Eskatologi (al-Ma`âd)
; Jiwa & Kematian, Kehidupan sesudah mati, Tanggungjawab Manusia
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi [1]
ABSTRAKSI
Kematian merupakan
suatu jemabatan untuk mencapai kehidupan yang abadi. Karena keabadian merupakan
kebutuhan hidup setiap manusia, seperti makan dan minum. Namun yang menjadi
persoalan mendasar adalah adakah kebangkitan akan kehidupan abadi setelah
kematian tersebut terjadi, jika benar adanya apakah kebangkitan ruhani semata
atau dengan jasmani juga. Para filosof, khususnya filosof peripatetik meyakini
kebangkitan ruhani atau intelektif, yakni keterpisahan jiwa dari raga maka jiwa
akan bersifat ruhani dan tidak mungkin lagi dibangkitkan bersama raga karena
akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi. Dalam mempersoalkan tentang eskatologi
atau kehidupan sesudah mati, erat kaitannya dengan persoalam yang jiwa, karena
dalam proses eskatologi apakah yang sebenarnya dibangkitkan jiwa atau raga.
Begitu pun dengan perbuatan manusia selama hidup di dunia apakah
dipertanggungjawabkan atau tidak. Kepercayaan tentang adanya hari
akhirat ini mestilah dapat dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis
sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan bagi mereka yang
belum mempercayai Tuhan untuk meragukannya. Dan Untuk dapat menjawab
pertentangan semacam ini, penulis mencoba membedah dengan pendekatan
hermenuetik atau analisis tekstual.
KATA KUNCI
ü Eskatologi adalah konsep
nisbi mengenai penciptaan baru atau kedua sebagai pertentangan adanya
penciptaan yang awal,
ü Jiwa adalah sesuatu yang ada dalam
raga dan menjadi spirit kehidupan,
ü Kematian adalah jemabatan menuju
kehidupan abadi setelah berpisahnya jiwa dan raga,
ü Reinkarnasi merupakan peristiwa
berpindahnya jiwa dari satu jasad ke jasad yang lain setelah mengalami
kematian.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Suatu hal yang menjadi prinsip
dasar pandangan dunia sekaligus merupakan pondasi penting dari keimanan seorang manusia terutama bagi
mereka yang “beragama” salah satunya umat Islam
adalah beriman atau kepercayaan.[2] Dengan
kepercayaan itu akan melahirkan suatu
tata nilai guna menopang hidup dan budayanya, sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin
dapat memeprcayai
akan
adanya kebangkitan dihari akhirat atau kehidupan sesudah mati (baca;
eskatologi) sebagai
ciri orang beriman.[3]
Kepercayaan terhadap hal tersebut merupakan suatu persyaratan hakiki untuk
dapat disebut agamawan baik nasrani, budha atau dalam Islam disebut muslim, dan
jika mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan bagian dari golongan
agamawan.
Sebelum
jauh membahas tentang eskatologi, sekiranya perlu dibahas terlebih dahulu
masalah-masalah yang berkaitan denan hal tersebut yakni tujuan dari adanya penciptaan.
Masalah seperti ini akan memberikan penjelasan kepada kita bahwa tujuan dari
seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan kesempurnaan
tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak
ciptaan. Maka dengan adanya pembahasan tujuan penciptaan itulah yang akan
menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah
mati (Eskatologi).[4]
Kepercayaan
tentang adanya hari akhirat ini mestilah dapat dibuktikan melalui
argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat
dikemukakan bagi mereka yang belum mempercayai Tuhan untuk meragukannya. Kesungguhan
beragama dapat terpacu
dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat kekal sebagai
sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul
kepercayaan kepada ekskatologi (al-Ma’âd) merupakan prinsip kedua setelah tauhid.
Tema-tema
yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati
berkenaan dengan jiwa, maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari
pengadilan besar sebagai pertanggungjawaban kehidupan manusia, hubungan
antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan
perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara
kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan
bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang
kehidupan baik di dunia ini maupun di akhirat, kebahagiaan kita sangat
tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia
akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dan secara logis, manusia selalu
membutuhkan apa yang dinamakan dengan balasan atas apa yang telah dilakukan
pada kehidupan dunia mulai dari perbuatan-perbuatan, pemikiran-pemikiran,
perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang
paling kecil sebagaimana mahluk manusia itu sendiri yang nisbi.[5]
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa
kehidupan dunia saja, sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai
pertanggung jawaban pada hari periode selanjutnya yang disebut eskatologi atau
kebangkitan di alam akhirat.
Kebahagiaan
manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari akhirat tersebut. Karena
pada hari akhirat manusia akan diganjar atau dihukum sesuai
perbuatan-perbuatannya.
Menurut
Islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki
bagi kebahagiaan manusia. Karena secara umum,
kajian tentang eskatologi pada abad pertengahan sudah terintegarasi ke dalam
filsafat sebagai bagian dari upaya para filosof muslim untuk membuktikan
keberlangsungan eksistensi jiwa setelah kematian dan keberadaan kehidupan
akhirat secara filosofis. Sumbangan besar yang diberikan para filosof muslim
tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah keyakinan keagamaan, tetapi juga pada
pengetahuan yang lebih mendalam tentang subsatnsi ruh atau jiwa.
Metodologi Penelitian
Kasus yang dijadikan
bahan penelitian dalam karya ini terjadi dalam ruang lingkup Eskatologi yang
mencakup persoalan jiwa, keamtian dan tanggung jawab moral manusia setelah
mati, oleh karenanya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih memfokuskan
pada studi hermeneutik dengan pendekatan deskriptif-naratif.[6] Dan untuk
itu, penulis mencoba menguraikannya dengan sistematis agar layak dijadikan
sebagai karya ilmiah sesuai standar baku yang telah ditentukan.
Kajian Pustaka
Dalam penulisan karya
singkat ini, penulis berupaya mencari sumber pustaka yang sekiranya relevan
dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang muncul pada masa kini. Sumber
referensi yang penulis gunakan adalah buku-buku terkait persoalan eskatologi
pada khususnya dan studi tentang hermeneutika melalui media massa atau sumber
lainnya yang tepat sebagai sumber referensi sekunder.
Di samping itu, pun
penulis merujuk pada referensi beberapa pemikiran tentang agama seperti halnya
Mullashadra, Gautama, Aristoteles dan Ibnu Sina dan lain sebagainya untuk
mendapatkan inspirasi pengetahuan keagamaan penulis. Akan tetapi yang
terpenting dalam hal ini adalah bagaimana teori-teori tentang eskatologi
tersebut mampu dipahami secara tepat.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah dan fokus pembahasan di atas, dalam persoalan tentang
agama dipastikan mempercayai akan adanya hari akhir berikut hari kebangkitannya
(Eskatologi), hal ini merupakan wujud sistem kepercayaan dari suatu agama.
Dengan demikian, untuk memhami lebih rinci terkait hal itu penulis memberikan
batasan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1.
Apa hakikat utama
dari jiwa dan kematian sesungguhnya?
2.
Bagaimana pandangan
pemikir terkait jiwa pasca kematian (Eskatologi)?
3.
Apa yang
dibangkitkan setelah manusia mengalami kematian ?
4.
Bagaimana manusia
bertanggungjawab atas kehidupan yang dijalaninya ?
PEMBAHASAN
Hakikat Jiwa & Kematian; Eksistensi Jiwa Dalam Bingkai
Manusia
Dari semua hal-hal yang
bersifat spiritual, tidak ada yang lebih menarik perhatian saya untuk dijadikan
prototipe percontohan hal-hal spiritual lainnya, selain dari jiwa.[7] Berbicara
tentang jiwa bagi kalangan materialsme berarti berbicara tentang sesuatu yang dapat
diketahui dengan bukti-bukti empiris seperti yang diungkapkan Dawson bahwa di
saat jiwa lepas dari tubuh, ia dianggap menjalani kehidupan persis sama dengan
yang dialami makhluk hidup di muka bumi yaitu makan, minum, berburu dan
sebagainya. Sekalipun menurut sebagian lagi bersifat Immaterial karenanya tidak
dapat terlihat dengan panca indera yang lima atau dengan kata lain bersifat
metafisik layaknya seperti roh atau akal.
Pertentangan kedua
pernyataan tersebut diselaraskan sebagai sesuatu yang ada layaknya angin dan
bayangan.[8] Karenanya
berbicara tentang eskatologi tidak dapat dilepaskan dari persoalan mendasar
tentang ruh pada diri manusia, dan bagaimana ruh dapat terus ada selama
kematian terjadi. Seperti halnya sanggahan al-Ghazali dalam kitab Tahafut
al-Falasifah tentang kritiknya terhadap para filusuf mengenai kebangkitan
ruh dan jasad, dalam kitabnya dijelaskan bahwa dalam paham filusuf adanya pengingkaran kebangkitan tubuh di hari akhirat, Dalam masalah ini
Al-Ghazali memandang filosof berpendapat
bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani yang akan
menerima baik atau buruk atas perbuatan manusia di dunia adalah rohaninya,
bukanlah jasmani.
Jiwa manusia, sebenarnya berbeda dengan jiwa makhluk yang
lain seperti binatang, pohon, dan sebagainya. Jiwa manusia bagaikan alam
semesta, atau alam semesta itu sendiri yang tersembunyi di dalam tubuh manusia
dan terus bergerak dan berotasi. Pemaknaan jiwa dalam bahasa sansekerta bagi
kepercayaan Hinduisme diartikan sebagai Jiva atau benih kehidupan, hal
ini serupa dengan apa yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa jiwa
memiliki arti roh manusia yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seorang hidup
atau bernyawa.[9]
Dalam karyanya on the
Soul atau “tentang jiwa”, Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai
enteleki atau penyempurnaan pertama badan yang teratur alamiah, yang mempunyai
kapasitas untuk hidup.[10] Dalam
definisinya, pengertian jiwa yang dimaksud Aristoteles merupakan jiwa sebagai
bentuk atau fungsi badan yang tertaur dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai
wujud yang terpisah. Akan tetapi dalam karya yang sama pendapat Aristoteles ini
mencerminkan keragu-raguannya tentang hakikat jiwa dengan mangajukan pertanyaan
“apakah jiwa tidak dapat menjadi enteleki badan, keraguaannya ini diungkapkan
dalam pernyataan mengenai intelek
manusia tidak dapat terpisah setelah kematian fisik, sementara dengan matinya
fisik jiwa istirahat dan lalu mati, dan menjadi sesuatu yang mungkin
keyakinannya tentang akan tetap hidupnya intelek manusia karena dikembangkan
oleh kerja intelektual murni.[11]
Namun berbeda dengan
Plotinus yang menolak konsepsi jiwa Aristoteles, ia menerangkan tentang
kepercayaannya terhadap jiwa dunia dan jiwa individual sebagai modifikasinya
dan bukan sebagai aktualisasi badan.[12] Begitu
pun dalam pandangan teologi disebutkan bahwa jiwa dipercaya hidup terus
meskipun seseorang telah meninggal, dan bagi sebagian agama mengajarkan bahwa
Tuhan adalah pencipta jiwa, juga bagi sebagian kepercayaan seperti animisme
meyakini bahwa di dalam benda-benda mati pun memiliki jiwa.
Seperti apa yang pernah
diungkapkan oleh Emile Durkheim mengartikan “Jiwa”
sebagai sesuatu yang seklaigus sebagai
substansi generik yang kemudian menjadi sama saat keduanya menjadi bagian dari
suatu individu.[13] Di kalangan filosof muslim
seperti halnya al-Farabi seorang pewaris tradisi filsafat hellenik secara
eksplisit mengidentifikasi jiwa manusiasebagai fakultas atau daya yang inhern
dalam tubuh dan bukan sebagai substansi spiritual yang dapat mengada secara
mandiri dari badan.[14]
Tidaklah mudah dalam menentukan definisi jiwa seperti ide
orang Australia yang kabur dan bermacam-macam. Dalam karya “Australian
Aborigines” James Dowson telah meneliti kebiasaan dan kepercayaan
masyarakat Australia yang menyimpulkan bahwa seluruh masyarakat Australia
meyakini bahwa setiap tubuh manusia mengandung sesuatu yang bersifat interior,
yakni prinsip kehidupan yang menggerakan dan menghidupkan tubuh tersebut, dan
itu yang dinamakan dengan jiwa. Lebih jauh Dawson mengungkapkan bahwa jiwa
adalah penampakan eksternal (external appereance) dari tubuh yang
tercipta dari substansi yang tidak bisa didefinisikan, jiwa ini dapat terkadang
dapat di lihat dari wujud binatang, atau
dengan kata lain wujud jiwa sama sekali tidak tetap dan tidak jelas, dia
berubah dari waktu ke waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
keadaan mitos dan ritus.[15]
Lebih jauh ungkapan Dawson ini diperkuat oleh Frazer yang
mengungkapkan bahwa jiwa sangat berbeda dan berdiri sendiri dari tubuh karena
dari awal kehidupan dia sudah dapat meninggalkan kehidupan tubuh untuk
sementara, seperti dia meinggalkan tubuh di kala manusia tidur atau pingsan dan
sebagainya. Dan itu artinya bahwa jiwa bisa saja tidak berada dalam tubuh tanpa
harus menyebabkan kematian, namun kehidupan akan melemah jika selama tidak ada
jiwa ini dan akan berakhir seandainya jiwa ini tidak kembali lagi mengisi raga.
dan lebih tegas Durkheim menjelaskan bahwa hanya dengan kematianlah keberadaan
dan keindependenan jiwa paling jelas terlihat dan karena ia memiliki eksistensi
yang otonom di dalam dunia yang terpisah dan khusus.[16]
Menurut Frazer dalam
karyanya yang berjudul “On Certain Burial Custom, as Illustrative of he
Primitive Theory of The Soul” menyebutkan teramat keliru ketika pendapat
yang menyatakan bahawa tubuh dipandang hanya sebagai tempat persinggahan dan
bersemayam jiwa dengan dalih hubungannya yang bersifat eksternal. Padahal
ikatan antara tubuh dan jiwa sangatlah kuat, apa yang dirasakan jiwa dirasakan
pula oleh tubuh dan begitu pun sebaliknya.[17]
Lebih jauh diungkapkan
lagi menurut Durkheim bahwa bukan hanya hubungan erat yang terjadi antara jiwa
dan tubuh, tapi terdapat asimilasi parsial. Ada bagian tubuh yang dimiliki
jiwa, dan karena jiwa kadangkala mengambil wujud tubuh, maka ada bagian jiwa
yang dimiliki tubuh. Bagian-bagian tubuh tertentu memiliki kemiripan seperti
halnya jantung, darah, bayangan dan sebagainya.[18] Sekalipun
jiwa dianggap hanya menempati bagian-bagian tertentu dalam tubuh, bukan berarti
bagian tubuh lain tidak memiliki jiwa. Dengan berbagai tingkatan dia menyebar
keseluruh tubuh.
Berbeda dalam pandangan
muslim seperti pendapat al-Farabi yang menyatakan jiwa tidak dapat mengada
dengan mandiri dalam tubuh karena ia adalah daya intelek potensial-material
manusia yang berkembang menjadi intelek aktual dan dapat memikirkan
bentuk-bentuk immaterial. Karenanya, menurut al-Farabi jiwa-jiwa manusia yang
tidak berkembang menjadi intelek aktual tidak dapat menyelamatkan kematian
badan karena ia hanya sebagai daya dalam badan. Kemudian berbeda lagi dengan
pendapatnya Ibn Sina yang mengatakan bahwa sekalipun jiwa intelek potensial, ia
adalah entelek dari substansi spiritual immaterial yang dapat mengada secara
mandiri dari badan.[19]
Dalam kaitannya tentang
eskatologi, menurut Mullasadhra bahwa jiwa telah tercipta sebelum tubuh
diciptakan yang kemudian bergabung dengan fisik yang baru diciptakan.[20] Meskipun
demikian, ada juga beberapa filosof sebelum Mullashadra yang berpandangan bahwa
jiwa tidak mendahului raga, seperti al-Farabi dan al-Ghazali yang meyakini
bahwa jiwa belum ada sebelum adanya raga, hanya saja keduanya tidak memberikan
penjelasan secara terperinci bagaimana jiwa dan raga muncul bersamaan.
Hal lain yang perlu
diperhatikan di sini ialah bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan tubuh tidak
seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, semisal tersusunnya air dari oksigen
dan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud
susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat susunannya. Sementara ruh
adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama ruh itu ada, kemanusiaan
manusia dan kepribadiannya tetap ada dan utuh dengan sendirinya. Oleh karena
itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi,
karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.[21]
Para filosof muslim
berpandangan bahwa jiwa akan tetap ada setelah kehancuran raga mengingat jiwa
bersifat transenden dan tidak bergantung kepada raga kecuali sebagai identitas
bagi dirinya. Senada dengan apa yang dikemukakan Ibn Sina bahwa sesungguhnya
jiwa tidaklah mengalami kematian hanya karena kematian raga dan bahkan tidak akan
mengalami kehancuran sama sekali.[22] Berbeda
dalam pandangan Budha bahwa sesungguhnya manusia tidaklah memiliki jiwa sesuai
dengan ajarannya tentang anatta (tanpa jiwa), sehingga Budha dinilai
sebagai agama yang aneh kalau pun disebut dengan agama.[23]
Dalam kepercayaan
beberapa agama, terdapat ritus-ritus penguburan yang akan memberikan bukti amat
jelas bahwa ketika seluruh tubuh tidak berfungsi jiwa dan tubuh akan terpisah
dan kembali ke tempat asalnya sesuai otonomi ang dimilikinya. Secara umum,
seluruh jiwa menerima takdir yang sama dengan dan menjalani kehidupan yang juga
sama. Akan tetapi ada perlakuan khusus yang diberikan kepadanya sesuai dengan
perilakunya semasa hidup di dunia. Dan untuk memperjelas hubungan jiwa dan
tubuh yang mandiri karena bukan sesuatu yang tersusun atau menyatu karena
memiliki eksistensi ini dapat terlihat dalam bentuk kematian.
Kehidupan Sesudah Mati (Eskatologi);
Kematian sebagai ketiadaan hidup di dunia
Kematian dalam
pandangan Islam bukanlah sesuatu
yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam
kehidupan dunia ini, ia
juga merupakan jembatan atau pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan
abadi, serta mendapatkan keadilan sejati. Dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis
Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah
ketiadaan hidup secara
mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia, dalam
arti bahwa manusia
yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan
cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.
wur
(#qä9qà)s? `yJÏ9 ã@tFø)ã Îû È@Î6y «!$# 7NºuqøBr& 4 ö@t/ Öä!$uômr& `Å3»s9ur w crããèô±n@ ÇÊÎÍÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap
orang-orang yang gugur di jalan Allah, (Bahwa mereka itu) mati; bahkan
(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Q.S.
Al-Baqarah: 154)
Maksud hidup dalam ayat tersebut adalah hidup dalam alam
yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat
kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui
bagaimana keadaan hidup itu. Itu artinya bahwa jiwa
sebetulnya tidaklah mati dalam hal keabadiannya sebagai ruh.
Bagi kaum materialis, kematian merupakan
berhentinya proses fisik manusia. Begitu pun orang-orang primitif
mendefinisikan kematian sebagai suatu pembalasan kehidupan di dunia/ kehidupan
sebelumnya.[24]
Bagi kepercayaan umat Hindu, kematian merupakan proses yang harus dilalui ruh
manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Dalam proses reinkarnasinya itu, ruh
yang tereinkarnasi akan menjadi baik manakala selama hidup di kehidupan
sebelumnya berlaku baik, dan begitu pun sebaliknya jika berbuat jelek maka
wujud reinkarnasi yang akan muncul adalah binatang.[25]
Dalam beberapa kepercayaan yang
sekaligus menjadi tradisi dari setiap agama, ritual-ritual kematian menunjukkan
sebagai bukti adanya magis untuk menghantarkan ruh yang telah terpisah dari
jasad untuk dapat kembali ke tempat asalnya, yang dalam bahasa agama Hindu
disebut dengan atman.[26] Banyak diantara mereka
menyadarinya bahwa ritual-ritual kematian yang mereka lakukan secara tidak
langsung berdampak pada perkembangan ekonomi, seni, organisasi dan bentuk
pemerintahannya.[27]
dan keabadiannya sebagai ruhani
Keabadian adalah
kebutuhan hidup setiap manusia, seperti makan dan minum. Persoalan mendasar
yang memicu ketegangan antara filosof dan teolog berkisar pada persoalan
seperti apa bentuk kebangkitan tersebut terjadi, apakah kebangkitan ruhani
semata atau dengan jasmani juga. Para filosof, khususnya filosof peripatetik
meyakini kebangkitan ruhani atau intelektif, yakni keterpisahan jiwa dari raga
maka jiwa akan bersifat ruhani dan tidak mungkin lagi dibangkitkan bersama raga
karena akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi.[29]
Dalam mempersoalkan
kehidupan sesudah mati, erat kaitannya dengan persoalam yang ada dalam agama
Hindu maupun Budha perihal atman atau jiwa yang mampu berpindah dari
suatu tubuh ke tubuh yang lain yang dalam hal ini bagi ummat hindu disebut
dengan kharma atau reinkarnasi. Reinkarnasi merupakan suatu
kenyataan yang secara terus terang dapat digambarkan seperti halnya api yang
mampu berpindah dari satu lilin ke lilin yang lain sebagai proses dari adanya
hubungan sebab akibat, di mana yang dipindahkan adalah pengaruh melalui reaksi
berantai dan bukan substansi sendiri.
Dalam beberapa pandangan
Mullasadhra terkait masalahjiwa merupakan hakikat riil sedangkan raga adalah
hakikat relatif, seperti halnya wujud dan kuiditas di mana keberadaan jiwa ada
dengan sendirinya yang mampu menghadirkan forma materi. Sehingga dapat
dikatakan jiwa tidaklah terikat dengan raga atau pun jasad, karena ia dapat
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain seperti halnya perumpamaan api
dalam lilin tersebut. Konsepsi reinkarnasi dalam pemahaman Budha berbeda dengan
Hindu yang jelas mempermasalahkan tentang masalah perpindahan jiwa dalam
serangkaian sebab akibat dalam mempertalikan setiap kehidupan yang
mendahuluinya maupun yang akan menyusul kemudian.[30] Jika
orang meninggal, mereka akan meninggalkan serangkaian keinginan yang berhingga
yang hanya dapat tercapai dalam penjelmaan yang lain. Setidaknya dalam
pengertian ini orang masih dapat dikatakan hidup.
Berpindahnya jiwa
merupakan kesementaraan kehidupan yang tidak abadi, oleh karenanya bagi Budha
ketika seseorang meninggal senantiasa jiwanya abadi dalam pengertian
perpindahannya itu sendiri sebagai suatu tanha atau keinginan manusia
yang belum teselesaikan. Sehingga tujuan akhir dari jiwa manusia adalah suatu
keadaan dimana semua identifikasi dengan penglaman historis dari pribadi yang
berhingga akan lenyap sama sekali.
Berbeda dengan apa yang
ada dalam pandangan Islam, jiwa merupakan suatu hal yang bersifat Immateri,
dengan ke-Immateriannya itu ia akan melepaskan diri dari tempat yang sementara
yakni jasad sebagai wadah untuk menunjukan eksistensinya sebagai sesuatu yang
ada dan hidup, sekalipun al-Farabi mengemukakanbahwa jiwa tidak mengalami
kesemepurnaan akan tetap pada tingkatnya sebagai materi, bahkan dapat hancur
bersamaan dengan kehancuran materi tersebut.[31] Hal ini
dapat terlihat dari firman-Nya berikut ini.
öÝàR$$sù #n<Î) Ì»rO#uä ÏMuH÷qu «!$# y#ø2 Çøtä uÚöF{$# y÷èt/ !$pkÌEöqtB 4 ¨bÎ) Ï9ºs ÇósßJs9 4tAöqyJø9$# ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs%
Artinya : “Maka perhatikanlah
bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati.
Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa)
menghidupkan orang-orang yang Telah mati. dan dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.”(Q.S. Ar-Rum : 50)
Tanggung jawab
manusia;
Antara kehendak Tuhan dan manusia
Dalam pandangan
Mu`tazilah, Tuhan bertindak demi keuntungan dan demi kebaikan tertinggi (al-ashlah)
ciptaan-Nya. Tuhan membiarkan manusia berkehendak bebas sepenuhnya,
sehingga ia benar-benar bertanggungjawab atas tindakannya sendiri dan Tuhan
bebas dari segala tuduhan yang membatasi tindakan manusia.[32]
Para teolog Asy`ariyah
mengatakan bahwa Tuhan maha kuasa, secara langsung menciptakan sesuatu termasuk
manusia, kehendak dan tindakannya, mereka menolak segala daya bagi manusia
dengan mengatakan bahwa manusia dapat dikatakan “bertindak” hanya secara
metamorfosis dan bukan dalam pengertian sebenarnya dan mereka sama-sama menolak
gagasan sebab sama sekali, karena Tuhan berkehendak dan menciptakan segala
sesuatu ia sama-sama merasa senang dengan segala sesuatu itu apakah baik
ataukah buruk.[33]
Kelompok ketiga yakni
para filosof seperti Ibn Sina dan pemikir Syiah terkemuka, berpendapat bahwa
wujud muncul dari Tuhan berdasarkan urutan dan tidak secara asal-asalan. Oleh
karena itu, meskipun wujud berasal dari Tuhan ia datang melalui serangkaian,
sebab kemujaraban harus ditentukan bagi sebab dan menjadi kemustahilan jika
Tuhan dapat semisal menciptakan pohon tanpa benih, yang demikian itu bukan
berarti tidak adanya kemujaraban yang memadai pada bagian tubuh, melainkan
karena kemujaraban itu inhern dalam hakikat fisik.
Dalam menjalankan proses
kehidupannya manusia senantiasa berbuat dengan perbuatannya sendiri, sehingga
apa-apa yang akan ditimbulkan dari perbuatannya itu adalah suatu akibat dan
wujud tindakan yang harus ada pertanggung jawabannya. Bagi agamawan Budha manusia
bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, begitu pun segala balasan yang
diterimannya adalah hasil dari tindakannya itu.[34]
Segala tindakan baik
maupun buruk merupakan hakikat aksidental, dengan kata lain bahwa Tuhan
berkeinginan, akan tetapi Tuhan pun tidak senang dengan tindakan buruk. Pada
tingkatan ini, merupakan keharusan penciptaan Tuhan yang maksimal atas
kebaikan.[35]
Dapat ditarik suatu
benang merah bahwa perbuatan manusia seutuhnya menjadi tanggung jawabnya
sendiri yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari yang abadi,
zaman yang abadi sebagai tujuan akhir dari hakikat kebermanusiaan jiwa-jiwa
mnausia.
PENUTUP
Kesimpulan
Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai enteleki atau
penyempurnaan pertama badan yang teratur alamiah, yang mempunyai kapasitas
untuk hidup. Dalam definisinya, pengertian jiwa yang dimaksud Aristoteles
merupakan jiwa sebagai bentuk atau fungsi badan yang tertaur dan tidak dapat
berdiri sendiri sebagai wujud yang terpisah. Akan tetapi dalam karya yang sama
pendapat Aristoteles ini mencerminkan keragu-raguannya tentang hakikat jiwa
dengan mangajukan pertanyaan “apakah jiwa tidak dapat menjadi enteleki badan,
keraguaannya ini diungkapkan dalam pernyataan
mengenai intelek manusia tidak dapat terpisah setelah kematian fisik,
sementara dengan matinya fisik jiwa istirahat dan lalu mati, dan menjadi
sesuatu yang mungkin keyakinannya tentang akan tetap hidupnya intelek manusia
karena dikembangkan oleh kerja intelektual murni.
Bagi kaum materialis, kematian merupakan
berhentinya proses fisik manusia. Begitu pun orang-orang primitif
mendefinisikan kematian sebagai suatu pembalasan kehidupan di dunia/ kehidupan
sebelumnya. Bagi kepercayaan umat Hindu, kematian merupakan proses yang harus
dilalui ruh manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Dalam proses
reinkarnasinya itu, ruh yang tereinkarnasi akan menjadi baik manakala selama
hidup di kehidupan sebelumnya berlaku baik, dan begitu pun sebaliknya jika
berbuat jelek maka wujud reinkarnasi yang akan muncul adalah binatang.
Dalam agama Hindu kematian merupakan
proses yang dilalui ruh manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Proses
reinkarnasi akan menjadi baik manakala selama hidup di dunia Ia berbuat baik,
begitu pun sebaliknya jika berbuat jelek maka senantiasa seburuk-buruknya
reinkarnasi menjadi binatang. Hal ini sesuai dengan hukum karmapala.
Berpindahnya jiwa merupakan kesementaraan kehidupan yang
tidak abadi, oleh karenanya bagi Budha ketika seseorang meninggal senantiasa
jiwanya abadi dalam pengertian perpindahannya itu sendiri sebagai suatu tanha
atau keinginan manusia yang belum teselesaikan. Sehingga tujuan akhir dari
jiwa manusia adalah suatu keadaan dimana semua identifikasi dengan penglaman
historis dari pribadi yang berhingga akan lenyap sama sekali.
Dalam menjalankan proses kehidupannya manusia senantiasa
berbuat dengan perbuatannya sendiri, sehingga apa-apa yang akan ditimbulkan
dari perbuatannya itu adalah suatu akibat dan wujud tindakan yang harus ada
pertanggung jawabannya. Bagi agamawan Budha manusia bertindak sesuai dengan
kehendaknya sendiri, begitu pun segala balasan yang diterimannya adalah hasil
dari tindakannya itu.
Saran
Dalam penyusunan karya
tulis ini, masih terdapat banyak kekurangan yang mesti harus diperbaiki. Dan
untuk itu sekiranya handai taulan dapat memberikan masukan yang membangun untuk
perbaikan karya tulis penulis untuk ke depannya. Akan tetapi penulis berharap
untuk ke depannya dalam penyusunan karya tulis yang serupa dengan topik ini
sekiranya mampu membongkar cakrawala pemikiran terkait eskatologi dalam
perkembangan pemikiran dewasa ini yang dalam substansinya melekat pada
kehidupan sosial masyarakat di Indonesia khususnya bagi mereka yang beragama
untuk dapat menyelami segala bentuk ragam pemikiran keagamaan mereka secara
tepat agar tidak memunculkan konflik kesalahpahaman dalam memhami ajaran agama.
الحمد لله رب العالمين
DAFTAR BACAAN
Agus,
Bustanudin. 2007. Agama dalam kehidupan manusia. Grafindo. Jakarta
As-Suhrawardi,
Syihab ad-Din. 2003. Hikmah al-Israq; Teosofi cahaya dan metafisika
huduri. Islamika.
Yogyakarta.
Durkheim,
Emile. 2011. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-
Bentuk Agama yang paling dasar.
Terj. Inyiak Ridwan Muzie. M. Syakir. Ircisod.
Yogyakarta
Kahmad,
Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Agama. Pustaka Setia. Bandung
Keene,
Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Kanisius. Yogyakarta
Madjid,
Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina.
Jakarta
Muthahari,
Murtadha. 2009. Keadilan Illahi. Cetakan II. Mizan. Bandung
Prasetya
Adi, Febri. 2007. Menyibak Misteri Kekal Akhirat Tinjauan Ilmu Fisika. Kreasi
Total Media. Yogyakarta
Rahman,
Fazlur. 2000. Filsafat Sadra. Terj. Munir A. Muin. Pustaka. Bandung
Sibawaihi.
2004. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman; Studi Komparatif Epistimologi
Klasik-Kontemporer. Islamika.
Yogyakarta
Smith,
Huston. 1991. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Yazdi,
Misbah. 2005. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. Alhuda.
Jakarta
[1] Penulis adalah mahasiswa Pasca
Sarjana UIN SGD Bandung jurusan Religious Studies semester 2 (dua), Email :
areadone.hawk@gmail.com
[2] Menurut Cak Nur bahwa yang disebut
dengan beriman bukan sekedar percaya kepada Tuhan seperti orang Mekkah dahulu
yang mewujudkan bentuk kepercayaannya kepada berhala-berhala tuhan yang nisbi,
melainkan sikap percaya terhadap Tuhan tersebut mesti dalam kualitas-Nya
sebagai satu-satunya yang bersifat keillahian atau ketuhanan dan tidak
memandang adanya kualitas serupakepada suatu apapun yang lain. Lihat
Nurcholis Madjid. Pintu-pintu menuju Tuhan. (Jakarta; Paramadina, 2008).
Cetakan VIII, hlm. 6. Dalam keterangan lain iman juga dapat menentukan cara
manusia mendekati Allah dan dapat mengatur hidup mereka. Lihat Michael
Keene. Agama-agama Dunia, terj. F.A.Suprapto. (Yogyakarta; Kanisius,
2006), Hlm. 100.
[3] Hakikat Eskatologi menurut
Mullasadra merupakan konsep nisbi mengenai penciptaan baru atau kedua sebagai
pertentangan adanya penciptaan yang awal. Lihat Fazlur Rahman. Filsafat
Sadra, terj. Munir A. Muin. (Bandung; Pustaka, 2000). Hlm. 343.
Secara analogis, Allah SWT menjelaskan proses kebangkitan di alam akhirat
melalui Q.s. Al-Hajj: 5-7 dimana Allah menganalogikannya dengan proses
penciptaan manusia di dalam rahim, dan dipertegas kembali dengan pertanyaan
al-Kindi yang menjelaskan bahwa keberadaan kembali suatu setelah kehancurannya
adalah mungkin. Lihat Febri Prasetya Adi. Menyibak misteri kekal
akhirat tinjauan ilmu fisika. (Yogyakarta; Kreasi Total Media, 2007), Hlm.
88-89.
[4] Eskatologi berasal dari kata escaton
yang secara harfiah berarti doktrin tentang akhirat, sebuah doktrin yang
membahas tentang keyakinan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir
hidup manusia seperti halnya kematian, hari kiamat, kebangkitan kembali,
pengadilan akhir, surga neraka dan lain sebagainya. Lihat Sibawaihi. Eskatologi
al-Ghazali dan Fazlur Rahman; Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer.
(Yogyakarta; Islamika, 2004), Hlm. 34
[5] Ibid., Febri Prasetya Adi. Menyibak
misteri …, Hlm. 87
[6] Dadang Kahmad, Metodologi
Penelitian Agama, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), Hlm. 82
[7] Dalam bahasa
Inggris “Souls” dan “Spirits” jika diserap ke dalam bahasa
Indonesia adalah sense, akan terlihat tumpang tindih pemaknaan. Di sisi
lain akan bermakna roh atau arwah tetapi juga bisa menjadi jiwa, maka untuk menyelesaikannya
jiwa dimaknai dengan “Souls atau body” karena ada ungkapan jiwa-raga
(tubuh) dalam bahasa Indonesia, sementara Spirit diterjemahkan dengan
arwah atau roh. Lihat Emile Durkheim. The Elementary Forms of The
Religious Life; Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang paling dasar. Terj. Inyiak
Ridwan Muzie. M. Syakir. (Yogyakarta; Ircisod. 2011), Hlm.354.
[8] Ibid., Hlm. 357
[9] Ibid., Michael Keene. Agama-agama…,
Hlm. 32 dan KBBI.
[10] Ibid., Fazlur Rahman. Filsafat
Sadra, terj. Munir A. Muin. Hlm. 261
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid., Emile Durkheim. The
Elementary Forms…, Hlm. 353
[14] Ibid.Fazlur Rahman. Filsafat…,
Hlm. 261
[15] Ibid., Emile Durkheim. The
Elementary Forms…, Hlm. 355
[16] Ibid., Hlm. 357
[17] Ibid.,
[18] Ibid., Hlm. 358
[19] Ibn Sina merupakan seorang tokoh
pendiri madarasah filsafat peripatetic (Masysyâiyyat). Ibid., Fazlur
Rahman. Filsafat…, Hlm. 262
[20] Syihab ad-Din.,
As-Suhrawardi. Hikmah al-Israq; Teosofi cahaya dan metafisika huduri. Yogyakarta;
Islamika, 2003.) Hlm. 54.
[21] Sejak dahulu, para
ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam filsafat Islam, ruh yang disebut
dengan istilah Nafs. Oleh karenanya ruh diartikan sebagai aksiden
(`aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah). Lihat Misbah
Yazdi. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. (Jakarta; Alhuda,
2005.), Hlm. 345-348.
[22] Ibid., Sibawaihi. Eskatologi
al-Ghazali dan Fazlur Rahman; Studi…, Hlm. 37
[23] Huston Smith, Agama-agama
Manusia, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991),Cetakan kedua, Hlm. 149.
[24] Bustanudin Agus. Agama dalam
kehidupan manusia. (Jakarta; Grafindo, 2007), Hlm. 275-276
[25] Ibid., Hlm. 277
[26] Dalam agama Hindu kembalinya ruh
manusia disebut dengan atman, dimana atman akan kembali ke
Brahma. Sehingga kembalinya atman kepada Brahma dianggap sebagai
kebahagiaan tertinggi yang didambakan setiap orang. Lihat.Ibid.,
Hlm. 277
[27] Ibid., Hlm. 277-278
[28] Atman merupakan bahasa pali
yaitu bahasa asli dari kitab-kitab agama Hindu yang kemudian maknanya menjadi
atman dari istilah sansekerta yang berarti Jiwa dalam bahasa agama Budha. Lihat
Ibid., Huston Smith, Agama-…, Hlm. 149.
[29] Ibid., Fazlur Rahman. Filsafat…,
Hlm. 335. Dalam agama Hindu kematian merupakan proses yang dilalui ruh
manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Proses reinkarnasi akan menjadi baik
manakala selama hidup di dunia Ia berbuat baik, begitu pun sebaliknya jika
berbuat jelek maka senantiasa seburuk-buruknya reinkarnasi menjadi binatang.
Hal ini sesuai dengan hukum karmapala. Lihat Ibid., Bustanudin
Agus. Agama dalam…, Hlm. 277
[30] Cara Budha memahami reinkarnasi
sangatlah berbeda dengan kebanyaka orang Hindu pada zamannya. Ajaran Hindu yang
baku menganggap kelahiran kembali sebagai kharma, konseskwensi dari
tindakan yang dijalankan selam hidup sebelumnya. Karena tindakan-tindakan
tersebut tak terbilang banyaknya, kehidupan yang tak terbilang jumlahnya
diperlukan untuk melunasi konsekwensi tersebut dan mencapai pembebasan
terakhir. Sedangkan Budha sendiri menganut suatu pandangan yang lebih
psikologis. Kelahiran kemblai atau reinkarnasi dipandangnya bukan sebagai kharma,
melainkan tanha atau sebuah keinginan. Sejauh keinginan manusia
adalah untuk hidup seorang diri, keinginan tersebut akan terpenuhi. Akibatnya,
karena keinginan sebagai kuncinya mungkin sekali bahwa manusia keluar selamanya
dari lingkaran kelahiran kembali pada suatu waktu ketika orang mempunyai
keinginan yang ikhlas untukmelakukan hal itu. Lihat Ibid., Huston
Smith, Agama-agama…, Hlm. 153.
[31] Murtadha
Muthahari, Keadilan Illahi. (Bandung; Mizan, 2009), Cetakan II. Hlm. 67
[32] Ibid., Fazlur Rahman, Filsafat
…, Hlm. 234
[33] Ibid., Hlm. 235
[34] Ibid., Huston Smith, Agama-agama…,
Hlm. 147.
[35] Ibid., Fazlur Rahman, Filsafat…,
Hlm. 236
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus