Revitalisasi Peran
Agama; Upaya Mewujudkan Ummat yang Humanis
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi [1]
ABSTRAKSI
Dalam beberapa waktu ini, isu
fundamental yang dihadapi dunia berhubungan erat dengan pertanyaan dasar
tentang bagaimana seseorang berurusan dengan perbedaan dan keanekaragaman
konsep kebenaran. Dengan adanya perbedaan pemikiran tentang konsep kebenaran
menurut keyakinannya itu, senantiasa mengundang perselisihan dan kebencian
mendalam yang dilandaskan pada agama, sehingga peran agama tak lebih sebagai
bagian dari permasalahan ketimbang pemecahannya. Agama lebih menyumbang pada
pertumpahan darah dan perpecahan ketimbang pengkondisian yang positif bagi
masyarakat untuk urusan dengan keberlainan pihak lain. Untuk dapat memberikan
pandangan atas fenomena sosial seperti yang telah disebutkan tadi, maka perlu
kiranya suatu upaya resolusi kongkret dalam penyelesaiannya. Dalam studi
fenomenologi ini, saya menawarkan
suguhan hipotesa tentang pentingnya toleransi dalam beragama dengan
merevitalisasi peran kekuatan-kekuatan agama baik tokoh maupun kaum agamawan
untuk merubah frame berpikir secara inklusif.
KATA KUNCI
ü Revitalisasi merupakan upaya
memberikan perhatian penuh terhadap suatu persoalan tertentu,
ü Humanisme adalah perilaku yang lebih
manusiawi,
ü Inklusif adalah suatu sikap atau cara
berpikir terbuka,
ü Toleransi merupakan sikap menghargai perbedaan baik individu maupun
kelompok,
ü Pluarlisme adalah paham yang memberikan sikap
terbuka atas segala bentuk atau ragam perbedaan yang ada, baik suku, agama, ras
dan lain sebagainya,
ü Radikalisme merupakan paham atau ajaran tentang
gerakan-gerakan yang didasari dengan pemahaman tekstual dan cenderung melahirkan
pola berpikir fundamental dan perilaku anarkis.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Suatu hal yang menjadi prinsip
dasar pandangan dunia sekaligus merupakan pondasi penting dalam diri seorang manusia terutama bagi mereka yang “beragama” salah satunya adalah beriman atau memiliki kepercayaan.[2] Dengan
kepercayaannya itu akan melahirkan suatu
tata nilai guna menopang hidup dan budayanya, dan tentunya tanpa adanya sikap yang dilandasi kepercayaan atau pun adanya keraguan tidak mungkin dapat mempercayai tentang ada sesuatu yang lebih berkuasa
di luar kemampuan dirinya sendiri. Sehingga kepercayaan merupakan suatu
persyaratan hakiki untuk dapat disebut sebagai agamawan, dan sudah dapat dipastikan
bagi yang tidak memiliki kepercayaan hakiki tersebut bukanlah seornag agamawan.
Barangkali tidak
berlebihan jika saya katakan, agama telah menjadi salah satu atribut paling
penting bagi sebuah peradaban manusia. Agama dipandang sebagai suatu ketentuan
yang mampu mengatur jalan hidup manusia agar memiliki nilai-nilai kehanifan
dalam hidup seperti yang telah diajarkan dalam agama Ibrahim.[3] Agama diasumsikan sebagai
institusi yang mampu mewadahi kebutuhan-kebutuhan psikis manusia, karena di dalam
agama memberikan ajaran-ajaran yang sekiranya mampu menjawab
persoalan-persoalan yang sulit untuk dipecahkan dalam pandangan sains sebagai
wakil dari modernitas, semisal pembuktian adanya hari akhirat.
Seseorang
akan dapat diakui sebagai seorang yang “beradab” dan atau “berperadaban” jika dalam
dirinya melekat suatu atribut agama, terlepas apapun nama agama yang dianutnya.
Terkadang bagi sebagian orang memiliki pandangan negatif tentang persoalan
agama yang lebih mengidentikkan agama dengan keterbelakangan, ketertinggalan, kumpulan
orang-orang primitif, memilliki pikiran radikalisme dan seterusnya. Pernyataan
ini tidaklah benar juga tidak keiru, secara tidak langsung apa yang dikatakan
tersebut hanya ingin memberikan shock terapy kepada golongan agamawan agar
dapat mampu merevitalisasi sekaligus memikirkan kembali persoalan-persoalan
keagamaan yang bukan sekedar bentuk ritual-ritual ibadah secara vertikal tanpa
melihat sisi lain yang justru bersinggungan langsung dengan kehidupan kaum
agamawan yang lain.
Barangkali
juga terdapat kekekliruan kita dalam memahami teori antropologi yang menyatakan
bahwa agama telah muncul bersamaan dengan keberadaan manusia di muka bumi ini
dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun, yaitu kepercayaan kepada kekuatan
”supra rasional” dan ”supra natural”. Dorongan agama merupakan sesuatu tuntutan
psikis manusia yang tidak dapat dihindari untuk membentuk interpretasi baru
bagi dirinya untuk mengenal Tuhan sehingga mereka menciptakan suasana batin
dengan mewujudkan sebuah bentuk peribadatan.[4]
Beberapa
anggapan negatif yang ditujukan kepada kaum agamawan disinyalir sebagai
“kambing hitam” atas munculnya perpecahan bahkan permusuhan dalam perkembangan kehidupan
dewasa ini. Agama yang semestinya dijadikan sebagai alat kontrol masyarakat,
justru dituduh sebagai penyebab keresahan dan selalu bertolak belakang dengan
perubahan modernitas kehidupan.[5]
Namun
patut untuk dikaji, bukankah dalam kondisi ketidakberdayaan setiap orang pasti
mengharapkan adanya ”keajaiban” agar dia dapat selamat dari bahaya, mendapat keberuntungan, mengharap terjadinya
sesuatu yang sangat diharapkan. Oleh karenanya hal itu sebagai bukti bahwa
sejatinya semua manusia memiliki potensi untuk beragama dengan satu tujuan,
mencari kebahagiaan yang hakiki. Meskipun demikian bagi Sigmund Freud
menganggap agama sebagai sebuah ilusi dan gangguan kejiwaan manusia yang
mengakibatkan kemuduran kembali dalam hidup.[6]
Ketika
”potensi agama” yang ada pada diri manusia mengalami intervensi dari ”Tuhan”,
melalui seruan ”para pengkhotbah”, rasul, nabi, pastor, pendeta, ulama bahkan
para penjahat, nara pidana, dan koruptor sekalipun, yang terjadi selanjutnya
adalah berebut Tuhan sebagai alih-alih berebut kebenaran menurut keyakinannya
masing-masing. Manusia saling bersekongkol membentuk satu kelompok dan
mengkafirkan kelompok yang lain, bahkan tidak jarang rela bertaruh nyawa. Jika
sudah demikian halnya, di mana lagi kedamaian sejati yang ditawarkan agama?
Masihkah agama diperlukan manusia jika hanya memberikan kesengsaraan hidup bagi
keberlangsungan peradaban manusia?. Hal seperti inilah yang sudah semestinya
dapat disorot agar keberlangsungan agama sebagai institusi Tuhan mampu
berfungsi dan mengakar dengan baik dalam kehidupan manusia.
Secara
kodrati agama bukan sebagai bahan olok-olok, juga bukan sesuatu yang membuat
belenggu keimanan, sehingga muncul tindakan-tindakan kemanusiaan yang tidak
manusiawi. lain halnya dengan kenyataan
bahwa agama merupakan persoalan pokok kehidupan manusia, kebutuhan manusia akan
agama terlihat secara jelas dengan terjadinya “perjanjian primordial” ant ara
manusia dengan Tuhan; “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanif) pada
agama fitrah ciptaan Allah yang Dia mendiptakan manusia atas fitrah itu, tak
ada perubahan dalam ciptaan Allah itu” (Q.S. Ar-Rum: 30). [7]
Agama
merupakan tema paling penting yang sanggup membangkitkan perhatian serius
masyarakat, seperti apa yang dikatakan Erich Fromm bahwa kebutuhan manusia akan
agama berakar dalam kondisi dasar eksistensi spesies manusia yang senantiasa
memerlukan objek pengabdian dan salah satu medianya adalah agama.[8] Oleh karenanya agama
menyadarkan akan sebuah dimensi nilai yang abadi. Menurut F. O`Dea bahwa agama
senantiasa memiliki enam fungsi diantaranya; Pertama, agama mendasarkan
diri manusia pada segala sesuatu di luar dirinya. Kedua, agama
menawarkan suatu hubungan transedental melalui pemujaan atau peribadatan dengan
memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan identitas yang lebih kuat di atas
ketidakpastian hidup. Ketiga, agama mensucikan nilai-nilai dan norma
masyarakat yang telah dan akan terbentuk. Keempat, agama dapat
memberikan standar nilai berupa norma-norma yang telah terlembaga yang dapat
dikaji kembali secara kritis. Kelima, agama memberikan fungsi identitas
bagi pemeluknya. Keenam, agama berkaitan dengan evolusi hidup manusia
sehingga akan mempengaruhi karakteristik tingkat keberagamaan manusia. [9]
Seandainya
di hari esok ketika Tuhan turun di kerumunan pasar, di pojok-pojok kafe, di
serambi masjid, di emperan gereja, di bawah pilar penyangga lonceng, maka sudah
dapat dipastikan bersedia memberi jawaban atas beragam masalah dan keresahan-keresahan
yang terjadi dalam kehidupan ini.
Metodologi Penelitian
Beberapa kasus yang
dijadikan bahan penelitian dalam karya ini terjadi dalam ruang lingkup
sosio-kultur masyarakat di Indonesia pada umumnya, oleh karenanya dalam
penulisan karya ilmiah ini penulis lebih memfokuskan pada studi fenomenologi
keagamaan di Indonesia dengan pendekatan deskriptif-naratif di mana agama dijadikan
sebagai faktor pemisah juga sebagai faktor integrasi masyarakat dalam lingkup
masalah hubungan antar pemeluk agama atau antar kelompok agama.[10] Dan
untuk itu, penulis mencoba menguraikannya dengan sistematis agar layak
dijadikan sebagai karya ilmiah sesuai standar baku yang telah ditentukan.
Kajian Pustaka
Dalam penulisan karya
singkat ini, penulis berupaya mencari sumber pustaka yang sekiranya relevan
dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang muncul pada masa kini. Sumber
referensi yang penulis gunakan adalah buku-buku terkait persoalan agama pada
khususnya dan studi fenomenologi melalui media massa sebagai sumber referensi
sekunder.
Di samping itu, pun
penulis merujuk pada referensi beberapa pemikiran tentang agama seperti halnya Cak
Nur, Sigmund Freud, Erich Fromm dan Thomas F. Odea dan lain sebagainya untuk
mendapatkan inspirasi pengetahuan keagamaan penulis. Akan tetapi yang
terpenting dalam hal ini adalah bagaimana teoeri-teori tentang agama tersebut
mampu mengebumi dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural atau bheineka.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan fokus pembahasan di atas, dalam persoalan tentang
agama dipastikan mempercayai akan adanya hari akhir berikut hari kebangkitannya
(Eskatologi), hal ini merupakan wujud sistem kepercayaan dari suatu agama.
Dengan demikian, untuk memhami lebih rinci terkait hal itu penulis memberikan
batasan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1.
Bagaimana peran
agama dalam perkembangan kehidupan dewasa ini?
2.
Upaya apa yang
dilakukan agar toleransi ummat beragama dapat terjaga?
3.
Apa yang dimaksud
dengan revitaslisai peran agama sebagai upaya mewujudkan ummat yang humanis ?
4.
Adakah resolusi
yang tepat bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia?
PEMBAHASAN
Agama vis a vis Modernitas
Suatu realitas sepanjang sejarah
hidup dan kehidupan manusia masa lalu, kini, dan akan datang bahwa berbagai
ideologi, aliran filsafat, ajaran-ajaran, dan lain sebagainya muncul dan hilang,
akan tetapi agama tetap ada dan agama tidak pernah mati dan lenyap. Dalam arti,
bentuk-bentuk penyembahan manusia kepada Illahi tetap ada dan terus menerus
mengalami perkembangan. Quraish Shihab dalam pengantar buku Agama Punya
Seribu Nyawa bahwa organisasi keagamaan bisa bubar, umat beragama bisa
habis, namun agama walaupun tidak abadi, tetap ada. Karena agama tetap atau
tidak pernah lenyap, maka ajaran tentang Tuhan yang diajarkan dalam dan oleh
agama-agama pun tetap ada. Seandainya tidak ada agama, namun Tuhan tetap dan
terus menerus ada, karena Ia tidak tergantung pada ada atau tidaknya agama.[11]
Agama muncul karena adanya manusia,[12] Manusia
merupakan makhluk yang yang diberikan kesempurnaan berupa fitrah sebagai
motivator intrinsik untuk mencapai rasa
atau naluri ingin tahu pada suatu hakikat relaitas kehidupan, karena dengannya
manusia memiliki dorongan untuk memiliki rasa ketenteraman jiwa.[13] Agama
hanya bisa terlihat sebagai agama dalam arti berdampak pada
perubahan manusia secara utuh jika ada manusia yang menjadi penganut atau
umatnya. Agama tak berarti apa-apa jika tidak ada umatnya. Agama akan menjadi
sekedar kumpulan orang-orang yang menjalankan suatu sistem ajaran jika tidak
dijalankan oleh penganutnya. Agama akan mempunyai faedah jika para penganutnya
menjalankan serta mengaplikasikan ajarannya dengan baik dan benar dalam hidup
dan kehidupan setiap hari.
Lalu mengapa manusia beragama?
Jawaban sederhananya adalah karena manusia mempunyai naluri religius untuk
menyembah sesuatu di luar dirinya sebagai suatu ketundukan pada kekuasan yang
superior artinya sebagai daya penentu kehidupan manusia yaitu sebuah ikatan
yang menyatukan pikiran manusia dengan pikiran misterius yang menguasai dunia
dan diri yang dia sadari, dan dengan hal-hal yang menimbulkan ketenteraman bila
terikat dengan hal tersebut.[14]
Namun, jika ditelaah lebih mendalam,
maka alasan-alasan manusia beragama ternyata tidak sederhana. Ada banyak faktor
yang menjadikan manusia ataupun seseorang beragama sekaligus mengembangkan
pola-pola keberagamaannya. Pada umumnya, manusia beragama di dalamnya ada upaya
sungguh-sungguh untuk menyembah dan percaya kepada Tuhan sebagai pusat
keyakinannya, karena berbagai alasan. Misalnya, alasan atas keterbatasan dan
ketidakmampuan psikologis. Manusia merasa tidak mempunyai kepastian masa depan
karena tak mampu mengikuti perubahan, sehingga mengalami stagnasi berpikir,
kemudian melarikan diri kepada hal-hal rohaniah.
Di samping semua hal tersebut, ada
orang yang menjadi pemeluk atau umat salah satu agama dengan alasan-alasan
khas, misalnya ingin memberi pengaruh positif pada hidup dan kehidupan secara
pribadi dan anggota masyarakat serta ikut ambil bagian dalam pembangunan serta
perbaikan masyarakat melalui berbagai bidang hidup dan kehidupan. Atau pun ajaran
agama menjadikan manusia mempunyai sikap moral dan etika yang baik, sehingga
mampu membangun relasi antar sesama dengan penuh tanggungjawab, mendorong
seseorang untuk berbuat kebajikan, membantu, menolong, memperhatikan sesama manusia
berdasarkan cinta kasih.
Betapa pun alasan yang dikeluarkan
tentang agama, Agama berperan untuk perubahan manusia, sebaliknya manusia pun
dapat berubah karena adanya agama. Oleh sebab itu, ada beberapa peran yang bisa
dilakukan agama terkait peranannya sebagai institusi agama atau umat beragama, terutama
mereka yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Ketika
seseorang mengikatkan diri pada agama tertentu atau menjadi
umat beragama, tersirat dari dalam dirnya bahwa ia harus mendapat keuntungan dari
tindakannya itu. Ini berarti, agama harus membawa perbaikan dan perubahan total
pada manusia.
Barangkali
perselisihan antara agama dan modernisasi merupakan gambaran utama terkait
orang yang mempertahankan keagamaannya sebagai institusi keyakinan hakiki
ketimbang modernitas sebagai pembentur peradaban manusia.[15]
Dengan begitu agama bagi yang menolak keberadaannya hanyalah omong kosong
belaka yang terus menerus menuntun manusia ke jurang kebodohan dengan segenap
kelemahan berpikirnya.
Untuk
meraih kemajuan materi dan kemakmuran pada manusia tersebut, semestinya perlu
diupayakan bagi umat beragama untuk melakukan pembenahan diri dan melakukan
hijrah pemikiran yang cenderung eksklusif menuju pola pikir inklusif agar dapat
berjalan seimbang dengan laju zaman. Meskipun demikian, bahwa fakta kemajuan
dalam hal ini modernitas masih dianggap tidak segaris dengan agama, agamawan
masih mempertahankan pola ritual keagamaannya pada nilai-nilai kesalehan
individual sehingga berdampak pada tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Demikian
posisi agama dalam menghadapi tantangan modernitas[16]
sebagai suatu yang mesti dihadapi dengan semangat menerima perubahan, ketika
agama tidak memiliki ruh positif dalam memberikan kedamaian individu dan
masyarakat maka akan hilang peranan sosialnya di masyarakat. Dan untuk itu apa
pun pergeseran nilai tata kelola kehidupan, sudah sepatutnya agama menjadi alat
kontrol bagi terwujudnya keselarasan dalam menjalani kehidupan.
Sudah
septutnya umat beragama memiliki andil yang sangat besar untuk mengubah wajah
dunia ke depan. Tantangan besar yang dihadapi kaum beragama adalah berupa
krisis global yang mengepung disegala penjuru baik terorisme sebagai bentuk
adanya pemikiran radikal.[17]
Kebangkrutan akan kesalehan sosial umat beragama tampak dipermukaan, namun
sudah menjadi luka dalam yang harus segera di ambil resolusi yang begitu
stagnan ini.
Revitalisasi Peran Agama ; Upaya
mewujudkan Ummat yang Humanis
Dalam beberapa waktu ini, isu
fundamental yang dihadapi dunia berhubungan erat dengan pertanyaan dasar
tentang bagaimana seseorang berurusan dengan perbedaan dan keanekaragaman
konsep kebenaran. Dengan adanya perbedaan pemikiran tentang konsep kebenaran
menurut keyakinannya itu senantiasa mengundang perselisihan dan kebencian
mendalam yang dilandaskan pada agama, sehingga peran agama tak lebih sebagai
bagian dari permasalahan ketimbang pemecahannya.
Agama lebih menyumbang pada
pertumpahan darah dan perpecahan ketimbang pengkondisian yang positif bagi
masyarakat untuk urusan dengan keberlainan pihak lain.[18]
Hal ini diperkuat dengan adanya istilah istilah jihad yang menjadi tema menarik
untuk diperdebatkan. Pasalnya, aksi terorisme yang menimpa bangsa Indonesia
dewasa ini dalam implementasinya mengatasnamakan jihad, berperang di jalan
Tuhan dan atas nama Agama. Terlepas benar atau tidak, pemahaman tentang
jihad perlu di reeksplorasi mengingat erat kaitannya dengan paham keagamaan
masyarakat luas. Sehingga ada satu pihak yang menganggap bahwa agama adalah
puncak masalah dan kekerasan di samping juga sebagai sumber kebaikan dan
perdamaian.
Asumsi demikian bisa saja benar
karena agama dijadikan alat legitimasi tindakan-tindakan yang kurang searah
dengan substansi agama itu sendiri, agama
secara terang-terangan dijadikan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi
tindakan kekerasan misalnya. Maka tak heran jika agama dianggap telah
“tergadaikan” akan tindakan-tindakan pembenaran yang keliru.
Melihat keadaan yang demikian ironisnya,
terkesan agama dijadikan sebagai topeng bagi mereka yang berkehendak melakukan
tindakan-tindakan amoral dan cenderung tidak lebih manusiawi, padahal substansi
agama mengajarkan dan memberi rasa damai yang diperlukan berani berpetualang di
dunia yang bersifat sementara.
Semestinya agama menjadi perekat
suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi
antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justru menampilkan bahwa
agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah
ketidakadilan dan kesenjangan. Meminjam bahasa Cak Nur bahwa kita sebagai
manusia beragama semestinya memiliki pemahaman inklusif atas keagamaannya,
karena dengan cara demikian seorang yang beragama akan lebih toleran dan
humanis dalam menyikapi segala bentuk perbedaan yang menyangkut agama.
Nurcholish Madjid dalam buku Islam, Doktrin
dan peradaban juga mengatakan bahwa yang disebut Al-Islam adalah “sikap
pasrah sepenuhnya kepada Allah, yang merupakan sikap keagamaan sejati, dan
karena itu siapapun yang bersikap demikian, meskipun diluar Islam akan
memperoleh keselamatan”. Suatu pengakuan
yang dijiwai spirit toleransi beragama yang begitu baik, sebagai tanda dari
kehadiran Allah dalam hidup manusia.[19]
Dari
penjelasan di muka jelas bahwa agama memiliki banyak wajah (multi faces)
dan bukan satu wajah (single face). Di satu sisi agama adalah sumber
toleransi, namun di waktu yang berbeda dapat menjadi penyulut lahirnya konflik
yang berkepanjangan dan menjadi motivasi lahirnya tindakan-tindakan yang
melanggar hak asasi umat beragama.
Namun
dewasa ini, agama dengan fungsi memberikan keselarasan sering tampak dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu mewujudkan agama yang
lebih humanis yakni agama yang menghargai hak-hak orang lain baik dalam
kapasitasnya sebagai masyarakat, warga negara, maupun orang beragama. Paling
tidak dalam menyikapi persoalan pertentangan bahkan peselisihan antar umat
beragama diperlukan sebuah dialog agar terlihat sikap eksklusifisme,
inklusifisme bahkan pluralis dalam setiap diri agamawan. [20]
Terkait
dengan agama yang humanis, terdapat dua konsepsi penting yang dimiliki setiap
agama-agama yang bisa mempengaruhi para pemeluknya dalam hubungannya dengan
orang lain, yaitu fanatisme dan toleransi.[21]
Kedua konsep tersebut harus dipraktekkan secara seimbang. Sebab
ketidakseimbangan keduannya akan melahirkan problema tersendiri bagi umat
beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat beragama tertentu bisa menjebak
mereka ke dalam pengaburan makna doktrin agama mereka yang pada gilirannya
menyamaratakan semua agama-agama, dan dari sinilah biasanya konflik bermula.
Sebaliknya, fanatisme yang berlebihan juga akan melahirkan sikap permusuhan
terhadap pemeluk agama lain atau bahkan terhadap saudara seagama dengan faham
yang berbeda.
Agama humanis juga dapat diwujudkan dengan tidak hanya menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan ideologi sendiri dengan doktrinal dan eksklusif, namun bagaimana ayat-ayat yang erat hubungannya dengan hubungan antar umat beragama juga dapat dibahas secara panjang lebar dan komperehensif. KH. Abdurrahman Wahid (alm.) pernah berpesan bahwa berbicara ideologi hanya akan melahirkan sikap sentimen antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, biarkan ideologi sebagai urusan individu masing-masing yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan secara pribadi pula.
Agama humanis juga dapat diwujudkan dengan tidak hanya menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan ideologi sendiri dengan doktrinal dan eksklusif, namun bagaimana ayat-ayat yang erat hubungannya dengan hubungan antar umat beragama juga dapat dibahas secara panjang lebar dan komperehensif. KH. Abdurrahman Wahid (alm.) pernah berpesan bahwa berbicara ideologi hanya akan melahirkan sikap sentimen antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, biarkan ideologi sebagai urusan individu masing-masing yang akan bertanggung jawab kepada Tuhan secara pribadi pula.
Resolusi Atas Intolernasi Ummat
Beragama
Pluralisme
agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Untuk mencari
pemecahan atas segala sikap destruktif ini banyak tawaran teoritis maupun
praktis dikemukakan oleh mereka yang peduli terhadap kerukunan antaragama.
Antara lain dan paling keras gemanya, adalah upaya untuk menciptakan suasana
dialog antarumat beragama.[22]
Salah satu syarat keberhasilan suatu
dialog adalah semangat saling menghormati dan bukan saling menaklukkan. Yang
pertama, adalah khilaf (Ikhtilaf) (Q.S 11:118) yakni perbedaan pendapat
yang dilakukan melalui jadal hasan (adu argumentasi yang baik); dan yang
kedua adalah syiqaq, yakni perbedaan yang mengarah kepada permusuhan
(Q.S 4:35).
Namun
perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa keinginan meraih kehidupan damai
tenteram antar ummat beragama tak sunyi
dari rintangan-rintangan besar. Rintangan ini antara lain adalah tampilnya
individu yang membawa gerakan-gerakan radikal yang menganut pandangan agama
yang dimilikinya sebagai satu-satunya agama yang mutlak kebenarannya. Dengan
adanya pandangan seperti itu akan memunculkan konflik baru dalam kehidupan
beragama sehingga kedamaian antar umat sulit dipertemukan.
Radikalisme
secara popular menunjuk kepada ekstremisme politik dalam aneka ragam bentuknya,
atau usaha untuk mengubah orde sosial-politik secara drastis dan ekstrem.
Tuduhan yang sering dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwa islam adalah
agama “pedang” yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya. Adanya
pandangan negatif ummat lain terhadap agama tertentu senantiasa mendorong
konflik baru dan untuk itu perlu adanya resolusi.[23]
Tampaknya
fenomena kekerasan ini tidak terbatas pada kurun waktu tertentu. Pada masa kini
yang ditandai dengan meluasnya anjuran sikap moderasi, toleransi dan saling
pengerian antar dan interumat beragama kekerasan atas nama agama tetap sulit
untuk dibendung. Berangkat dari fenomena ini, kesadaran dan tanggung jawab atas
melandanya kekerasan atas nama agama di mana-mana, sekitar 60 pemuka agama dari
berbagai berupaya menghentikan tindak kriminalitas yang melanda di beberapa
Negara di dunia.
Di
bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah
mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu kea rah
radikalisme dan kekerasan. Dalam lingkungan Islam misalnya, di atas pundak
pemuka agama terletak kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang
menghindari sikap ekstrem atau berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan
masyarakat penengah dan adil, atau dalam bahasa Al-qur’an Ummatan wasathan (Q.S
2:143)
Sejak
lahirnya agama di permukaan bumi ini, berbagai penyakit sosial merupakan
garapan utamanya. Untuk itu, tentu saja bagi kaum agamawan, terapi yang paling
ampuh adalah kembali kepada nilai-nilai agama.[24] Namun mereka yang tidak,
atau belum, meyakini keampuhan peran agama, selalu mencari jalan keluar lain
untuk mengatasi penyakit ini.
Dunia
barat, yang paling bertanggung jawab dalam pengikisan pengaruh agama melalui
kebangkitan rasionalisme secular era pencerahan (enlightenment), mulai
menyadari dampak negatif dari keberhasilan rasionalisme minus agama tersebut. Kendati
hasil empiris menunjukan bahwa program rehabilitasi sosial yang diprakarsai
oleh kelompok agama cukup mengesankan, pengambil keputusan (pemerintah) selama
ini enggan memberi peluang lebih besar bagi institusi keagamaan gereja,
sinagog, atau masjid. Dalih klasik adalah “tidak seiring dengan esensi
konstitusi yang menetapkan pemisahan agama dan Negara”.[25]
Namun
akselarasi penyakit sosial yang menunjukan angka mengerikan dewasa ini memaksa
para pengambil keputusan, akademisi, dan para pekerja sosial yang semulla
enggan berpeling kepada faktor agama, bergegas mengaku peran positif agama.
Momentum ini tampaknya digunakan oleh kelompok agama untuk mendapat dukungan
dana dari pemerintah guna membiayai program-program yang berkaitan dengan usaha
penanggulangann penyakit sosial ini.
Dalam suasana keakraban dan
solidaritas mendalam antar ummat yang berbeda agama dan kepercayaan ini, setiap
umat agama mengacu kepada Tuhan Yang mahakuasa, yang senantiasa memberi cobaan
pada hamba-Nya. Semoga hubungan antarpemeluk agama yang dicerminkan di negeri
Indonesia ini dapat terwujud secara makro di dunia.
Inklusifitas
Ummat dalam Beragama
Kajian
Q.S Al-baqarah: 62 tentang jaminan keselamatan semua golongan, Q.S Ali-Imran:
85 dan 19 tentang tidak ada keistimewaan agama termasuk Islam menuntut ummat
agar senantiasa menjaga keharmonisan dalam menjalankan kehidupan beragamanya. [26]
Menurut
Al-Thabari bahwasanya jaminan Allah yang disebutkan dalam ayat itu mengandung
syarat: yakni beriman, percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat
beriman itu, beriman kepada allah dan Muhammad SAW. Dengan kata lain, yang
dimaksud ayat ini mereka yang telah memeluk agama Islam.
Menurut
Fakhr Al-din Al-Razi menyatakan bahwa ketiga syarat itu tak lain adalah esensi
dari ajaran islam. Menurut Ibn Katsir, ia seolah setuju dengan sebuah hadist
yang diriwayatkan Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ayat tersebut telah di naskh
(diganti) dengan turunnya ayat ke 85 surah Al-baqarah itu: hanya Islam
yang diterima sebagai agama yang diridhai.
Saudara
persaudaraan, toleransi, kelapangan, kesucian, dan kesederhanaan dalam beragama
merupakan harapan setiap ummat beragama. Untuk dapat mewujudkannya itu perlu
sebuah komitmen hati dengan segala kemampuan untuk bagaimana membuka frame berpikir
agar tidak terjemak dalam sikap ekslufisme beragama yang akan menggiring ummat
pada stagnasi pemikiran dan memunculkan gerakan-gerakan chauvinism dan
berujung pada radikalisem keagamaan.
Sikap
keterbukaan akan pluralism ummat beragama merupakan suatu sikap kunci pembuka
kedamaian dalam beragama, tanpa membuat kegaduhan atau pencampuradukan ajaran
atau yang lebih dikenal dengan sinkretisme agama, ummat agama akan lebih
humanis dalam menyikapi persoalan kehidupan sosial terutama yang bersangkut
paut dengan agama itu sendiri.
Melalui
hubungan baik dengan kekuatan yang diyakini oleh setiap kaum agamawan, setiap
manusia akan merasa tenang dan damai. Kecemasan munculnya konflik dapat
dikurangai dengan sikap inklusiftas beragama.[27] Dan untuk itu kenapa manusia
beragama, tiada lain adalah untuk mendapatkan ketenangan batin dalam
menjalankan roda kehidupan yang heterogen. Manusia sebagai makhluk yang
senantiasa dilingkupi rasa cemas dan penuh harap, sejatinya membutuhkan suatu
kekuatan yang dapat menggiringnya pada kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan,
yakni Tuhan sebagai tujuan akhir dari manusia.
Sedemikian
tingginya Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia untuk beragama,[28] ini dapat terlihat dalam
Q.s. al-Kaafirun: 6 yang menyebutkan “…untukmu agamamu, untukku agamaku…”,
ini merupakan pertanda bahwa Tuhan telah menjaga nilai dari masing-masing agama
dan manusia dengan akal dan hatinya berhak untuk beragama menurut keyakinannya
dengan maksud beribadah semata-mata karena Tuhan yang satu.
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam persoalan agama, agama menjadi
perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan
relasi antar manusia. Tapi di sisi yang berbeda, fungsi ini justeru menampilkan
bahwa agama bisa menghasilkan banyak kontradiksi terutama menyangkut masalah
ketidakadilan dan kesenjangan. Kedua, karena agama sebagai identitas, artinya
agama secara spesifik dapat diidentikkan pada kelompok tertentu.
Lahirnya tindak kekerasan karena
besar kemungkinan terdapat ikhtilaf pemahaman, penafsiran, kerangka berfikir,
dan etos kerja antara satu kelompok dengan yang lainnya. Selain itu, agama
terkadang menjadi alat legitimasi hubungan antar manusia sebagaimana telah
disinggung di awal pembahasan.
Walau demikian, terdapat sanggahan
dari banyak fihak khususnya kaum agamawan yang mengatakan bahwa agama sama
sekali tidak mengandung doktrin amoral semisal kekerasan. Menurut kelompok ini,
kekerasan yang terjadi bukanlah bersumber dari agama melainkan dari
individu-individu yang mengaku beragama dan agama dijadikan kambing hitam aksi
mereka. Walaupun dalam agama-agama terdapat doktri 'perang', bukan berarti
agama mengajarkan kekerasan, permusuhan, intimidasi, dan terorisme.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
selama agama eksis di tengah peradaban dan kehidupan manusia akan tetap
berkelit kelindan dengan kekerasan. Artinya, agama dan kekerasan bagaikan dua
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan tapi bisa dibedakan. Namun tidak
dapat dilupakan bahwa agama juga sumber kebaikan dan toleransi. Intinya, dalam
perjalanannya agama akan menjadi sumber intimedasi atau sumber toleransi
bergantung pada umat manusia selaku subjeknya.
Dengan demikian, segenap umat
beragama memiliki tugas yang amat berat dan mendesak, yakni mewujudkan kembali
reputasi agama sebagai way of life yang rahmatan lil `alamin. Tugas
tersebut bukanlah hal yang mudah dan sepele melainkan dibutuhkan kesungguhan
dan apresiasi dari seluruh elemen masyarakat, bangsa dan Negara.
Saran
Dalam penyusunan karya
tulis ini, masih terdapat banyak kekurangan yang mesti harus diperbaiki. Dan
untuk itu sekiranya handai taulan dapat memberikan masukan yang membangun untuk
perbaikan karya tulis penulis untuk ke depannya.
Namun penulis berharap
untuk ke depannya dalam penyusunan karya tulis yang serupa dengan topik ini
sekiranya mampu memberikan resolusi konflik atas pemikiran dan keberagamaan
dalam kehidupan dewasa ini yang dalam substansinya melekat pada kehidupan
sosial masyarakat di Indonesia khususnya bagi mereka yang beragama untuk dapat lebih
memahami esensi keberagamaan mereka dengan benar agar tidak memunculkan konflik
baru dalam menjalani kehidupan beragama di Indonesia yang multi kultural,
sehingga kesalahpahaman dalam memahami ajaran agamanya masing-masing dapat
berkurang sekaligus akan menjadikan hubungan antar ummat agama yang humanis dan
toleran.
الحمد لله رب العالمين
DAFTAR BACAAN
Agus,
Bustanudin. 2007. Agama dalam kehidupan manusia. Grafindo. Jakarta
Durkheim,
Emile. 2011. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-
Bentuk Agama yang paling dasar.
Terj. Inyiak Ridwan Muzie. M. Syakir. Ircisod.
Yogyakarta
Grose,
George B. & Hubbard, Benjamin J. 1998. Tiga Agama Satu Tuhan; Sebuah
Dialog.
Mizan. Bandung
Hidayat,
Komarudin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
O`Dea,
Thomas F. 1994. Sosiologi Agama,
Rajawali Press. Jakarta
Kahmad,
Dadang. 2011. Sosiologi Agama. Pustaka Setia. Bandung
--------------------------.
2011. Metodologi Penelitian Agama. Pustaka Setia. Bandung
Keene,
Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Kanisius. Yogyakarta
Madjid,
Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina.
Jakarta
--------------------------.
2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Cetakan VIII. Paramadina.
Jakarta
Sardar,
Ziaudin. 2005. Kembali Ke Masa Depan. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta
Shihab,
Alwi. 1997. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Mizan.
Bandung
Yazdi,
Misbah. 2005. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. Alhuda.
Jakarta
[1] Penulis adalah Mahasiswa Pasca
Sarjana UIN SGD Bandung jurusan
Religious Studies semester 2 (dua), email : areadone88@gmail.com
[2] Menurut Cak Nur bahwa yang disebut
dengan beriman bukan sekedar percaya kepada Tuhan seperti orang Mekkah dahulu
yang mewujudkan bentuk kepercayaannya kepada berhala-berhala tuhan yang nisbi,
melainkan sikap percaya terhadap Tuhan tersebut mesti dalam kualitas-Nya
sebagai satu-satunya yang bersifat keillahian atau ketuhanan dan tidak
memandang adanya kualitas serupakepada suatu apapun yang lain. Lihat
Nurcholis Madjid. Pintu-pintu menuju Tuhan. (Jakarta; Paramadina, 2008).
Cetakan VIII, hlm. 6. Dalam keterangan lain iman juga dapat menentukan cara
manusia mendekati Allah dan dapat mengatur hidup mereka. Lihat Michael
Keene. Agama-agama Dunia, terj. F.A.Suprapto. (Yogyakarta; Kanisius,
2006), Hlm. 100.
[3] George B. Grose, Tiga Agama Satu
Tuhan; Sebuah Dialog, (Bandung, Mizan, 1998), Hlm. xxiv
[4] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung,
Pustaka Setia, 2011), Hlm. 64
[5] Ibid., Hlm. 6
[6] Ibid. Hlm. 64
[7] Ibid., Hlm. 63
[8] Ibid., Hlm. 62
[9] Dengan demikian agamasebagai
pandangan hidup atau ideologi yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia. Lihat
Ibid., Hlm. 64-65 dan Thomas F. O`Dea, Sosiologi Agama, (Jakarta;
Rajawali Press, 1994), Hlm. 26-29.
[10] Dadang Kahmad, Metodologi
Penelitian Agama, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), Hlm. 75-77
[11] Komarudin Hidayat, Agama Punya
Seribu Nyawa, (Jakarta; Noura, 2012), Hlm. vii
[12]
Secara leksikal din diartikan sebagai agama, dalam bahasa arab din juga berarti
ketaatan dan balasan. Sedangkan secara teknis din berarti beriman kepada
pencipta manusia dan alam semesta serta kepada hukum praktis yang sesuai dengan
keimanan tersebut. Lihat Misbah Yazdi. Iman Semesta; Merancang
Piramida Keyakinan.(Jakarta; Alhuda, 2005), Hlm. 1
[13] Ibid., Hlm. 10
[14] Emile Durkheim, The Elementary
Forms of The Religious Life,terj. Inyiak Ridwan M. (Yogyakarta;
Ircisod, 2011), Hlm. 56
[15] Ibid., Misbah Yazdi. Iman
Semesta; Merancang Piramida,…, Hlm. 13
[16] Modernitas semestinya mengatakan
kesadaran diri sebagai subjek dalam artian orang modern memperhatikan hak
asasi, ilmu pengetahuan, otonomi pribadi dan demokrasi. Selain itu modernitas
juga haruslah kritis dan progresif karena orang modern cenderung mengeliminasi
prasangka dari tradisi dengan megkaji penghayatan, juga mengadakan perubahan
yang secara kulaitatif baru. Lihat Ibid., Dadang Kahmad, Sosiologi
…, Hlm. 66-67
[17]
Ziaudin Sardar. Kembali Ke Masa Depan. (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta,
2005), Hlm. 5
[18] Ibid., George B. Grose, Tiga
Agama Satu Tuhan;…, Hlm. 291
[19] Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin
dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 2008, Cet.VIII), Hlm. 423
[20] Ibid., George B. Grose, Tiga
Agama Satu Tuhan;…, Hlm. xix
[21] Bustanudin Agus. Agama dalam
kehidupan manusia. (Jakarta; Grafindo, 2007), Hlm, 29
[22] Alwi Shihab, Islam Inklusif;
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung; Mizan, 1997), Hlm. 8
[23] Ibid.Hlm. 34
[24] Ibid. Hlm. 53
[25] Ibid. Hlm. 55
[26] Ibid., Komarudin Hidayat, Agama
Punya…, Hlm. 34
[27] Ibid. Hlm. 17
[28] Ibid., Hlm. 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar