Kamis, 05 Juli 2012

Humanisme dalam keberagaman Agama


Revitalisasi Peran Agama; Upaya Mewujudkan Ummat yang Humanis
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi [1]

ABSTRAKSI
            Dalam beberapa waktu ini, isu fundamental yang dihadapi dunia berhubungan erat dengan pertanyaan dasar tentang bagaimana seseorang berurusan dengan perbedaan dan keanekaragaman konsep kebenaran. Dengan adanya perbedaan pemikiran tentang konsep kebenaran menurut keyakinannya itu, senantiasa mengundang perselisihan dan kebencian mendalam yang dilandaskan pada agama, sehingga peran agama tak lebih sebagai bagian dari permasalahan ketimbang pemecahannya. Agama lebih menyumbang pada pertumpahan darah dan perpecahan ketimbang pengkondisian yang positif bagi masyarakat untuk urusan dengan keberlainan pihak lain. Untuk dapat memberikan pandangan atas fenomena sosial seperti yang telah disebutkan tadi, maka perlu kiranya suatu upaya resolusi kongkret dalam penyelesaiannya. Dalam studi fenomenologi  ini, saya menawarkan suguhan hipotesa tentang pentingnya toleransi dalam beragama dengan merevitalisasi peran kekuatan-kekuatan agama baik tokoh maupun kaum agamawan untuk merubah frame berpikir secara inklusif.

KATA KUNCI
ü  Revitalisasi merupakan upaya memberikan perhatian penuh terhadap suatu persoalan tertentu,
ü  Humanisme adalah perilaku yang lebih manusiawi,
ü  Inklusif adalah suatu sikap atau cara berpikir terbuka,
ü  Toleransi merupakan sikap menghargai perbedaan baik individu maupun kelompok,
ü  Pluarlisme adalah paham yang memberikan sikap terbuka atas segala bentuk atau ragam perbedaan yang ada, baik suku, agama, ras dan lain sebagainya,
ü  Radikalisme merupakan paham atau ajaran tentang gerakan-gerakan yang didasari dengan pemahaman tekstual dan cenderung melahirkan pola berpikir fundamental dan perilaku anarkis.


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
            Suatu hal yang menjadi prinsip dasar pandangan dunia sekaligus merupakan pondasi penting dalam diri seorang manusia terutama bagi mereka yang “beragama” salah satunya adalah beriman atau memiliki kepercayaan.[2] Dengan kepercayaannya itu akan melahirkan suatu tata nilai guna menopang hidup dan budayanya, dan tentunya tanpa adanya sikap yang dilandasi kepercayaan atau pun adanya keraguan tidak mungkin dapat mempercayai tentang ada sesuatu yang lebih berkuasa di luar kemampuan dirinya sendiri. Sehingga kepercayaan merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut sebagai agamawan, dan sudah dapat dipastikan bagi yang tidak memiliki kepercayaan hakiki tersebut bukanlah seornag agamawan.
            Barangkali tidak berlebihan jika saya katakan, agama telah menjadi salah satu atribut paling penting bagi sebuah peradaban manusia. Agama dipandang sebagai suatu ketentuan yang mampu mengatur jalan hidup manusia agar memiliki nilai-nilai kehanifan dalam hidup seperti yang telah diajarkan dalam agama Ibrahim.[3] Agama diasumsikan sebagai institusi yang mampu mewadahi kebutuhan-kebutuhan psikis manusia, karena di dalam agama memberikan ajaran-ajaran yang sekiranya mampu menjawab persoalan-persoalan yang sulit untuk dipecahkan dalam pandangan sains sebagai wakil dari modernitas, semisal pembuktian adanya hari akhirat.
            Seseorang akan dapat diakui sebagai seorang yang “beradab” dan atau “berperadaban” jika dalam dirinya melekat suatu atribut agama, terlepas apapun nama agama yang dianutnya. Terkadang bagi sebagian orang memiliki pandangan negatif tentang persoalan agama yang lebih mengidentikkan agama dengan keterbelakangan, ketertinggalan, kumpulan orang-orang primitif, memilliki pikiran radikalisme dan seterusnya. Pernyataan ini tidaklah benar juga tidak keiru, secara tidak langsung apa yang dikatakan tersebut hanya ingin memberikan shock terapy kepada golongan agamawan agar dapat mampu merevitalisasi sekaligus memikirkan kembali persoalan-persoalan keagamaan yang bukan sekedar bentuk ritual-ritual ibadah secara vertikal tanpa melihat sisi lain yang justru bersinggungan langsung dengan kehidupan kaum agamawan yang lain.
            Barangkali juga terdapat kekekliruan kita dalam memahami teori antropologi yang menyatakan bahwa agama telah muncul bersamaan dengan keberadaan manusia di muka bumi ini dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, yaitu kepercayaan kepada kekuatan ”supra rasional” dan ”supra natural”. Dorongan agama merupakan sesuatu tuntutan psikis manusia yang tidak dapat dihindari untuk membentuk interpretasi baru bagi dirinya untuk mengenal Tuhan sehingga mereka menciptakan suasana batin dengan mewujudkan sebuah bentuk peribadatan.[4]
            Beberapa anggapan negatif yang ditujukan kepada kaum agamawan disinyalir sebagai “kambing hitam” atas munculnya perpecahan bahkan permusuhan dalam perkembangan kehidupan dewasa ini. Agama yang semestinya dijadikan sebagai alat kontrol masyarakat, justru dituduh sebagai penyebab keresahan dan selalu bertolak belakang dengan perubahan modernitas kehidupan.[5]
            Namun patut untuk dikaji, bukankah dalam kondisi ketidakberdayaan setiap orang pasti mengharapkan adanya ”keajaiban” agar dia dapat selamat dari bahaya,  mendapat keberuntungan, mengharap terjadinya sesuatu yang sangat diharapkan. Oleh karenanya hal itu sebagai bukti bahwa sejatinya semua manusia memiliki potensi untuk beragama dengan satu tujuan, mencari kebahagiaan yang hakiki. Meskipun demikian bagi Sigmund Freud menganggap agama sebagai sebuah ilusi dan gangguan kejiwaan manusia yang mengakibatkan kemuduran kembali dalam hidup.[6]
            Ketika ”potensi agama” yang ada pada diri manusia mengalami intervensi dari ”Tuhan”, melalui seruan ”para pengkhotbah”, rasul, nabi, pastor, pendeta, ulama bahkan para penjahat, nara pidana, dan koruptor sekalipun, yang terjadi selanjutnya adalah berebut Tuhan sebagai alih-alih berebut kebenaran menurut keyakinannya masing-masing. Manusia saling bersekongkol membentuk satu kelompok dan mengkafirkan kelompok yang lain, bahkan tidak jarang rela bertaruh nyawa. Jika sudah demikian halnya, di mana lagi kedamaian sejati yang ditawarkan agama? Masihkah agama diperlukan manusia jika hanya memberikan kesengsaraan hidup bagi keberlangsungan peradaban manusia?. Hal seperti inilah yang sudah semestinya dapat disorot agar keberlangsungan agama sebagai institusi Tuhan mampu berfungsi dan mengakar dengan baik dalam kehidupan manusia.
            Secara kodrati agama bukan sebagai bahan olok-olok, juga bukan sesuatu yang membuat belenggu keimanan, sehingga muncul tindakan-tindakan kemanusiaan yang tidak manusiawi.  lain halnya dengan kenyataan bahwa agama merupakan persoalan pokok kehidupan manusia, kebutuhan manusia akan agama terlihat secara jelas dengan terjadinya “perjanjian primordial” ant ara manusia dengan Tuhan; “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanif) pada agama fitrah ciptaan Allah yang Dia mendiptakan manusia atas fitrah itu, tak ada perubahan dalam ciptaan Allah itu” (Q.S. Ar-Rum: 30). [7]
            Agama merupakan tema paling penting yang sanggup membangkitkan perhatian serius masyarakat, seperti apa yang dikatakan Erich Fromm bahwa kebutuhan manusia akan agama berakar dalam kondisi dasar eksistensi spesies manusia yang senantiasa memerlukan objek pengabdian dan salah satu medianya adalah agama.[8] Oleh karenanya agama menyadarkan akan sebuah dimensi nilai yang abadi. Menurut F. O`Dea bahwa agama senantiasa memiliki enam fungsi diantaranya; Pertama, agama mendasarkan diri manusia pada segala sesuatu di luar dirinya. Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transedental melalui pemujaan atau peribadatan dengan memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat di atas ketidakpastian hidup. Ketiga, agama mensucikan nilai-nilai dan norma masyarakat yang telah dan akan terbentuk. Keempat, agama dapat memberikan standar nilai berupa norma-norma yang telah terlembaga yang dapat dikaji kembali secara kritis. Kelima, agama memberikan fungsi identitas bagi pemeluknya. Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia sehingga akan mempengaruhi karakteristik tingkat keberagamaan manusia. [9]
            Seandainya di hari esok ketika Tuhan turun di kerumunan pasar, di pojok-pojok kafe, di serambi masjid, di emperan gereja, di bawah pilar penyangga lonceng, maka sudah dapat dipastikan bersedia memberi jawaban atas beragam masalah dan keresahan-keresahan yang terjadi dalam kehidupan ini.
Metodologi Penelitian
            Beberapa kasus yang dijadikan bahan penelitian dalam karya ini terjadi dalam ruang lingkup sosio-kultur masyarakat di Indonesia pada umumnya, oleh karenanya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih memfokuskan pada studi fenomenologi keagamaan di Indonesia dengan pendekatan deskriptif-naratif di mana agama dijadikan sebagai faktor pemisah juga sebagai faktor integrasi masyarakat dalam lingkup masalah hubungan antar pemeluk agama atau antar kelompok agama.[10] Dan untuk itu, penulis mencoba menguraikannya dengan sistematis agar layak dijadikan sebagai karya ilmiah sesuai standar baku yang telah ditentukan.

Kajian Pustaka
            Dalam penulisan karya singkat ini, penulis berupaya mencari sumber pustaka yang sekiranya relevan dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang muncul pada masa kini. Sumber referensi yang penulis gunakan adalah buku-buku terkait persoalan agama pada khususnya dan studi fenomenologi melalui media massa sebagai sumber referensi sekunder.
            Di samping itu, pun penulis merujuk pada referensi beberapa pemikiran tentang agama seperti halnya Cak Nur, Sigmund Freud, Erich Fromm dan Thomas F. Odea dan lain sebagainya untuk mendapatkan inspirasi pengetahuan keagamaan penulis. Akan tetapi yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana teoeri-teori tentang agama tersebut mampu mengebumi dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural atau bheineka.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus pembahasan di atas, dalam persoalan tentang agama dipastikan mempercayai akan adanya hari akhir berikut hari kebangkitannya (Eskatologi), hal ini merupakan wujud sistem kepercayaan dari suatu agama. Dengan demikian, untuk memhami lebih rinci terkait hal itu penulis memberikan batasan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana peran agama dalam perkembangan kehidupan dewasa ini?
2.      Upaya apa yang dilakukan agar toleransi ummat beragama dapat terjaga?
3.      Apa yang dimaksud dengan revitaslisai peran agama sebagai upaya mewujudkan ummat yang humanis ?
4.      Adakah resolusi yang tepat bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia?


PEMBAHASAN
Agama vis a vis Modernitas
            Suatu realitas sepanjang sejarah hidup dan kehidupan manusia masa lalu, kini, dan akan datang bahwa berbagai ideologi, aliran filsafat, ajaran-ajaran, dan lain sebagainya muncul dan hilang, akan tetapi agama tetap ada dan agama tidak pernah mati dan lenyap. Dalam arti, bentuk-bentuk penyembahan manusia kepada Illahi tetap ada dan terus menerus mengalami perkembangan. Quraish Shihab dalam pengantar buku Agama Punya Seribu Nyawa bahwa organisasi keagamaan bisa bubar, umat beragama bisa habis, namun agama walaupun tidak abadi, tetap ada. Karena agama tetap atau tidak pernah lenyap, maka ajaran tentang Tuhan yang diajarkan dalam dan oleh agama-agama pun tetap ada. Seandainya tidak ada agama, namun Tuhan tetap dan terus menerus ada, karena Ia tidak tergantung pada ada atau tidaknya agama.[11]
            Agama muncul karena adanya manusia,[12] Manusia merupakan makhluk yang yang diberikan kesempurnaan berupa fitrah sebagai motivator intrinsik  untuk mencapai rasa atau naluri ingin tahu pada suatu hakikat relaitas kehidupan, karena dengannya manusia memiliki dorongan untuk memiliki rasa ketenteraman jiwa.[13] Agama hanya bisa terlihat sebagai agama dalam arti berdampak pada perubahan manusia secara utuh jika ada manusia yang menjadi penganut atau umatnya. Agama tak berarti apa-apa jika tidak ada umatnya. Agama akan menjadi sekedar kumpulan orang-orang yang menjalankan suatu sistem ajaran jika tidak dijalankan oleh penganutnya. Agama akan mempunyai faedah jika para penganutnya menjalankan serta mengaplikasikan ajarannya dengan baik dan benar dalam hidup dan kehidupan setiap hari.
            Lalu mengapa manusia beragama? Jawaban sederhananya adalah karena manusia mempunyai naluri religius untuk menyembah sesuatu di luar dirinya sebagai suatu ketundukan pada kekuasan yang superior artinya sebagai daya penentu kehidupan manusia yaitu sebuah ikatan yang menyatukan pikiran manusia dengan pikiran misterius yang menguasai dunia dan diri yang dia sadari, dan dengan hal-hal yang menimbulkan ketenteraman bila terikat dengan hal tersebut.[14]
            Namun, jika ditelaah lebih mendalam, maka alasan-alasan manusia beragama ternyata tidak sederhana. Ada banyak faktor yang menjadikan manusia ataupun seseorang beragama sekaligus mengembangkan pola-pola keberagamaannya. Pada umumnya, manusia beragama di dalamnya ada upaya sungguh-sungguh untuk menyembah dan percaya kepada Tuhan sebagai pusat keyakinannya, karena berbagai alasan. Misalnya, alasan atas keterbatasan dan ketidakmampuan psikologis. Manusia merasa tidak mempunyai kepastian masa depan karena tak mampu mengikuti perubahan, sehingga mengalami stagnasi berpikir, kemudian melarikan diri kepada hal-hal rohaniah.
            Di samping semua hal tersebut, ada orang yang menjadi pemeluk atau umat salah satu agama dengan alasan-alasan khas, misalnya ingin memberi pengaruh positif pada hidup dan kehidupan secara pribadi dan anggota masyarakat serta ikut ambil bagian dalam pembangunan serta perbaikan masyarakat melalui berbagai bidang hidup dan kehidupan. Atau pun ajaran agama menjadikan manusia mempunyai sikap moral dan etika yang baik, sehingga mampu membangun relasi antar sesama dengan penuh tanggungjawab, mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan, membantu, menolong, memperhatikan sesama manusia berdasarkan cinta kasih.
            Betapa pun alasan yang dikeluarkan tentang agama, Agama berperan untuk perubahan manusia, sebaliknya manusia pun dapat berubah karena adanya agama. Oleh sebab itu, ada beberapa peran yang bisa dilakukan agama terkait peranannya sebagai  institusi agama atau umat beragama, terutama mereka yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Ketika seseorang mengikatkan diri pada agama tertentu atau menjadi umat beragama, tersirat dari dalam dirnya bahwa ia harus mendapat keuntungan dari tindakannya itu. Ini berarti, agama harus membawa perbaikan dan perubahan total pada manusia.
            Barangkali perselisihan antara agama dan modernisasi merupakan gambaran utama terkait orang yang mempertahankan keagamaannya sebagai institusi keyakinan hakiki ketimbang modernitas sebagai pembentur peradaban manusia.[15] Dengan begitu agama bagi yang menolak keberadaannya hanyalah omong kosong belaka yang terus menerus menuntun manusia ke jurang kebodohan dengan segenap kelemahan berpikirnya.
            Untuk meraih kemajuan materi dan kemakmuran pada manusia tersebut, semestinya perlu diupayakan bagi umat beragama untuk melakukan pembenahan diri dan melakukan hijrah pemikiran yang cenderung eksklusif menuju pola pikir inklusif agar dapat berjalan seimbang dengan laju zaman. Meskipun demikian, bahwa fakta kemajuan dalam hal ini modernitas masih dianggap tidak segaris dengan agama, agamawan masih mempertahankan pola ritual keagamaannya pada nilai-nilai kesalehan individual sehingga berdampak pada tatanan kehidupan sosial masyarakat.  
            Demikian posisi agama dalam menghadapi tantangan modernitas[16] sebagai suatu yang mesti dihadapi dengan semangat menerima perubahan, ketika agama tidak memiliki ruh positif dalam memberikan kedamaian individu dan masyarakat maka akan hilang peranan sosialnya di masyarakat. Dan untuk itu apa pun pergeseran nilai tata kelola kehidupan, sudah sepatutnya agama menjadi alat kontrol bagi terwujudnya keselarasan dalam menjalani kehidupan.
            Sudah septutnya umat beragama memiliki andil yang sangat besar untuk mengubah wajah dunia ke depan. Tantangan besar yang dihadapi kaum beragama adalah berupa krisis global yang mengepung disegala penjuru baik terorisme sebagai bentuk adanya pemikiran radikal.[17] Kebangkrutan akan kesalehan sosial umat beragama tampak dipermukaan, namun sudah menjadi luka dalam yang harus segera di ambil resolusi yang begitu stagnan ini.

Revitalisasi Peran Agama ; Upaya mewujudkan Ummat yang Humanis
            Dalam beberapa waktu ini, isu fundamental yang dihadapi dunia berhubungan erat dengan pertanyaan dasar tentang bagaimana seseorang berurusan dengan perbedaan dan keanekaragaman konsep kebenaran. Dengan adanya perbedaan pemikiran tentang konsep kebenaran menurut keyakinannya itu senantiasa mengundang perselisihan dan kebencian mendalam yang dilandaskan pada agama, sehingga peran agama tak lebih sebagai bagian dari permasalahan ketimbang pemecahannya.
            Agama lebih menyumbang pada pertumpahan darah dan perpecahan ketimbang pengkondisian yang positif bagi masyarakat untuk urusan dengan keberlainan pihak lain.[18] Hal ini diperkuat dengan adanya istilah istilah jihad yang menjadi tema menarik untuk diperdebatkan. Pasalnya, aksi terorisme yang menimpa bangsa Indonesia dewasa ini dalam implementasinya mengatasnamakan jihad, berperang di jalan Tuhan dan atas nama Agama.  Terlepas benar atau tidak, pemahaman tentang jihad perlu di reeksplorasi mengingat erat kaitannya dengan paham keagamaan masyarakat luas. Sehingga ada satu pihak yang menganggap bahwa agama adalah puncak masalah dan kekerasan di samping juga sebagai sumber kebaikan dan perdamaian. 
            Asumsi demikian bisa saja benar karena agama dijadikan alat legitimasi tindakan-tindakan yang kurang searah dengan substansi agama itu sendiri,  agama secara terang-terangan dijadikan sebagai landasan  ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindakan kekerasan misalnya. Maka tak heran jika agama dianggap telah “tergadaikan” akan tindakan-tindakan pembenaran yang keliru.
            Melihat keadaan yang demikian ironisnya, terkesan agama dijadikan sebagai topeng bagi mereka yang berkehendak melakukan tindakan-tindakan amoral dan cenderung tidak lebih manusiawi, padahal substansi agama mengajarkan dan memberi rasa damai yang diperlukan berani berpetualang di dunia yang bersifat sementara.
            Semestinya agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justru menampilkan bahwa agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan. Meminjam bahasa Cak Nur bahwa kita sebagai manusia beragama semestinya memiliki pemahaman inklusif atas keagamaannya, karena dengan cara demikian seorang yang beragama akan lebih toleran dan humanis dalam menyikapi segala bentuk perbedaan yang menyangkut agama.
            Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin dan peradaban juga mengatakan bahwa yang disebut Al-Islam adalah “sikap pasrah sepenuhnya kepada Allah, yang merupakan sikap keagamaan sejati, dan karena itu siapapun yang bersikap demikian, meskipun diluar Islam akan memperoleh keselamatan”.  Suatu pengakuan yang dijiwai spirit toleransi beragama yang begitu baik, sebagai tanda dari kehadiran Allah dalam hidup manusia.[19]
            Dari penjelasan di muka jelas bahwa agama memiliki banyak wajah (multi faces) dan bukan satu wajah (single face). Di satu sisi agama adalah sumber toleransi, namun di waktu yang berbeda dapat menjadi penyulut lahirnya konflik yang berkepanjangan dan menjadi motivasi lahirnya tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi umat beragama.
            Namun dewasa ini, agama dengan fungsi memberikan keselarasan sering tampak dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu mewujudkan agama yang lebih humanis yakni agama yang menghargai hak-hak orang lain baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat, warga negara, maupun orang beragama. Paling tidak dalam menyikapi persoalan pertentangan bahkan peselisihan antar umat beragama diperlukan sebuah dialog agar terlihat sikap eksklusifisme, inklusifisme bahkan pluralis dalam setiap diri agamawan. [20]
            Terkait dengan agama yang humanis, terdapat dua konsepsi penting yang dimiliki setiap agama-agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan orang lain, yaitu fanatisme dan toleransi.[21] Kedua konsep tersebut harus dipraktekkan secara seimbang.  Sebab ketidakseimbangan keduannya akan melahirkan problema tersendiri bagi umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat beragama tertentu bisa menjebak mereka ke dalam pengaburan makna doktrin agama mereka yang pada gilirannya menyamaratakan semua agama-agama, dan dari sinilah biasanya konflik bermula. Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama lain atau bahkan terhadap saudara seagama dengan faham yang berbeda.        
            Agama humanis  juga dapat diwujudkan dengan tidak hanya menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan ideologi sendiri dengan doktrinal dan eksklusif, namun bagaimana ayat-ayat yang  erat hubungannya dengan hubungan antar umat beragama juga dapat dibahas secara panjang lebar dan komperehensif. KH. Abdurrahman Wahid (alm.) pernah berpesan bahwa berbicara ideologi hanya akan melahirkan sikap sentimen antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, biarkan ideologi sebagai urusan individu masing-masing yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan secara pribadi pula.

Resolusi Atas Intolernasi Ummat Beragama
            Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk mencari pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun praktis dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama. Antara lain dan paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana dialog antarumat beragama.[22]
            Salah satu syarat keberhasilan suatu dialog adalah semangat saling menghormati dan bukan saling menaklukkan. Yang pertama, adalah khilaf (Ikhtilaf) (Q.S 11:118) yakni perbedaan pendapat yang dilakukan melalui jadal hasan (adu argumentasi yang baik); dan yang kedua adalah syiqaq, yakni perbedaan yang mengarah kepada permusuhan (Q.S 4:35).
            Namun perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa keinginan meraih kehidupan damai tenteram antar ummat beragama  tak sunyi dari rintangan-rintangan besar. Rintangan ini antara lain adalah tampilnya individu yang membawa gerakan-gerakan radikal yang menganut pandangan agama yang dimilikinya sebagai satu-satunya agama yang mutlak kebenarannya. Dengan adanya pandangan seperti itu akan memunculkan konflik baru dalam kehidupan beragama sehingga kedamaian antar umat sulit dipertemukan.
            Radikalisme secara popular menunjuk kepada ekstremisme politik dalam aneka ragam bentuknya, atau usaha untuk mengubah orde sosial-politik secara drastis dan ekstrem. Tuduhan yang sering dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwa islam adalah agama “pedang” yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya. Adanya pandangan negatif ummat lain terhadap agama tertentu senantiasa mendorong konflik baru dan untuk itu perlu adanya resolusi.[23]
            Tampaknya fenomena kekerasan ini tidak terbatas pada kurun waktu tertentu. Pada masa kini yang ditandai dengan meluasnya anjuran sikap moderasi, toleransi dan saling pengerian antar dan interumat beragama kekerasan atas nama agama tetap sulit untuk dibendung. Berangkat dari fenomena ini, kesadaran dan tanggung jawab atas melandanya kekerasan atas nama agama di mana-mana, sekitar 60 pemuka agama dari berbagai berupaya menghentikan tindak kriminalitas yang melanda di beberapa Negara di dunia.
            Di bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu kea rah radikalisme dan kekerasan. Dalam lingkungan Islam misalnya, di atas pundak pemuka agama terletak kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang menghindari sikap ekstrem atau berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam bahasa Al-qur’an Ummatan wasathan (Q.S 2:143)
            Sejak lahirnya agama di permukaan bumi ini, berbagai penyakit sosial merupakan garapan utamanya. Untuk itu, tentu saja bagi kaum agamawan, terapi yang paling ampuh adalah kembali kepada nilai-nilai agama.[24] Namun mereka yang tidak, atau belum, meyakini keampuhan peran agama, selalu mencari jalan keluar lain untuk mengatasi penyakit ini.
            Dunia barat, yang paling bertanggung jawab dalam pengikisan pengaruh agama melalui kebangkitan rasionalisme secular era pencerahan (enlightenment), mulai menyadari dampak negatif dari keberhasilan rasionalisme minus agama tersebut. Kendati hasil empiris menunjukan bahwa program rehabilitasi sosial yang diprakarsai oleh kelompok agama cukup mengesankan, pengambil keputusan (pemerintah) selama ini enggan memberi peluang lebih besar bagi institusi keagamaan gereja, sinagog, atau masjid. Dalih klasik adalah “tidak seiring dengan esensi konstitusi yang menetapkan pemisahan agama dan Negara”.[25]
            Namun akselarasi penyakit sosial yang menunjukan angka mengerikan dewasa ini memaksa para pengambil keputusan, akademisi, dan para pekerja sosial yang semulla enggan berpeling kepada faktor agama, bergegas mengaku peran positif agama. Momentum ini tampaknya digunakan oleh kelompok agama untuk mendapat dukungan dana dari pemerintah guna membiayai program-program yang berkaitan dengan usaha penanggulangann penyakit sosial ini.
                        Dalam suasana keakraban dan solidaritas mendalam antar ummat yang berbeda agama dan kepercayaan ini, setiap umat agama mengacu kepada Tuhan Yang mahakuasa, yang senantiasa memberi cobaan pada hamba-Nya. Semoga hubungan antarpemeluk agama yang dicerminkan di negeri Indonesia ini dapat terwujud secara makro di dunia.

Inklusifitas Ummat dalam Beragama
            Kajian Q.S Al-baqarah: 62 tentang jaminan keselamatan semua golongan, Q.S Ali-Imran: 85 dan 19 tentang tidak ada keistimewaan agama termasuk Islam menuntut ummat agar senantiasa menjaga keharmonisan dalam menjalankan kehidupan beragamanya. [26]
            Menurut Al-Thabari bahwasanya jaminan Allah yang disebutkan dalam ayat itu mengandung syarat: yakni beriman, percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu, beriman kepada allah dan Muhammad SAW. Dengan kata lain, yang dimaksud ayat ini mereka yang telah memeluk agama Islam.
            Menurut Fakhr Al-din Al-Razi menyatakan bahwa ketiga syarat itu tak lain adalah esensi dari ajaran islam. Menurut Ibn Katsir, ia seolah setuju dengan sebuah hadist yang diriwayatkan Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut telah di naskh (diganti) dengan turunnya ayat ke 85 surah Al-baqarah itu: hanya Islam yang diterima sebagai agama yang diridhai.
            Saudara persaudaraan, toleransi, kelapangan, kesucian, dan kesederhanaan dalam beragama merupakan harapan setiap ummat beragama. Untuk dapat mewujudkannya itu perlu sebuah komitmen hati dengan segala kemampuan untuk bagaimana membuka frame berpikir agar tidak terjemak dalam sikap ekslufisme beragama yang akan menggiring ummat pada stagnasi pemikiran dan memunculkan gerakan-gerakan chauvinism dan berujung pada radikalisem keagamaan.
            Sikap keterbukaan akan pluralism ummat beragama merupakan suatu sikap kunci pembuka kedamaian dalam beragama, tanpa membuat kegaduhan atau pencampuradukan ajaran atau yang lebih dikenal dengan sinkretisme agama, ummat agama akan lebih humanis dalam menyikapi persoalan kehidupan sosial terutama yang bersangkut paut dengan agama itu sendiri.
            Melalui hubungan baik dengan kekuatan yang diyakini oleh setiap kaum agamawan, setiap manusia akan merasa tenang dan damai. Kecemasan munculnya konflik dapat dikurangai dengan sikap inklusiftas beragama.[27] Dan untuk itu kenapa manusia beragama, tiada lain adalah untuk mendapatkan ketenangan batin dalam menjalankan roda kehidupan yang heterogen. Manusia sebagai makhluk yang senantiasa dilingkupi rasa cemas dan penuh harap, sejatinya membutuhkan suatu kekuatan yang dapat menggiringnya pada kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, yakni Tuhan sebagai tujuan akhir dari manusia.
            Sedemikian tingginya Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia untuk beragama,[28] ini dapat terlihat dalam Q.s. al-Kaafirun: 6 yang menyebutkan “…untukmu agamamu, untukku agamaku…”, ini merupakan pertanda bahwa Tuhan telah menjaga nilai dari masing-masing agama dan manusia dengan akal dan hatinya berhak untuk beragama menurut keyakinannya dengan maksud beribadah semata-mata karena Tuhan yang satu.

PENUTUP
Kesimpulan
            Dalam persoalan agama, agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justeru menampilkan bahwa agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah ketidakadilan dan kesenjangan. Kedua, karena agama sebagai identitas, artinya agama secara spesifik dapat diidentikkan pada kelompok tertentu.
            Lahirnya tindak kekerasan karena besar kemungkinan terdapat ikhtilaf pemahaman, penafsiran, kerangka berfikir, dan etos kerja antara satu kelompok dengan yang lainnya. Selain itu, agama terkadang menjadi alat legitimasi hubungan antar manusia sebagaimana telah disinggung di awal pembahasan.
            Walau demikian, terdapat sanggahan dari banyak fihak khususnya kaum agamawan yang mengatakan bahwa agama sama sekali tidak mengandung doktrin amoral semisal kekerasan. Menurut kelompok ini, kekerasan yang terjadi bukanlah bersumber dari agama melainkan dari individu-individu yang mengaku beragama dan agama dijadikan kambing hitam aksi mereka. Walaupun dalam agama-agama terdapat doktri 'perang', bukan berarti agama mengajarkan kekerasan, permusuhan, intimidasi, dan terorisme.
            Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selama agama eksis di tengah peradaban dan kehidupan manusia akan tetap berkelit kelindan dengan kekerasan. Artinya, agama dan kekerasan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan tapi bisa dibedakan. Namun tidak dapat dilupakan bahwa agama juga sumber kebaikan dan toleransi. Intinya, dalam perjalanannya agama akan menjadi sumber intimedasi atau sumber toleransi bergantung pada umat manusia selaku subjeknya.
            Dengan demikian, segenap umat beragama memiliki tugas yang amat berat dan mendesak, yakni mewujudkan kembali reputasi agama sebagai way of life yang rahmatan lil `alamin. Tugas tersebut bukanlah hal yang mudah dan sepele melainkan dibutuhkan kesungguhan dan apresiasi dari seluruh elemen masyarakat, bangsa dan Negara.

Saran
            Dalam penyusunan karya tulis ini, masih terdapat banyak kekurangan yang mesti harus diperbaiki. Dan untuk itu sekiranya handai taulan dapat memberikan masukan yang membangun untuk perbaikan karya tulis penulis untuk ke depannya.
            Namun penulis berharap untuk ke depannya dalam penyusunan karya tulis yang serupa dengan topik ini sekiranya mampu memberikan resolusi konflik atas pemikiran dan keberagamaan dalam kehidupan dewasa ini yang dalam substansinya melekat pada kehidupan sosial masyarakat di Indonesia khususnya bagi mereka yang beragama untuk dapat lebih memahami esensi keberagamaan mereka dengan benar agar tidak memunculkan konflik baru dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia yang multi kultural, sehingga kesalahpahaman dalam memahami ajaran agamanya masing-masing dapat berkurang sekaligus akan menjadikan hubungan antar ummat agama yang humanis dan toleran.

الحمد لله رب العالمين






DAFTAR BACAAN

Agus, Bustanudin. 2007. Agama dalam kehidupan manusia. Grafindo. Jakarta
Durkheim, Emile. 2011. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-
            Bentuk Agama yang paling dasar. Terj. Inyiak Ridwan Muzie. M. Syakir. Ircisod.
            Yogyakarta
Grose, George B. & Hubbard, Benjamin J. 1998. Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog.
            Mizan. Bandung
Hidayat, Komarudin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
O`Dea, Thomas F.  1994. Sosiologi Agama, Rajawali Press. Jakarta
Kahmad, Dadang. 2011. Sosiologi Agama. Pustaka Setia. Bandung
--------------------------. 2011. Metodologi Penelitian Agama. Pustaka Setia. Bandung
Keene, Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Kanisius. Yogyakarta
Madjid, Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina.
            Jakarta
--------------------------. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Cetakan VIII. Paramadina.
            Jakarta
Sardar, Ziaudin. 2005. Kembali Ke Masa Depan. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta
Shihab, Alwi. 1997. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Mizan.
            Bandung
Yazdi, Misbah. 2005. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. Alhuda. Jakarta



[1] Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN  SGD Bandung jurusan Religious Studies semester 2 (dua), email : areadone88@gmail.com
[2] Menurut Cak Nur bahwa yang disebut dengan beriman bukan sekedar percaya kepada Tuhan seperti orang Mekkah dahulu yang mewujudkan bentuk kepercayaannya kepada berhala-berhala tuhan yang nisbi, melainkan sikap percaya terhadap Tuhan tersebut mesti dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keillahian atau ketuhanan dan tidak memandang adanya kualitas serupakepada suatu apapun yang lain. Lihat Nurcholis Madjid. Pintu-pintu menuju Tuhan. (Jakarta; Paramadina, 2008). Cetakan VIII, hlm. 6. Dalam keterangan lain iman juga dapat menentukan cara manusia mendekati Allah dan dapat mengatur hidup mereka. Lihat Michael Keene. Agama-agama Dunia, terj. F.A.Suprapto. (Yogyakarta; Kanisius, 2006), Hlm. 100.
[3] George B. Grose, Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah Dialog, (Bandung, Mizan, 1998), Hlm. xxiv
[4] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung, Pustaka Setia, 2011), Hlm. 64
[5] Ibid., Hlm. 6
[6] Ibid. Hlm. 64
[7] Ibid., Hlm. 63
[8] Ibid., Hlm. 62
[9] Dengan demikian agamasebagai pandangan hidup atau ideologi yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Lihat Ibid., Hlm. 64-65 dan Thomas F. O`Dea, Sosiologi Agama, (Jakarta; Rajawali Press, 1994), Hlm. 26-29.
[10] Dadang Kahmad, Metodologi Penelitian Agama, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), Hlm. 75-77
[11] Komarudin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta; Noura, 2012), Hlm. vii
[12] Secara leksikal din diartikan sebagai agama, dalam bahasa arab din juga berarti ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknis din berarti beriman kepada pencipta manusia dan alam semesta serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan keimanan tersebut. Lihat Misbah Yazdi. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan.(Jakarta; Alhuda, 2005), Hlm. 1
[13] Ibid., Hlm. 10
[14] Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life,terj. Inyiak Ridwan M. (Yogyakarta; Ircisod, 2011), Hlm. 56
[15] Ibid., Misbah Yazdi. Iman Semesta; Merancang Piramida,…, Hlm. 13
[16] Modernitas semestinya mengatakan kesadaran diri sebagai subjek dalam artian orang modern memperhatikan hak asasi, ilmu pengetahuan, otonomi pribadi dan demokrasi. Selain itu modernitas juga haruslah kritis dan progresif karena orang modern cenderung mengeliminasi prasangka dari tradisi dengan megkaji penghayatan, juga mengadakan perubahan yang secara kulaitatif baru. Lihat Ibid., Dadang Kahmad, Sosiologi …, Hlm. 66-67
[17] Ziaudin Sardar. Kembali Ke Masa Depan. (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2005), Hlm. 5
[18] Ibid., George B. Grose, Tiga Agama Satu Tuhan;…, Hlm. 291
[19] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 2008, Cet.VIII), Hlm. 423
[20] Ibid., George B. Grose, Tiga Agama Satu Tuhan;…, Hlm. xix
[21] Bustanudin Agus. Agama dalam kehidupan manusia. (Jakarta; Grafindo, 2007), Hlm, 29
[22] Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan, 1997), Hlm. 8
[23] Ibid.Hlm. 34
[24] Ibid. Hlm. 53
[25] Ibid. Hlm. 55
[26] Ibid., Komarudin Hidayat, Agama Punya…, Hlm. 34
[27] Ibid. Hlm. 17
[28] Ibid., Hlm. 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar