Selasa, 03 Juli 2012

Agama Kehidupan


Eskatologi (al-Ma`âd) ; Jiwa & Kematian, Kehidupan sesudah mati, Tanggungjawab Manusia
Oleh : Muhamad Ridwan Effendi [1]

ABSTRAKSI
            Kematian merupakan suatu jemabatan untuk mencapai kehidupan yang abadi. Karena keabadian merupakan kebutuhan hidup setiap manusia, seperti makan dan minum. Namun yang menjadi persoalan mendasar adalah adakah kebangkitan akan kehidupan abadi setelah kematian tersebut terjadi, jika benar adanya apakah kebangkitan ruhani semata atau dengan jasmani juga. Para filosof, khususnya filosof peripatetik meyakini kebangkitan ruhani atau intelektif, yakni keterpisahan jiwa dari raga maka jiwa akan bersifat ruhani dan tidak mungkin lagi dibangkitkan bersama raga karena akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi. Dalam mempersoalkan tentang eskatologi atau kehidupan sesudah mati, erat kaitannya dengan persoalam yang jiwa, karena dalam proses eskatologi apakah yang sebenarnya dibangkitkan jiwa atau raga. Begitu pun dengan perbuatan manusia selama hidup di dunia apakah dipertanggungjawabkan atau tidak. Kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dapat dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan bagi mereka yang belum mempercayai Tuhan untuk meragukannya. Dan Untuk dapat menjawab pertentangan semacam ini, penulis mencoba membedah dengan pendekatan hermenuetik atau analisis tekstual.

KATA KUNCI
ü  Eskatologi adalah konsep nisbi mengenai penciptaan baru atau kedua sebagai pertentangan adanya penciptaan yang awal,
ü  Jiwa adalah sesuatu yang ada dalam raga dan menjadi spirit kehidupan,
ü  Kematian adalah jemabatan menuju kehidupan abadi setelah berpisahnya jiwa dan raga,
ü  Reinkarnasi merupakan peristiwa berpindahnya jiwa dari satu jasad ke jasad yang lain setelah mengalami kematian.


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
            Suatu hal yang menjadi prinsip dasar pandangan dunia sekaligus merupakan pondasi penting dari keimanan seorang manusia terutama bagi mereka yang “beragama” salah satunya umat Islam adalah beriman atau kepercayaan.[2] Dengan kepercayaan itu akan melahirkan suatu tata nilai guna menopang hidup dan budayanya, sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat memeprcayai akan adanya kebangkitan dihari akhirat atau kehidupan sesudah mati (baca; eskatologi) sebagai ciri orang beriman.[3] Kepercayaan terhadap hal tersebut merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut agamawan baik nasrani, budha atau dalam Islam disebut muslim, dan jika mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan bagian dari golongan agamawan.
            Sebelum jauh membahas tentang eskatologi, sekiranya perlu dibahas terlebih dahulu masalah-masalah yang berkaitan denan hal tersebut yakni tujuan dari adanya penciptaan. Masalah seperti ini akan memberikan penjelasan kepada kita bahwa tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan kesempurnaan tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan. Maka dengan adanya pembahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).[4]
            Kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dapat dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan bagi mereka yang belum mempercayai Tuhan untuk meragukannya. Kesungguhan beragama dapat terpacu dengan sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat kekal sebagai sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada ekskatologi (al-Ma’âd) merupakan prinsip kedua setelah tauhid.
            Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati berkenaan dengan jiwa, maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar sebagai pertanggungjawaban kehidupan manusia, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
            Sepanjang kehidupan baik di dunia ini maupun di akhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dan secara logis, manusia selalu membutuhkan apa yang dinamakan dengan balasan atas apa yang telah dilakukan pada kehidupan dunia mulai dari perbuatan-perbuatan, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil sebagaimana mahluk manusia itu sendiri yang nisbi.[5] Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia saja, sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode selanjutnya yang disebut eskatologi atau kebangkitan di alam akhirat.
            Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari akhirat tersebut. Karena pada hari akhirat manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya.
            Menurut Islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia.  Karena secara umum, kajian tentang eskatologi pada abad pertengahan sudah terintegarasi ke dalam filsafat sebagai bagian dari upaya para filosof muslim untuk membuktikan keberlangsungan eksistensi jiwa setelah kematian dan keberadaan kehidupan akhirat secara filosofis. Sumbangan besar yang diberikan para filosof muslim tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah keyakinan keagamaan, tetapi juga pada pengetahuan yang lebih mendalam tentang subsatnsi ruh atau jiwa.

Metodologi Penelitian
            Kasus yang dijadikan bahan penelitian dalam karya ini terjadi dalam ruang lingkup Eskatologi yang mencakup persoalan jiwa, keamtian dan tanggung jawab moral manusia setelah mati, oleh karenanya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis lebih memfokuskan pada studi hermeneutik dengan pendekatan deskriptif-naratif.[6] Dan untuk itu, penulis mencoba menguraikannya dengan sistematis agar layak dijadikan sebagai karya ilmiah sesuai standar baku yang telah ditentukan.

Kajian Pustaka
            Dalam penulisan karya singkat ini, penulis berupaya mencari sumber pustaka yang sekiranya relevan dengan kemungkinan-kemungkinan masalah yang muncul pada masa kini. Sumber referensi yang penulis gunakan adalah buku-buku terkait persoalan eskatologi pada khususnya dan studi tentang hermeneutika melalui media massa atau sumber lainnya yang tepat sebagai sumber referensi sekunder.
            Di samping itu, pun penulis merujuk pada referensi beberapa pemikiran tentang agama seperti halnya Mullashadra, Gautama, Aristoteles dan Ibnu Sina dan lain sebagainya untuk mendapatkan inspirasi pengetahuan keagamaan penulis. Akan tetapi yang terpenting dalam hal ini adalah bagaimana teori-teori tentang eskatologi tersebut mampu dipahami secara tepat.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus pembahasan di atas, dalam persoalan tentang agama dipastikan mempercayai akan adanya hari akhir berikut hari kebangkitannya (Eskatologi), hal ini merupakan wujud sistem kepercayaan dari suatu agama. Dengan demikian, untuk memhami lebih rinci terkait hal itu penulis memberikan batasan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1.      Apa hakikat utama dari jiwa dan kematian sesungguhnya?
2.      Bagaimana pandangan pemikir terkait jiwa pasca kematian (Eskatologi)?
3.      Apa yang dibangkitkan setelah manusia mengalami kematian ?
4.      Bagaimana manusia bertanggungjawab atas kehidupan yang dijalaninya ?

PEMBAHASAN
Hakikat Jiwa & Kematian; Eksistensi Jiwa Dalam Bingkai Manusia
            Dari semua hal-hal yang bersifat spiritual, tidak ada yang lebih menarik perhatian saya untuk dijadikan prototipe percontohan hal-hal spiritual lainnya, selain dari jiwa.[7] Berbicara tentang jiwa bagi kalangan materialsme berarti berbicara tentang sesuatu yang dapat diketahui dengan bukti-bukti empiris seperti yang diungkapkan Dawson bahwa di saat jiwa lepas dari tubuh, ia dianggap menjalani kehidupan persis sama dengan yang dialami makhluk hidup di muka bumi yaitu makan, minum, berburu dan sebagainya. Sekalipun menurut sebagian lagi bersifat Immaterial karenanya tidak dapat terlihat dengan panca indera yang lima atau dengan kata lain bersifat metafisik layaknya seperti roh atau akal.
            Pertentangan kedua pernyataan tersebut diselaraskan sebagai sesuatu yang ada layaknya angin dan bayangan.[8] Karenanya berbicara tentang eskatologi tidak dapat dilepaskan dari persoalan mendasar tentang ruh pada diri manusia, dan bagaimana ruh dapat terus ada selama kematian terjadi. Seperti halnya sanggahan al-Ghazali dalam kitab Tahafut al-Falasifah tentang kritiknya terhadap para filusuf mengenai kebangkitan ruh dan jasad, dalam kitabnya dijelaskan bahwa dalam paham filusuf adanya pengingkaran kebangkitan tubuh di hari akhirat, Dalam masalah ini Al-Ghazali memandang filosof berpendapat  bahwa kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani yang akan menerima baik atau buruk atas perbuatan manusia di dunia adalah rohaninya, bukanlah jasmani.
            Jiwa manusia, sebenarnya berbeda dengan jiwa makhluk yang lain seperti binatang, pohon, dan sebagainya. Jiwa manusia bagaikan alam semesta, atau alam semesta itu sendiri yang tersembunyi di dalam tubuh manusia dan terus bergerak dan berotasi. Pemaknaan jiwa dalam bahasa sansekerta bagi kepercayaan Hinduisme diartikan sebagai Jiva atau benih kehidupan, hal ini serupa dengan apa yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa jiwa memiliki arti roh manusia yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seorang hidup atau bernyawa.[9]
            Dalam karyanya on the Soul atau “tentang jiwa”, Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai enteleki atau penyempurnaan pertama badan yang teratur alamiah, yang mempunyai kapasitas untuk hidup.[10] Dalam definisinya, pengertian jiwa yang dimaksud Aristoteles merupakan jiwa sebagai bentuk atau fungsi badan yang tertaur dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai wujud yang terpisah. Akan tetapi dalam karya yang sama pendapat Aristoteles ini mencerminkan keragu-raguannya tentang hakikat jiwa dengan mangajukan pertanyaan “apakah jiwa tidak dapat menjadi enteleki badan, keraguaannya ini diungkapkan dalam pernyataan  mengenai intelek manusia tidak dapat terpisah setelah kematian fisik, sementara dengan matinya fisik jiwa istirahat dan lalu mati, dan menjadi sesuatu yang mungkin keyakinannya tentang akan tetap hidupnya intelek manusia karena dikembangkan oleh kerja intelektual murni.[11]
            Namun berbeda dengan Plotinus yang menolak konsepsi jiwa Aristoteles, ia menerangkan tentang kepercayaannya terhadap jiwa dunia dan jiwa individual sebagai modifikasinya dan bukan sebagai aktualisasi badan.[12] Begitu pun dalam pandangan teologi disebutkan bahwa jiwa dipercaya hidup terus meskipun seseorang telah meninggal, dan bagi sebagian agama mengajarkan bahwa Tuhan adalah pencipta jiwa, juga bagi sebagian kepercayaan seperti animisme meyakini bahwa di dalam benda-benda mati pun memiliki jiwa.
            Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Emile Durkheim mengartikan “Jiwa” sebagai  sesuatu yang seklaigus sebagai substansi generik yang kemudian menjadi sama saat keduanya menjadi bagian dari suatu individu.[13] Di kalangan filosof muslim seperti halnya al-Farabi seorang pewaris tradisi filsafat hellenik secara eksplisit mengidentifikasi jiwa manusiasebagai fakultas atau daya yang inhern dalam tubuh dan bukan sebagai substansi spiritual yang dapat mengada secara mandiri dari badan.[14]
            Tidaklah mudah dalam menentukan definisi jiwa seperti ide orang Australia yang kabur dan bermacam-macam. Dalam karya “Australian Aborigines” James Dowson telah meneliti kebiasaan dan kepercayaan masyarakat Australia yang menyimpulkan bahwa seluruh masyarakat Australia meyakini bahwa setiap tubuh manusia mengandung sesuatu yang bersifat interior, yakni prinsip kehidupan yang menggerakan dan menghidupkan tubuh tersebut, dan itu yang dinamakan dengan jiwa. Lebih jauh Dawson mengungkapkan bahwa jiwa adalah penampakan eksternal (external appereance) dari tubuh yang tercipta dari substansi yang tidak bisa didefinisikan, jiwa ini dapat terkadang dapat di lihat dari  wujud binatang, atau dengan kata lain wujud jiwa sama sekali tidak tetap dan tidak jelas, dia berubah dari waktu ke waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan mitos dan ritus.[15]
            Lebih jauh ungkapan Dawson ini diperkuat oleh Frazer yang mengungkapkan bahwa jiwa sangat berbeda dan berdiri sendiri dari tubuh karena dari awal kehidupan dia sudah dapat meninggalkan kehidupan tubuh untuk sementara, seperti dia meinggalkan tubuh di kala manusia tidur atau pingsan dan sebagainya. Dan itu artinya bahwa jiwa bisa saja tidak berada dalam tubuh tanpa harus menyebabkan kematian, namun kehidupan akan melemah jika selama tidak ada jiwa ini dan akan berakhir seandainya jiwa ini tidak kembali lagi mengisi raga. dan lebih tegas Durkheim menjelaskan bahwa hanya dengan kematianlah keberadaan dan keindependenan jiwa paling jelas terlihat dan karena ia memiliki eksistensi yang otonom di dalam dunia yang terpisah dan khusus.[16]
            Menurut Frazer dalam karyanya yang berjudul “On Certain Burial Custom, as Illustrative of he Primitive Theory of The Soul” menyebutkan teramat keliru ketika pendapat yang menyatakan bahawa tubuh dipandang hanya sebagai tempat persinggahan dan bersemayam jiwa dengan dalih hubungannya yang bersifat eksternal. Padahal ikatan antara tubuh dan jiwa sangatlah kuat, apa yang dirasakan jiwa dirasakan pula oleh tubuh dan begitu pun sebaliknya.[17]
            Lebih jauh diungkapkan lagi menurut Durkheim bahwa bukan hanya hubungan erat yang terjadi antara jiwa dan tubuh, tapi terdapat asimilasi parsial. Ada bagian tubuh yang dimiliki jiwa, dan karena jiwa kadangkala mengambil wujud tubuh, maka ada bagian jiwa yang dimiliki tubuh. Bagian-bagian tubuh tertentu memiliki kemiripan seperti halnya jantung, darah, bayangan dan sebagainya.[18] Sekalipun jiwa dianggap hanya menempati bagian-bagian tertentu dalam tubuh, bukan berarti bagian tubuh lain tidak memiliki jiwa. Dengan berbagai tingkatan dia menyebar keseluruh tubuh.
            Berbeda dalam pandangan muslim seperti pendapat al-Farabi yang menyatakan jiwa tidak dapat mengada dengan mandiri dalam tubuh karena ia adalah daya intelek potensial-material manusia yang berkembang menjadi intelek aktual dan dapat memikirkan bentuk-bentuk immaterial. Karenanya, menurut al-Farabi jiwa-jiwa manusia yang tidak berkembang menjadi intelek aktual tidak dapat menyelamatkan kematian badan karena ia hanya sebagai daya dalam badan. Kemudian berbeda lagi dengan pendapatnya Ibn Sina yang mengatakan bahwa sekalipun jiwa intelek potensial, ia adalah entelek dari substansi spiritual immaterial yang dapat mengada secara mandiri dari badan.[19]
            Dalam kaitannya tentang eskatologi, menurut Mullasadhra bahwa jiwa telah tercipta sebelum tubuh diciptakan yang kemudian bergabung dengan fisik yang baru diciptakan.[20] Meskipun demikian, ada juga beberapa filosof sebelum Mullashadra yang berpandangan bahwa jiwa tidak mendahului raga, seperti al-Farabi dan al-Ghazali yang meyakini bahwa jiwa belum ada sebelum adanya raga, hanya saja keduanya tidak memberikan penjelasan secara terperinci bagaimana jiwa dan raga muncul bersamaan.
            Hal lain yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa tersusunnya manusia dari ruh dan tubuh tidak seperti zat kimia yang terdiri dari dua unsur, semisal tersusunnya air dari oksigen dan hidrogen, yang apabila salah satunya berpisah dari yang lainnya, wujud susunan tersebut akan sirna berikut seluruh sifat susunannya. Sementara ruh adalah unsur substansial dan hakikat manusia. Selama ruh itu ada, kemanusiaan manusia dan kepribadiannya tetap ada dan utuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, perubahan dan pergantian sel-sel tubuh tidak merusak kesatuan pribadi, karena standar kesatuan hakiki manusia adalah ruhnya yang satu.[21]
            Para filosof muslim berpandangan bahwa jiwa akan tetap ada setelah kehancuran raga mengingat jiwa bersifat transenden dan tidak bergantung kepada raga kecuali sebagai identitas bagi dirinya. Senada dengan apa yang dikemukakan Ibn Sina bahwa sesungguhnya jiwa tidaklah mengalami kematian hanya karena kematian raga dan bahkan tidak akan mengalami kehancuran sama sekali.[22] Berbeda dalam pandangan Budha bahwa sesungguhnya manusia tidaklah memiliki jiwa sesuai dengan ajarannya tentang anatta (tanpa jiwa), sehingga Budha dinilai sebagai agama yang aneh kalau pun disebut dengan agama.[23]
            Dalam kepercayaan beberapa agama, terdapat ritus-ritus penguburan yang akan memberikan bukti amat jelas bahwa ketika seluruh tubuh tidak berfungsi jiwa dan tubuh akan terpisah dan kembali ke tempat asalnya sesuai otonomi ang dimilikinya. Secara umum, seluruh jiwa menerima takdir yang sama dengan dan menjalani kehidupan yang juga sama. Akan tetapi ada perlakuan khusus yang diberikan kepadanya sesuai dengan perilakunya semasa hidup di dunia. Dan untuk memperjelas hubungan jiwa dan tubuh yang mandiri karena bukan sesuatu yang tersusun atau menyatu karena memiliki eksistensi ini dapat terlihat dalam bentuk kematian.
Kehidupan Sesudah Mati (Eskatologi);
Kematian sebagai ketiadaan hidup di dunia
               Kematian  dalam  pandangan  Islam bukanlah  sesuatu  yang  buruk,  karena di  samping mendorong manusia untuk  meningkatkan pengabdiannya  dalam  kehidupan dunia  ini,  ia  juga merupakan jembatan atau pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati. Dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian bukanlah  ketiadaan  hidup  secara  mutlak, tetapi ia adalah ketiadaan hidup di dunia,  dalam  arti  bahwa  manusia  yang meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.

Ÿwur (#qä9qà)s? `yJÏ9 ã@tFø)ムÎû È@Î6y «!$# 7NºuqøBr& 4 ö@t/ Öä!$uômr& `Å3»s9ur žw šcrããèô±n@ ÇÊÎÍÈ    
Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (Bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Q.S. Al-Baqarah: 154)

               Maksud hidup dalam ayat tersebut adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu. Itu artinya bahwa jiwa sebetulnya tidaklah mati dalam hal keabadiannya sebagai ruh.
               Bagi kaum materialis, kematian merupakan berhentinya proses fisik manusia. Begitu pun orang-orang primitif mendefinisikan kematian sebagai suatu pembalasan kehidupan di dunia/ kehidupan sebelumnya.[24] Bagi kepercayaan umat Hindu, kematian merupakan proses yang harus dilalui ruh manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Dalam proses reinkarnasinya itu, ruh yang tereinkarnasi akan menjadi baik manakala selama hidup di kehidupan sebelumnya berlaku baik, dan begitu pun sebaliknya jika berbuat jelek maka wujud reinkarnasi yang akan muncul adalah binatang.[25]
               Dalam beberapa kepercayaan yang sekaligus menjadi tradisi dari setiap agama, ritual-ritual kematian menunjukkan sebagai bukti adanya magis untuk menghantarkan ruh yang telah terpisah dari jasad untuk dapat kembali ke tempat asalnya, yang dalam bahasa agama Hindu disebut dengan atman.[26] Banyak diantara mereka menyadarinya bahwa ritual-ritual kematian yang mereka lakukan secara tidak langsung berdampak pada perkembangan ekonomi, seni, organisasi dan bentuk pemerintahannya.[27]
                                                           
Atman[28] (Jiwa) dalam kebaharuannya sebagai jasmani
dan keabadiannya sebagai ruhani
            Keabadian adalah kebutuhan hidup setiap manusia, seperti makan dan minum. Persoalan mendasar yang memicu ketegangan antara filosof dan teolog berkisar pada persoalan seperti apa bentuk kebangkitan tersebut terjadi, apakah kebangkitan ruhani semata atau dengan jasmani juga. Para filosof, khususnya filosof peripatetik meyakini kebangkitan ruhani atau intelektif, yakni keterpisahan jiwa dari raga maka jiwa akan bersifat ruhani dan tidak mungkin lagi dibangkitkan bersama raga karena akan menyebabkan terjadinya reinkarnasi.[29]
            Dalam mempersoalkan kehidupan sesudah mati, erat kaitannya dengan persoalam yang ada dalam agama Hindu maupun Budha perihal atman atau jiwa yang mampu berpindah dari suatu tubuh ke tubuh yang lain yang dalam hal ini bagi ummat hindu disebut dengan kharma atau reinkarnasi. Reinkarnasi merupakan suatu kenyataan yang secara terus terang dapat digambarkan seperti halnya api yang mampu berpindah dari satu lilin ke lilin yang lain sebagai proses dari adanya hubungan sebab akibat, di mana yang dipindahkan adalah pengaruh melalui reaksi berantai dan bukan substansi sendiri.
            Dalam beberapa pandangan Mullasadhra terkait masalahjiwa merupakan hakikat riil sedangkan raga adalah hakikat relatif, seperti halnya wujud dan kuiditas di mana keberadaan jiwa ada dengan sendirinya yang mampu menghadirkan forma materi. Sehingga dapat dikatakan jiwa tidaklah terikat dengan raga atau pun jasad, karena ia dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain seperti halnya perumpamaan api dalam lilin tersebut. Konsepsi reinkarnasi dalam pemahaman Budha berbeda dengan Hindu yang jelas mempermasalahkan tentang masalah perpindahan jiwa dalam serangkaian sebab akibat dalam mempertalikan setiap kehidupan yang mendahuluinya maupun yang akan menyusul kemudian.[30] Jika orang meninggal, mereka akan meninggalkan serangkaian keinginan yang berhingga yang hanya dapat tercapai dalam penjelmaan yang lain. Setidaknya dalam pengertian ini orang masih dapat dikatakan hidup.
            Berpindahnya jiwa merupakan kesementaraan kehidupan yang tidak abadi, oleh karenanya bagi Budha ketika seseorang meninggal senantiasa jiwanya abadi dalam pengertian perpindahannya itu sendiri sebagai suatu tanha atau keinginan manusia yang belum teselesaikan. Sehingga tujuan akhir dari jiwa manusia adalah suatu keadaan dimana semua identifikasi dengan penglaman historis dari pribadi yang berhingga akan lenyap sama sekali.
            Berbeda dengan apa yang ada dalam pandangan Islam, jiwa merupakan suatu hal yang bersifat Immateri, dengan ke-Immateriannya itu ia akan melepaskan diri dari tempat yang sementara yakni jasad sebagai wadah untuk menunjukan eksistensinya sebagai sesuatu yang ada dan hidup, sekalipun al-Farabi mengemukakanbahwa jiwa tidak mengalami kesemepurnaan akan tetap pada tingkatnya sebagai materi, bahkan dapat hancur bersamaan dengan kehancuran materi tersebut.[31] Hal ini dapat terlihat dari firman-Nya berikut ini.
öÝàR$$sù #n<Î) ̍»rO#uä ÏMuH÷qu «!$# y#øŸ2 Çøtä uÚöF{$# y÷èt/ !$pkÌEöqtB 4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ ÇósßJs9 4tAöqyJø9$# ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs%
Artinya : “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang Telah mati. dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(Q.S. Ar-Rum : 50)

Tanggung jawab manusia;
Antara kehendak Tuhan dan manusia
            Dalam pandangan Mu`tazilah, Tuhan bertindak demi keuntungan dan demi kebaikan tertinggi (al-ashlah) ciptaan-Nya. Tuhan membiarkan manusia berkehendak bebas sepenuhnya, sehingga ia benar-benar bertanggungjawab atas tindakannya sendiri dan Tuhan bebas dari segala tuduhan yang membatasi tindakan manusia.[32]
            Para teolog Asy`ariyah mengatakan bahwa Tuhan maha kuasa, secara langsung menciptakan sesuatu termasuk manusia, kehendak dan tindakannya, mereka menolak segala daya bagi manusia dengan mengatakan bahwa manusia dapat dikatakan “bertindak” hanya secara metamorfosis dan bukan dalam pengertian sebenarnya dan mereka sama-sama menolak gagasan sebab sama sekali, karena Tuhan berkehendak dan menciptakan segala sesuatu ia sama-sama merasa senang dengan segala sesuatu itu apakah baik ataukah buruk.[33]
            Kelompok ketiga yakni para filosof seperti Ibn Sina dan pemikir Syiah terkemuka, berpendapat bahwa wujud muncul dari Tuhan berdasarkan urutan dan tidak secara asal-asalan. Oleh karena itu, meskipun wujud berasal dari Tuhan ia datang melalui serangkaian, sebab kemujaraban harus ditentukan bagi sebab dan menjadi kemustahilan jika Tuhan dapat semisal menciptakan pohon tanpa benih, yang demikian itu bukan berarti tidak adanya kemujaraban yang memadai pada bagian tubuh, melainkan karena kemujaraban itu inhern dalam hakikat fisik.
            Dalam menjalankan proses kehidupannya manusia senantiasa berbuat dengan perbuatannya sendiri, sehingga apa-apa yang akan ditimbulkan dari perbuatannya itu adalah suatu akibat dan wujud tindakan yang harus ada pertanggung jawabannya. Bagi agamawan Budha manusia bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, begitu pun segala balasan yang diterimannya adalah hasil dari tindakannya itu.[34]
            Segala tindakan baik maupun buruk merupakan hakikat aksidental, dengan kata lain bahwa Tuhan berkeinginan, akan tetapi Tuhan pun tidak senang dengan tindakan buruk. Pada tingkatan ini, merupakan keharusan penciptaan Tuhan yang maksimal atas kebaikan.[35]
            Dapat ditarik suatu benang merah bahwa perbuatan manusia seutuhnya menjadi tanggung jawabnya sendiri yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari yang abadi, zaman yang abadi sebagai tujuan akhir dari hakikat kebermanusiaan jiwa-jiwa mnausia.

PENUTUP
Kesimpulan
            Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai enteleki atau penyempurnaan pertama badan yang teratur alamiah, yang mempunyai kapasitas untuk hidup. Dalam definisinya, pengertian jiwa yang dimaksud Aristoteles merupakan jiwa sebagai bentuk atau fungsi badan yang tertaur dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai wujud yang terpisah. Akan tetapi dalam karya yang sama pendapat Aristoteles ini mencerminkan keragu-raguannya tentang hakikat jiwa dengan mangajukan pertanyaan “apakah jiwa tidak dapat menjadi enteleki badan, keraguaannya ini diungkapkan dalam pernyataan  mengenai intelek manusia tidak dapat terpisah setelah kematian fisik, sementara dengan matinya fisik jiwa istirahat dan lalu mati, dan menjadi sesuatu yang mungkin keyakinannya tentang akan tetap hidupnya intelek manusia karena dikembangkan oleh kerja intelektual murni.
            Bagi kaum materialis, kematian merupakan berhentinya proses fisik manusia. Begitu pun orang-orang primitif mendefinisikan kematian sebagai suatu pembalasan kehidupan di dunia/ kehidupan sebelumnya. Bagi kepercayaan umat Hindu, kematian merupakan proses yang harus dilalui ruh manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Dalam proses reinkarnasinya itu, ruh yang tereinkarnasi akan menjadi baik manakala selama hidup di kehidupan sebelumnya berlaku baik, dan begitu pun sebaliknya jika berbuat jelek maka wujud reinkarnasi yang akan muncul adalah binatang.
            Dalam agama Hindu kematian merupakan proses yang dilalui ruh manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Proses reinkarnasi akan menjadi baik manakala selama hidup di dunia Ia berbuat baik, begitu pun sebaliknya jika berbuat jelek maka senantiasa seburuk-buruknya reinkarnasi menjadi binatang. Hal ini sesuai dengan hukum karmapala.
            Berpindahnya jiwa merupakan kesementaraan kehidupan yang tidak abadi, oleh karenanya bagi Budha ketika seseorang meninggal senantiasa jiwanya abadi dalam pengertian perpindahannya itu sendiri sebagai suatu tanha atau keinginan manusia yang belum teselesaikan. Sehingga tujuan akhir dari jiwa manusia adalah suatu keadaan dimana semua identifikasi dengan penglaman historis dari pribadi yang berhingga akan lenyap sama sekali.
            Dalam menjalankan proses kehidupannya manusia senantiasa berbuat dengan perbuatannya sendiri, sehingga apa-apa yang akan ditimbulkan dari perbuatannya itu adalah suatu akibat dan wujud tindakan yang harus ada pertanggung jawabannya. Bagi agamawan Budha manusia bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, begitu pun segala balasan yang diterimannya adalah hasil dari tindakannya itu.
Saran
            Dalam penyusunan karya tulis ini, masih terdapat banyak kekurangan yang mesti harus diperbaiki. Dan untuk itu sekiranya handai taulan dapat memberikan masukan yang membangun untuk perbaikan karya tulis penulis untuk ke depannya. Akan tetapi penulis berharap untuk ke depannya dalam penyusunan karya tulis yang serupa dengan topik ini sekiranya mampu membongkar cakrawala pemikiran terkait eskatologi dalam perkembangan pemikiran dewasa ini yang dalam substansinya melekat pada kehidupan sosial masyarakat di Indonesia khususnya bagi mereka yang beragama untuk dapat menyelami segala bentuk ragam pemikiran keagamaan mereka secara tepat agar tidak memunculkan konflik kesalahpahaman dalam memhami ajaran agama.
الحمد لله رب العالمين

DAFTAR BACAAN

Agus, Bustanudin. 2007. Agama dalam kehidupan manusia. Grafindo. Jakarta
As-Suhrawardi, Syihab ad-Din. 2003. Hikmah al-Israq; Teosofi cahaya dan metafisika
            huduri. Islamika. Yogyakarta.
Durkheim, Emile. 2011. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-
            Bentuk Agama yang paling dasar. Terj. Inyiak Ridwan Muzie. M. Syakir. Ircisod.
            Yogyakarta
Kahmad, Dadang. 2011. Metodologi Penelitian Agama. Pustaka Setia. Bandung
Keene, Michael. 2006. Agama-agama Dunia. Kanisius. Yogyakarta
Madjid, Nurcholis. 2008. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Cetakan VIII. Paramadina.
            Jakarta
Muthahari, Murtadha. 2009. Keadilan Illahi. Cetakan II. Mizan. Bandung
Prasetya Adi, Febri. 2007. Menyibak Misteri Kekal Akhirat Tinjauan Ilmu Fisika. Kreasi
            Total Media. Yogyakarta
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Sadra. Terj. Munir A. Muin. Pustaka. Bandung
Sibawaihi. 2004. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman; Studi Komparatif Epistimologi
            Klasik-Kontemporer. Islamika. Yogyakarta
Smith, Huston. 1991. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Yazdi, Misbah. 2005. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. Alhuda. Jakarta



[1] Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana UIN SGD Bandung jurusan Religious Studies semester 2 (dua), Email : areadone.hawk@gmail.com
[2] Menurut Cak Nur bahwa yang disebut dengan beriman bukan sekedar percaya kepada Tuhan seperti orang Mekkah dahulu yang mewujudkan bentuk kepercayaannya kepada berhala-berhala tuhan yang nisbi, melainkan sikap percaya terhadap Tuhan tersebut mesti dalam kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keillahian atau ketuhanan dan tidak memandang adanya kualitas serupakepada suatu apapun yang lain. Lihat Nurcholis Madjid. Pintu-pintu menuju Tuhan. (Jakarta; Paramadina, 2008). Cetakan VIII, hlm. 6. Dalam keterangan lain iman juga dapat menentukan cara manusia mendekati Allah dan dapat mengatur hidup mereka. Lihat Michael Keene. Agama-agama Dunia, terj. F.A.Suprapto. (Yogyakarta; Kanisius, 2006), Hlm. 100.
[3] Hakikat Eskatologi menurut Mullasadra merupakan konsep nisbi mengenai penciptaan baru atau kedua sebagai pertentangan adanya penciptaan yang awal. Lihat Fazlur Rahman. Filsafat Sadra, terj. Munir A. Muin. (Bandung; Pustaka, 2000). Hlm. 343. Secara analogis, Allah SWT menjelaskan proses kebangkitan di alam akhirat melalui Q.s. Al-Hajj: 5-7 dimana Allah menganalogikannya dengan proses penciptaan manusia di dalam rahim, dan dipertegas kembali dengan pertanyaan al-Kindi yang menjelaskan bahwa keberadaan kembali suatu setelah kehancurannya adalah mungkin. Lihat Febri Prasetya Adi. Menyibak misteri kekal akhirat tinjauan ilmu fisika. (Yogyakarta; Kreasi Total Media, 2007), Hlm. 88-89.
[4] Eskatologi berasal dari kata escaton yang secara harfiah berarti doktrin tentang akhirat, sebuah doktrin yang membahas tentang keyakinan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti halnya kematian, hari kiamat, kebangkitan kembali, pengadilan akhir, surga neraka dan lain sebagainya. Lihat Sibawaihi. Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman; Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer. (Yogyakarta; Islamika, 2004), Hlm. 34
[5] Ibid., Febri Prasetya Adi. Menyibak misteri …, Hlm. 87
[6] Dadang Kahmad, Metodologi Penelitian Agama, (Bandung; Pustaka Setia, 2011), Hlm. 82
[7] Dalam bahasa Inggris “Souls” dan “Spirits” jika diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah sense, akan terlihat tumpang tindih pemaknaan. Di sisi lain akan bermakna roh atau arwah tetapi juga bisa menjadi jiwa, maka untuk menyelesaikannya jiwa dimaknai dengan “Souls atau body” karena ada ungkapan jiwa-raga (tubuh) dalam bahasa Indonesia, sementara Spirit diterjemahkan dengan arwah atau roh. Lihat Emile Durkheim. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang paling dasar. Terj. Inyiak Ridwan Muzie. M. Syakir. (Yogyakarta; Ircisod. 2011), Hlm.354.
[8] Ibid., Hlm. 357
[9] Ibid., Michael Keene. Agama-agama…, Hlm. 32 dan KBBI.
[10] Ibid., Fazlur Rahman. Filsafat Sadra, terj. Munir A. Muin. Hlm. 261
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid., Emile Durkheim. The Elementary Forms…, Hlm. 353
[14] Ibid.Fazlur Rahman. Filsafat…, Hlm. 261
[15] Ibid., Emile Durkheim. The Elementary Forms…, Hlm. 355
[16] Ibid., Hlm. 357
[17] Ibid.,
[18] Ibid., Hlm. 358
[19] Ibn Sina merupakan seorang tokoh pendiri madarasah filsafat peripatetic (Masysyâiyyat). Ibid., Fazlur Rahman. Filsafat…, Hlm. 262
[20] Syihab ad-Din., As-Suhrawardi. Hikmah al-Israq; Teosofi cahaya dan metafisika huduri. Yogyakarta; Islamika, 2003.) Hlm. 54.
[21] Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh. Dalam filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah Nafs. Oleh karenanya ruh diartikan sebagai aksiden (`aradh) bagi tubuh atau forma material (shurah maddiyyah). Lihat Misbah Yazdi. Iman Semesta; Merancang Piramida Keyakinan. (Jakarta; Alhuda, 2005.), Hlm. 345-348.
[22] Ibid., Sibawaihi. Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman; Studi…, Hlm. 37
[23] Huston Smith, Agama-agama Manusia, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991),Cetakan kedua, Hlm. 149.
[24] Bustanudin Agus. Agama dalam kehidupan manusia. (Jakarta; Grafindo, 2007), Hlm. 275-276
[25] Ibid., Hlm. 277
[26] Dalam agama Hindu kembalinya ruh manusia disebut dengan atman, dimana atman akan kembali ke Brahma. Sehingga kembalinya atman kepada Brahma dianggap sebagai kebahagiaan tertinggi yang didambakan setiap orang. Lihat.Ibid., Hlm. 277
[27] Ibid., Hlm. 277-278
[28] Atman merupakan bahasa pali yaitu bahasa asli dari kitab-kitab agama Hindu yang kemudian maknanya menjadi atman dari istilah sansekerta yang berarti Jiwa dalam bahasa agama Budha. Lihat Ibid., Huston Smith, Agama-…, Hlm. 149.
[29] Ibid., Fazlur Rahman. Filsafat…, Hlm. 335. Dalam agama Hindu kematian merupakan proses yang dilalui ruh manusia dalam perjalanan reinkarnasinya. Proses reinkarnasi akan menjadi baik manakala selama hidup di dunia Ia berbuat baik, begitu pun sebaliknya jika berbuat jelek maka senantiasa seburuk-buruknya reinkarnasi menjadi binatang. Hal ini sesuai dengan hukum karmapala. Lihat Ibid., Bustanudin Agus. Agama dalam…, Hlm. 277
[30] Cara Budha memahami reinkarnasi sangatlah berbeda dengan kebanyaka orang Hindu pada zamannya. Ajaran Hindu yang baku menganggap kelahiran kembali sebagai kharma, konseskwensi dari tindakan yang dijalankan selam hidup sebelumnya. Karena tindakan-tindakan tersebut tak terbilang banyaknya, kehidupan yang tak terbilang jumlahnya diperlukan untuk melunasi konsekwensi tersebut dan mencapai pembebasan terakhir. Sedangkan Budha sendiri menganut suatu pandangan yang lebih psikologis. Kelahiran kemblai atau reinkarnasi dipandangnya bukan sebagai kharma, melainkan tanha atau sebuah keinginan. Sejauh keinginan manusia adalah untuk hidup seorang diri, keinginan tersebut akan terpenuhi. Akibatnya, karena keinginan sebagai kuncinya mungkin sekali bahwa manusia keluar selamanya dari lingkaran kelahiran kembali pada suatu waktu ketika orang mempunyai keinginan yang ikhlas untukmelakukan hal itu. Lihat Ibid., Huston Smith, Agama-agama…, Hlm. 153.
[31] Murtadha Muthahari, Keadilan Illahi. (Bandung; Mizan, 2009), Cetakan II. Hlm. 67
[32] Ibid., Fazlur Rahman, Filsafat …, Hlm. 234
[33] Ibid., Hlm. 235
[34] Ibid., Huston Smith, Agama-agama…, Hlm. 147.
[35] Ibid., Fazlur Rahman, Filsafat…, Hlm. 236

1 komentar: