanjutnya kenyataan yang ironis dan menyedihkan bahwa sering kali argumentasi anti –hadits (anti-sunnah) berdasarkan hadits-hadits tertentu bersifat subyektif bahwa Nabi Muhammad, Umar atau salah satu diantara tokoh-tokoh di awal sejarah Islam telah melarang atau mencegah penyiaran hadits Nabi.
           
Bab III. Perkembangan-perkembangan Post-Formatif di Dalam Islam
            Islam adalah agama gerakan aktual yang pertama kali dikenal sejarah secara serius dan berarti, karena meyakini usaha untuk memperbaiki dunia ini bukanlah suatu usaha yang sia-sia atau hanya akan memperburuk keadaan tetapi suatu usaha yang melibatkan Allah dan manusia. Setelah Islam lahir ahanya komunisme sajalah yang hendak mengubah sejarah secara sistematis, akan tetapi selain sebagai humanism barat modern yang ektrsim, komunisme sangat meyakini relativisme nlilai-nilai.
            Dengan mengembalikan kepada konteks sejarah Islam, maka peneyempurnaan terhadap sistem theologi, hukum, politis dan sosial yang rumit, equilibrium dan konolidasi yang diakibatkannya menciptakan semarak  yang sangat mengagumkan di bidang-bidang intelektual, spiritual, ilmiah pada umumnya.

1.      Tata Politik
            Pada pembahasan bab sebelumnya telah disebutkan bahwa kemunculan pertikaian antara kaum Khariji dan Syi`ah telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Kelahiran dan aktivitas politik dari kedua sekte tersebut terutama sekte Khariji yang memberikan kandungan politis kepada Sunnisme.
            Pada mulanya orang sunni berada ditengah-tengah antara dua golongan yang bertikai tersebut, setidaknya pada level doktrinalnya. Walaupun demikian, jika tidak didukung oleh factor moral-spiritual, doktrin fasisme politik yang murni tentu tidak akan menyebabkan sikap yang begitu saja menerima oportunissme politik.
            Patut untuk diketahui bahwa berbicara mengenai pendapat dari kedua golongan tersebut yang mengarah pada unsur politik, menurut Ibn al-Muqaffa` tidak ada mengemukakan hadits atau pun keterangan-keterangan yang diprasangkakan sebagai hadits untuk mendukung pihak yang menghendaki pemberontakan maupun untuk pihak yang mengehndaki sikap pasifis secara mutlaq.

2.      Prinsip-prinsip Moral
            Masalah pokok dibidang moral mengenai kemerdekaan dan pertanggungjawaban manusia, selanjutnya masalah yang perlu diperhatikan adalah al-Qur`an dan amal perbuatan Nabi merupakan sebuah kerangka yang lengkap untuk menjamin energi kreatif yang maksimal dari ummat manusia dan untuk menjaga agar kreativitas ummat manusia ini tetap berada pada saluran moral yang benar.
            Al-Qur`an dengan keras mengingatkan kepada kita terhadap kecenderungan-kecenderungan nihilis yang menyebabkan manusia memandang dirinya sendiri, kecenderungan-kecenderungan yang dapat dikatakan bersifat Takabbur dan menyerukan manusia agar mentaati hukum moral.
            Nabi Muhammad dalam setiap perbuatan, dan perkataannya merupakan sebuah contoh yang aktual dan pada dasarnya demikian pulalah dengan reaksi-reaksi para sahabat. Tetapi hamper satu abad lamanya Nabi wafat kecenderungan moral yang bersifat praktis ini dikalahkan oleh spekulasi-spekluasi yang tajam. Pada masa tertentu agama harus merumuskan pandangan hidupnya secara lengkap dan theologis.
            Masalah tidak hanya sebatas itu saja, banyak persoalan yang mesti dipecahkan menggunakan sunanah yang hidup agar Islam dapat di pandang sebagai sosok yang dapat  benar-benar memberikan realisasi moral bagi kehidupan dan bukan sekedar wacana yang berbuntut pada perseteruan retotika semata.

3.      Kehidupan Spiritual; Sufisme
            Dalam pembahasan ini tidak ada kaitannya dengan sejarah sufisme, apalagi dengan seala praktek dan pemikiran sufi, tetapi hanya dengan beberapa segi-segi saja yang penting karena ada hubungannya dengan argumentasi Sunnah Nabi, yaitu bahwa untuk menghadapi urgensi historis tertentu yang bersifat ekstrim ortodoksi selama fase normatifnya dahulu terpaksa mengambil tindakan-tindakan penyembuhan yang agak bersifat ekstrim pula, dank arena pintu Ijtihad telah ditutup sesudah peride tersebut maka penyembuhan di atas menjadi bagian permanen dari kandungan struktur ortodoksi kaum muslimin.
            Harus diakui bahwa diantara para sahabat tentu ada yang lebih cenderung kepada kontemplasi dan introversi walaupun pernyataan-pernyataan sufi dikeudian hari mengenai Abu Dzarr al-Ghiffari, Abu Hurayrah dan lainnya tidak dapat kit aterima sebagai suatu kebenaran historis. Adalah sangat tidak pada tempatnya jika kita mengatakan bahwa para sahabat tersebut ada yang mengalami ekstase-ekstase seperti yang dialami Abu Yazid al-Busthami dan ada lagi yang menciptakan syair-syair theosofis seperti yang digubah oleh Ibn `Arabi.
            Sufisme tidaklah puas dengan peristiwa trans-historis ketika menjadi bagian dari kandungan doktrin bersama. Sufisme menciptakan doktrin yang lain yang tidak bersifat trans-historis, tetapi benar-benar bersifat spiritual dan meta-historis. Sufisme menegakkan sebuah hierarki yang tak terlihat, hierarki ini terdiri dari manusia-manusia suci yang berpaling dari dunia dengan sebuah kutub (Quthb) dipuncaknya.
            Dengan jelas dikatakan bahwa hierarki yang senantiasa dibangun sufisme ada dan semesta itu telah binasa. Apakah syi`ah itu yang mempengaruhi sufisme atau sebaliknya, tetapi yang terang adalah bahwa pada waktu yang bersamaan konsep Syi`ah mengenai “Imam yang ghaib” secara theologis dirubah menjadi “kekuatan tersembunyi” untuk menentang kekuatan politik yang aktual dan nyata terlihat, yang dipegang oleh orang-orang Sunni.

4.      Gerakan Filosofis
            Gerakan filosofis dalam Islam yang mebuahkan suatu hasil karya di dalam kultur Islam dan yang pengaruhnya terhadap jalan pemiikiran orang-orang Barat sedemikian dalam, yang namapak jelas dan dapat bertahan hingga saat ini adalah kelanjutan dari pengalaman pemikiran yang rasionalistis dari orang-orang Mu`tazilah pada abad ke-2, 3 dan 4 Hijriah.
            Dengan tampilnya para filosof muslim seperti al-Kindi, al-farabi, Ibn Rushd, maka terbukalah era baru bagi kebudayaan Islam dan bab yang paling cemerlang mengenai pemikiran seluruh manusia. Dengan kebebasan yang benar-benar mutlak, akal manusia secara serentak meluas ke segala penjuru eksistensi dan kehidupan.
            Akal manusia mempelajari analisa-analisa yang bebas dari kekangan dan menilai data-data dari semua sains-sains pasti alam, biologi dn humanistik. Di dalam karya-karya mereka, para filosof muslim tersebut memasukkan risalah-risalah mengenai gerak, jiwa, ruang danlain sebagianya.
            Sringkali seorang filosof merangkap sebagai seorang dokter seperti Ibn Sina, al-Razi, dan Ibn Rusyd. Tetapi para filosof tersebut terkecuali jika mereka kebetulan saintis-saintis eksperimental lebih suka mempelajari sains-sains pasti alam secara “ilmiah”. Walaupun demikian karya mereka dibidang sains pasti alam merupakan karya besar lagi sempurna, spekluatif dan benar-benar merupakan hasil pemikiran yang logis, sedang mereka bersedia menerima kesimpulan yang tampaknya bersumber dari aktivitas rasional tersebut.

5.      Sifat Pendidikan
            Sikap kalangan ortodoks terhadap filsafat khususnya dan terhadap sains-sainsnrasional umumnya, secara langsung telah membawa kepada peninjauan singkat mengenaai awal mula, perkembangan dan sifat dari sistem pendidikan Islam beserta kandungan-kandungannya.
            Al-Qur`an sering mengatakan perkataan `Ilm, kata-kata jadiannya yang umum dan pengertiannya sebagai pengetahuan melalu ibelajar, berfikir, pengalaman dan lain sebagainya. Dengan pengertian yang seperti inilah perkataan `Ilm dipergunakan pada zaman Nabi, tetapi setelahgenerasi sahabat, Islam mulai berkembang sebagai sebuah tradisi.
            Hal yang terpenting dalam istilah `Ilm adalah sejak dahulu lebih bersifat tradisional daripada rasional di dalam sejarah Islam. Pada abad-abad awal di dalam sejarah Islam kaum Muslimin ortodoks tidak memperkembangkan pendidikan tinggi secara sistematis, pelajaran-pelajar yang diberikan secara eksklusif dan bersifat tradisional. Ini disebabkan karena kurangnya pengorganisasian, akibat tidak adanya penyaluran yang sistematis dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi.

Bab IV. Ijtihad pada Abad-abad yang Kemudian
            Di dalam dunia Islam dam Ilmu pengetahuan Islam pada masa kini sudah terbiasa mendengar pernyataan bahwa “Pintu Ijthad (pemikiran baru) di dalam Islam telah tertutup”, tidak ada seorangpun yang benar-benar mengetahui kapankan pintu ijtihad di tutup dan siapakah sesungguhnya yang telah menutupnya. Tertutupnya pintu ijtihad tersebut adalah perlu atau memang diinginkan atau mengenai penutupan “pintu ijtihad” itu sendiri, walaupun kita dapat menemukan penilaian-penilaian yang beranggapan bahwa “pintu ijtihad telah tertutup”.
            Penilaian-penilaian tersebut dikenakan pula kepada keadaan-keadaan di masa lampau dan tidak tertuju kepada pernyataan tertentu mengenai penutupan pintu Ijtihad. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa, walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup oleh siapapun juga yang memiliki otoritas yang besar di dalam Islam. Namun suatu keadaan secara lambat laun serta pasti melanda dunia Islam dimana sleuruh kegiatan berfikir secara umumnya berhenti.
            Ijtihad merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kesanggupannya. Kemudian sesorang mempunyai pendapat yang sesuai dengan kebenaran yang teihat dan berdasarkan hal-hal yang dianggapnya benar. Berkenaan dengan Ijtihad pembahasan mengenai kulaifikasi-kualifikasi yang harus dimiliki bagi seseorang sebelum ia dikatakan sebagai seorang mujtahid. Pada abad pertengahan para ulama telah berbicara mengenai hal ini bahwa suatu Ijtihad yang bersifat mutlak (Ijtihad Mutlak) dan ijtihad yang bersifat parsial atau yang hanya dilakaukan dalam masalah-masalah tertentu saja.
            Kemudian pada periode berikutnya, Ijtihad dibagi pula menjadi tiga, yaitu : Ijtihad Muthlaq atau ijtihad yang mutlak, Ijtihad Muqayyad atau ijihad yang terbatas dan Ijtihad fi`l Mazhab atau Ijtihad dalam mazhab hukum yang tertentu saja. Jelalah bahwa pembagian ijtihad ini bersifat formalistik dan agak artifisial, dan dalam hal ini ada dua orang penulis, yaitu AL-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi yang mengatakan bahwa yang pertama kali dan terpenting bahkan sebelum ilmu pengetahuan Islam adalah kesanggupan intelektual untuk menarik deduksi-deduksi.
            Anggapan tentang ijtihad parsial apakah dapat dilakukan tanpa adanya kesanggupan untuk melakukan Ijtihad Muthlaq merupakan masalah yang saling dipertentangkan oleh ahili-ahli hukum Islam. Sebagian besar diantara mereka temapknya menyetujui, namun adapula yang menentang pembagian ijtihad seperti ini. Argumentasi yang mendukung dinhatakan oleh al-Iji yang meninggal ada tahun 756 H.
            Apabila dianalisa secara mendalam, penerapan metodologi yang digunakan oleh seseorang untuk melakukan ijtihad tidak dapat dielpaskan dari kemampuannya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang memang belum secara jelas diungkap dalam Hadits Nabi, dan juga kesemuanya merupakan pencapaian dari proses Ijma` atau consensus kaum Muslimin dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam.

Bab V. Perubahan Sosial dan Sunnah di Masa Lampau
1.      Masalah yang Kita Hadapi
            Apabila kekuatan-kekuatab baru yang dahsyat dibidang sosio-ekonomi, cultural moral ataupun politik terjadi di dalam, atau menimpa suatu masyarakat maka tidak perlu diragukan lagi kalau nasib masyarakat tersebut akan tergantung kepada sampai berapa jauhkah ia sanggup menghadapi tantangan-tantangan baru secara kreatif.
            Jika suatu masyarakat dapat menghadapai dua kutub ekstrim, yakni yang pertama merasa panik, dan mencari perlindungan khayali ke masa lampaunya dan yang kedua mengorbankan atau mengkompromikan ideal-idealnya. Maka yang akan terjadi setelah itu adanya keyakinan kepada dirinya sendiri untuk melakukan reaksi terhadap kekuatan-kekuatan baru itu dengan mengasimilasi, menolak dan bentuk-bentuk kreativitas lainnya, maka ia aka nmengembangakan sebuah dimensi baru untuk aspirasi-aspirasi spiritualnya.
            Secara gambalang dapat dikatakan bahwa kira-kira satu abad lamanya kaum muslimin telah mengalami serangan di dalam dirinya sendiri, dari kekuatan dahsyat yang dilancarkan oleh apa yang disebut dengan “modernitas” yang bersumber dari Barat kontemporer. Pemikir-pemikir Muslim, baik di anak benua India-Pakistan maupun di timur tengah secara sadar telah melakukan berbagai usaha, khususnya menjelang akhir abad yang lampau untuk menghadapi tantangan baru ini secara kreatif dengan melakukan penyerapan, penyesuaian dan lain sebagainya.
            Secara garis besar, sebenarnya di zaman ini kita telah mengalami kemandegan intelektual dan sebagai kinsekwensinya untuk semua tujuan-tujuan praktis kita telah mengambil kedua buah sikap ekstrim di atas yaitu sikap laissez faire terhadap kekuatan baru tersebut dan sikap melarikan diri dari masa lampau yang secara emosional mengkin tampak lebih cepat memuaskan, namun sesunggunya lebih berbahaya dari sikap yang pertama.
            Tetapi untunglah Islam memiliki garis-garis kebijaksanaan yang kuat dan yang bersumber dari sejarah masa lampau ummat Muslim, ketika ajaran al-Qur`an Sunnah Nabi disempurnakan dan ditafsirkan secara kreatif menjadi Sunnah yang hidup untuk menghadapi factor-faktor dan benturan-benturan baru.

2.      Contoh-contoh
            Kekuatan-kekutan baru yang sedang di hadapi secara terus menerus bagi kaum Muslimin adalah persoalan yang mesti dicarikan solusi pemecahannya terkait beberapa unsur hukum  kehidupan ummat Muslim yakni :
1)      Hukum Perang,
2)      Hukum kriminal,
3)      Legislasi sosial,
4)      Hukum kesaksian,

3.      Kesimpulan Secara Garis Besarnya
            Beberapa contoh dari sekian banyak kekuatan baru yang menjadi tantangan ummat Muslim ini telah nampak sebagian diterangkan pada bab-bab sebelumnya. Islam adalah nama dari norma-norma dan ideal-ideal tertentu yang harus direalisasikan secara progresif di dalam aneka ragam fenomena dan lingkungan sosial.
            Sesungguhnya apabila dipahami sebagaimana mestinya Islam senantiasa mencari bentuk-bentuk yang baru serta segar bagi realisasi dirinya, dan ia senantiasa menemukan bentuk-bentuk tersebut. Institusi-institusi sosial adalah salah salah satu dari sektor-sektor terpenting dari aktivitas dan ekspresi Islam.
            Oleh karenaya institusi sosial iniharus merupakan sarana yang tepat untuk membawakan dan meyiarkan nilai-nilai Islam dalam keadilan sosial, kreativitas dan lain sebagainya. Sehingga pengamalan Sunnah Nabi dapat terasa keuniversalitasannya dalam menapaki semangat zaman.

الحمد لله رب العالمين


[1] Disusun sebagai Tugas Akhir pada mata kuliah Ilmu Hadits jurusan Religious Studies di PPS UIN SGD Bandung, Dosen pengampu Dr. Ali Masrur, M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar