RESENSI
BUKU[1]
Judul
Buku : Membuka Pintu Ijtihad
diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin
Penulis : Fazlur Rahman
Penerbit
: Pustaka, Bandung
Tahun
Terbit : 1995
Tebal
Buku : 304 Halaman
Sampul
: Kaligrafi (Warna Kuning)
Daftar isi Buku :
Prakata
Kata Pengantar
Bab I.
Konsep-konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma` pada Awal Sejarah Islam
Bab II. Sunnah
dan Hadits
1. Pembahasan Lebih Lanjut Mengenai Sunnah
2. Perkembangan Hadits di Masa Lampau
3. Gerakan Hadits
4. Hadits Kaum Ortodoks
5. Sunnah dan Hadits
Bab III.
Perkembangan-perkembangan Post-Formatif di Dalam Islam
1. Tata Politik
2. Prinsip-prinsip Moral
3. Kehidupan Spiritual; Sufisme
4. Gerakan Filosofis
5. Sifat Pendidikan
6. Kesimpulan
Bab IV. Ijtihad
pada Abad-abad yang Kemudian
Bab V. Perubahan
Sosial dan Sunnah di Masa Lampau
1. Masalah yang Kita Hadapi
2. Contoh-contoh
3. Kesimpulan Secara Garis Besarnya
Bibliografi
Indeks
Fazlur
Rahman; Membuka Pintu Ijtihad
Buku Membuka Pintu Ijtihad
ini merupakan salah satu buku yang telah memberikan sumbangan yang berarti bagi
perbincangan mutakhir tentang cita Islam. Sesuatu yang paling menonjol yang
terdapat dalam uraian-uraian isinya adalah diseputar pengertiann Sunnah. Dalam
tujuan pembahasannya sama sekali jauh dari keinginan untuk menghilangkan semua
yang terjadi sejak masa permulaan Islam, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup ,
tetapi lebih merupakan ushaa kaum muslimin yang dibatasi oleh daerah, waktu dan
pemahaman dapat mengatahui aspek-aspek kesejarahan mereka, untuk dapat berperan
lebih jauh.
Tidaklah berlebih-lebihan jika
keempat prinsip tersebut amat penting dan bukan hanya merupakan prinsip
yurispudensi Islam tetapi juga merupakan prinsip dari setiap pemikiran Islam.
Yang terpenting untuk diperhatikan adalah bagaimana cara memadukan dan
menerpakan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks hidup kekinian.
Perbedaan mendasar di dalam
memadukan dan penerapan prinsip-prinsip tersebutlah yang menjadi pembeda antara
stagnasi dengan gerakan dan diantara kemjuan dengan kebekuan. Perbedaan seperti
ini dapat dilihat antara fase awal dengan fase akhir perkembangan Islam dan
penemuan historis yang teramat penting dimana para orientalis telah sedemikian
banyaknya memberikan sumbangan mereka dan tidak dapat terus disembunyikan
dibalik teori konvensional abad pertengahan mengenai prinsip-prinsip tersebut.
Jadi sudah sangat jelas diterangkan
dalam buku ini yang tidak hanya mengandung nilai kesejarahan yang murni tetapi
juga mengandung nilai praktis yang amat penting dan dapat menunjukkan jalan
bagi perkembangan-perkembangan Islam di masa mendatang. Dan oleh karena itu
untuk lebih mengetahui secara mendalam apa yang disampaikan dalam buku Membuka
Pintu Ijtihad karya Fazlur Rahman yang fenomenal ini, saya mencoba
meringkasnya secara runtut sesuai apa yang ada dalam buku aslinya.
Bab
I. Konsep-konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma` pada Awal Sejarah Islam
Fazlur Rahman yang kemudian aya
sebut Rahman menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sunnah adalah konsep
perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun aksi-aksi mental, dengan
perkataan lain bahwa sebuah Sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku,
baik yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulang kali. Hal ini
dikarenakan bahwa Sunnah ini tidak hanya tertuju kepada sebuah aksi
sebagaimana adanya tetapi selama aski ini berlangsung secara aktual dan
berulang kali atau sekali saja.
Tingkah laku yang dimaksud dalam Sunnah
tersebut dimaksudkan sebagai perilaku dari pelaku yang sadar, yang dapat
memiliki aksi-aksi mereka. Dan ini menunjukkan bahwa Sunnah tidak hanya
merupakan sebuah hukum tingkah laku seperti suatu hukum dari benda-benda alam
tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif; “keharusan”
moral adalah suatu hal yang tidak dapat dilepaskan dari konsep Sunnah. Akan
tetapi bagi beberapa pendapat dari kalangan sarjana Barat mengemukakan bahwa Sunnah
adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi
ke generasi selanjutnya yang memperoleh status nornatif dan menjadi Sunnah.
Di dalam teori yang dikemukakan di
atas, Sunnah merupakan sebuah konsep perilaku maka sesuatu yang secara
aktual diprkatekkan masyarakat untuk waktu yang cukuo lama dan tidak hanya
dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai prkatek yang normatif
dari masyarakat tersebut. Kesmpulan sederhana ini memebrikanmaksud bahwa dari
konsep Sunnah itulah yang bermula suatu perilaku yang menjadi kebiasaan
tertentu dan akan menjadikannya sebagai sesutau yang mengikat (normatif).
Pada dasarnya dalam buku ini secar
tegas mencoba menyampaikan bahwa Sunnah berarti “Tingkah laku yang
merupakan teladan” dan bahwa kepatuhan yang aktual kepada “teladan” tersebut
bukanlah sebagian daripada arti Sunnah, walaupun untuk menyempurnakannya
Sunnah tersebut perlu dipatuhi sekalipun AbuYusuf yang diterangkan dalam
buku ini mengemukakan bahwa Sunnah sebagai teladan meskipun dalam
aktualnya ada baik dan buruk.
Konsep perilaku normatif atau
teladan tersebut lahirlah konsep tingkah paku standar atau benar sebagai sebuah
pelengkap yang perlu. Jadi pengertian yang melengkapi perkataan Sunnah tersebut
memasuki unsur “kelurusan” atau kebenaran. Pengertian seperti ini yang
terkandung dalam sanan al-thariq yang berarti jalan lurus yang berada di
depan atau jalan yang tidak menyimpang. Selanjutnya pengertian Sunnah sebagai
jalan yang lurus dan tidak menyimpang juga memeberikan arti sebagai sebuah
“Penengah di antara hal-hal yang bersifat ekstrim” atau jalan tengah. Dengan
pengertian seperti ini akan terlahir istilah Ahli Sunnah atau ortodoksi.
Di samping pengertian Sunnah di
atas, ada beberapa konsep Sunnah menurut sarjana-sarjana Barat seperti
Ignaz Goldziher yang meyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala
perbuatan dan tingkah lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat Muslim
yang masih baru tesebut dan idealitas sunnah dari orang-orang Arab
sebelum Islam pun berakhir. Sarjana lain Snouck Hurgro mengemukakan bawha kaum
Muslimin sendiri menambah-nambah sunnah Nabi, sehingga hamper semua
hasil pemikiran dan praktek Muslim dianggap Sunnah Nabi, beberapa
pendapat lainnya adalah dari Josep Schacht
yang mengemukakan pandangan bahwa Sunnah Nabi hanya timbul
dikemudian hari, sedang generasi Muslim di masa lampau Sunnah berarti
praktek kaum Muslimin itu sendiri.
Namun bagi Rahman, pendapat-pendapat
mereka tentang Sunnah adalah suatu hal yang keliru, karena mereka
(sarjana Barat) memandang konsep Sunnah hanya menemukan sebagian dari
kandungan sunnah dari adat istiadat Arab pra-Islam, kemudian memandang
kandungan Sunnah merupakan hasil pemikiran ahli-ahli hukum Islam yang
dengan ijtihad pribadi mereka telah menarik kesimpulan dan praktek yang sudah
ada dengan memasukkan unsur-unsur luar
seperti dari sumber Yahudi.
Bagi Rahman, argumentasi Sunnah menurut
sarjana Barat tersebut keliru dan menyatakan bahwa Sunnah Nabi tetap
merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif sejak awal sejarah Islam
hingga masa kini, juga Sunnah yang bersumberkan Nabi tidakbanyak
jumlahnya dan tidak dimaskudkan untuk bersifat spesifik secara mutlah, kemudian
Sunnah sesudah Nabi wafat tidak mencakup Sunnah dari Nabi
melainkan juga penafsiran terhadap Sunnah Nabi, dan Sunnah sama
luasnya dengan Ijma yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin
meluas secara terus menerus.
Betapapun juga konsep yang dimunculkan,
Sunnah merupakan sebuah tradisi yang berbeda dari aktivitas seorang
pribadi, karena sunnah pada masa generasi muslim awal adalah sebagai
kelanjutan dari praktek-praktek Arab pra-Islam atau sebagian aktivitas
pemikiran yang dilakukan secara asimilatif-deduktif oleh generasi Muslim
tersebut. Akan tetapi yang terpenting sunnah dalam pengertian yang
sesungguhnya adalah “memberikan sebuah teladan” agar teladan tersebut diikuti
oleh orang lain seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Bahkan dalam
Al-Qur`an pun berulang kali berbicara mengenai “Sunnah Allah yang tidak
dapat diubah” juga mengenai perbutan Nabi yang patut dijadikan teladan.
Pengertian Sunnah tidak
diartikan sebagai jalan tengah
sebagaimana dalam surat Abu Hanifah yang mengatakan demikian, karena makna itu
terjadi ketika ada pertikaian pendapat theologi. Kemudian muncul suatu
perntanyaan “Mengapa Allah memilih Muhammad sebagai penyampai wahyu-Nya?”,
pertanyaan seperti ini sering kali muncul dikalangan orientalis dan mampu
dipatahkan dengan argumentasi bahwa seorang Nabi adalah manusia yang sangat
berkepentingan untuk merubah sejarah sesuai dengan pola yang dikehendaki Allah.
Dengan demikian baik wahyu yang disampaikan oleh Nabi tidak dapat terlepas dari
situasi historis yang aktual pada masanya, dan ia tidak dapat hanya
mementingkan generalisasi-generalisasi yang sama sekali bersifat abstrak. Oleh
karenanya Nabi Muhammad dijadikan wakil-Nya sebagai sosok yang mampu
bertanggungjawab atas didri dan ummatnya, dan itulah pilihan Allah.
Secara garis besar Sunnah Nabi
lebih tepat dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman daripada bahwa ia mempunyai
sebuah kandungan khusus yang bersifat mutlak. Atau dengan perkataan lain bahwa sunnah
adalah sebuah terma perilaku (behavior) karena dalam prakteknya tidak ada 2
buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral,
psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dpat
diinterpretasikan dan diadaptasikan. Kemudian Hasan al-Bishri menegaskan bahwa sunnah
Nabi lebih merupakan petunjuk arah daripada serangkaian peratura-peraturan
yang telah ditetapkan, bahwa pengertian sunnah ideal yang seperti inilah
yang dijadikan landasan pemikiran kaum Muslimin di masa itu, dan bahwa ijtihad
dan ijma` adalah pelengkap-pelengakapnya yang perlu sehingga Sunnah
itu semakin dapat disempurnakan.
Sunnah adalah sunnah Nabi atau sunnah dari
setiap otoritas berikutnya yang bersumber dari sunnah Nabi, karena kami
telah memberikan bukti bahwa praktek orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam
tidak dapat dipandang sebagai normatif.
Dengan melihat perkembangan
masyarakat Muslim yang begitu luas dan komplek, ide-ide tentang sunnah diberbagai
daerah seperti Mesir, Irak, Hijaz dan lain sebaginya berbeda-beda. Dan ini
mendorong adanya pemikiran bebas secara individual (ra`y) dan memungkinkan
pemikiran yang lebih sistematis terhadap al-Qur`an dan Sunnah yang sudah
ada. Dan kemudian pemikiran sistematis ini disebut dengan qiyas. Sunnah bermula
dari Sunnah ideal Nabi dan secara progressif telah diinterpretasikan
oleh ra`y dan qiyas, sedang ijma` adalah interpretasi sunnah atau
sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang telh disepakati secara
bersama begitu ia secara perlahan-lahan diterima oleh ummat.
Kandungan aktual sunnah dari
generasi-generasi Muslim di masa lampau secara garis besar adalah produk jtihad,
apabila ijtihad ini telah melalui interaksi pendapat secara terus
menerus akhirnya dapat diterima oleh semua ummat atau disetujui ummat secara
consensus (Ijma`). Itulah sebabnya mengapa istilah sunnah dengan
pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama, yaitu praktek aktual
oleh Malik dipergunakan sebagai ekuivalen dari istilah al-amr al-mujtama`
`alayhi atau dari sitilah ijma`. Sunnah dan Ijma` saling
berpadu dan secara aktual dan material adalah identik. Tetapi sunnah manakala
berhenti maka Ijma` akanmengambil alih peranannya. Dengan demikian
kesepakatan di antara para sahabat adalah Sunnah al-Shahabah dan Ijma`
al-Ashabah.
Fenomena Sunnah-Ijma` adalah
suatu ijma`-informal yang tidak menghilangkan perbedaan-perbedaan
pendapat. Ijma` tersebut tidak bersifat regional, misalnya Sunnah-Ijma`
yang terdapat di Madinah akan berbeda dengan yang ada di Irak. Hal ini
menjelaskan proses pencapaian ijma` yaitu melalui perbedaan-perbedaan pendapat
melalui penggunaan lokal dan penafsiran-penafsiran yang berebeda timbullah
sebuah pendapat yang umum (opinion public).
Menurut beberapa mazhab, Ijma` bukanlah
sebuah fakta yang statis yang ditetapkan dan diciptakan, melainkan sebuah
proses demokratis yang terus menerus, bersifat informal dan tumbuh secara wajar
dan toleran bahkan menghendaki adanya pemikiran segar dan baru sehingga ia
tidak hanya harus hidup bersama-sama dengan tetapi juga di atas perbedaan-perbedaan
pendapat.
Menurut Imam Syafi`I peranan Sunnah-Ijtihad-Ijma`
diberikannya kepada sunnah Nabi sedangkan menurutnya sunnah Nabi bukanlah
suat upetunjuk yang bersifat umum tetapi bersifat tegas dan ditafsirkan secara
literal dan penyiaran sunnah Nabi ini hanya dapat dilakukan dengan
menyiarkan hadits. Gerakan penciptaan hadits secara besar-besaran menuntut
ummat untuk memilah dan memilih Sunnah Nabi sebagai suatu keseragaman
pandangan atas kewenangan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Syafi`I ketiga peranan
sumber pokok pemikiran Islam secara runtut dikemukakan terlebih dahulu adalah
peranan Sunnah, kemudian Ijma` dan Ijtihad. Akan tetapi jika
urutan Ijtihad-Ijma` dibalikan
menjadi Ijma`-Ijtihad akan menjadi rusak. Ijma` tidak lagi
menjadi sebuah proses yang menghadap ke masa depan sebagai produk dari Ijtihad
secara bebas, maka Ijma` menjadi statis dan menghadap ke masa
lampau. Kegeniusan Syafi`i memang berhasil menciptakan suatu mekanisme yang
menjamin kestabilan kepada struktur sosio-religius kaum Muslimin pada zaman
pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilanhkan kreativitas dan
originalitas mereka.
Bab
II. Sunnah dan Hadits
Dalam
pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa yang disebut dengan Sunnah Nabi
adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi-generasi
Muslim pada zaman lampau, dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka
peroleh, dan bahwa penafsiran yang kontinyu dan progresif ini walaupun berbeda
bagi daerah-daerah yang berebeda, maka itulah disebut dengan Sunnah.
Sebagai
suatu contoh, Abu Yusuf menulis dalam bukunya berjudul al-Radd `ala Siyar al
Awza`i menyatakan pendapat Abu Hanifah bahwa jika seseorang yang menjadi
Muslim di negeri non-Muslim meninggalkan kampong halamannya untuk bergabung
dengan Muslim-muslim lainnya sedang negeri itu kemudian jatuh ke tangan kaum
Muslimin, maka harta kekayaannya yang berada di negeri tersebut tidak
dikembalikan kepadanya dengan begitu saja tetapi dimasukkan ke dalam mal
al-ghanimah. Seorang tokoh Syria Awza`I menentang pendapat Abu Hanifah
tersebut dengan mengemukakan bahwa
ketika kota Mekkah jatuh ke tangan kamum Muslimin Nabi telah mengembalikan
harta kekayaan orang-orang yang telah meninggalkan kota itu untuk bergabung
dengan kaum Muslimin di Madinah.
Untuk
membela pendapat Abu Hanifahnya itu, Abu Yusuf mengemukakan bahwa Sunnah Nabi
dengan suku Hawazin juga berbeda. Setelah mengalami kekalahan, Bani Ahwazin menghadap
Nabi, dan memohonkan ampunan serta kebebasan bagi orang-orang mereka yang
ditawan dan meminta agar harta kekayaan mereka dikembalikan. Untuk memenuhi
harapan mereka Nabi Muhammad SAW menyerahkan harta rampasan yang merupakan
bagiannya dan perbuatannya itu diikuti oleh yang lainnya kecuali suku-suku
tertentu diantara mereka. Oleh karena itu, Nabi terpaksa member ganti rugi
kepada suku-suku tersebut dan dengan demikian harta kekayaan budak-budak milik
Bani Hawazin dapat dikembalikan semuanya.
Perbuatan
yang dilakukan Nabi Muhammad, menurut Abu Yusuf sebagai kekecualian dan oleh
karena itu tidak dianggapnya sebagai Sunnah. Akan tetapi menurut
al-Awza`i tindakan Nabi tersebut adalah Sunnah. Menyimak diskusi panjang
antara Abu Yusuf dan al-Awza`I merupakan contoh perdebatan tentang makna Sunnah
Nabi. Akan tetapi hal ini dpaat ditarik suatu kesimpulan bahwa “apabila
keadaan memaksa kekecualian terhadap peraturan dapat dipergunakan sebagai
peraturan”.
1.
Perkembangan
Hadits di Masa Lampau
Menjadi
suatu kenyataan yang tak dapat diragukan lagi bahwa hadits Nabi telah ada
semenjak awal perkembangan Islam. Sesungguhnya semasa hidup Nabi Muhammad
adalah wajar sekali jika kaum Muslimin membicarakan apakah yang dilakukan dan
dikatakan Nabi, terutama sekali yang berkenaan dengan masyarakat.
Semasa
hidup Nabi sendiri hadits-hadits umumnya hanya dipergunakan di
dalamkasus-kasus informal karena satu-satunya peranan hadits adalah memberikan
bimbingan di dalam praktek aktual kaum muslimin dankebutuhan ini telah dipenuhi
oleh Nabi sendiri. Setelah NAbi wafat tampaknya hadits memiliki status yang
semi formal karena adalah wajar sekali jika generasi yang sedang bangkit
tersebut mempelajari kehidupan Nabi mereka.
Hadits
juga dijadikan sebagai sarana penyiaran sunnah Nabi, ia ada untuk
tujuan-tujuan praktis, sebagai sesuatu yang dapat menciptakan dan dapat
dikembangkan menjadi praktek kaum muslimin. Karena itulah hadits-hadits
tersebut secara bebas ditafsirkan oleh para penguasa dan hakim sesuai dengan
situasi yang sedang mereka hadapi dan akhirnya terciptalah apa yang dinamakan
dengan “sunnah yang hidup”. Dalam
mengembangkan hukum, ahli-ahli hukum mengemabil sunnah yang hidup tersebut
sebagai landasan mereka dan memberikan penafsiran secara bebas melalui
pertimbangan pribadi mereka, maka penyair-penyair hadits meyakini bahwa
kewajiban mereka adalah menyiarkan hadits untuk menegakkan stabilitas hukum.
Pada
masa-masa awal sejarah Islam tersebut, sebagian besar hadits-hadits yang ada
tidak bersumber kepada Nabi, hal ini bukan karena bukan hadits-hadits Nabi
memang sedikit jumlahnya tetapi karena ulah generasi-generasi yang kemudian.
Bahkan di dalam karya-karya dari abad kedua Hijriyah yang pada saat ini masih
dapat dijumpai, hamper semua hadits-hadits hukum, bahkan hadits-hadits moral
tidak bersumber dari Nabi, tetapi apabila ditelusuri ternyata bersumber dari
para sahabat, para “penerus”, dan generasi muslim yang ketiga.
Pada
pertengahan abad kedua gerakan hadits sudah cukuo banyak memperoleh kemajuan
dan walaupun hamper semua hadits-hadits yang ada masih dinyatakan tidak
bersumber dari Nabi melainkan bersumber dari para sahabat dan generasi-generasi
Muslimsesudah mereka, bahkan sebagian dari pendapat-pendapat di bidang hukum
dan pandangan-pandangan dogmatis dari kaum muslimin pada masa lampau mulai
diproyeksikan kepada Nabi Muhammad SAW.
2.
Gerakan
Hadits
Materi-materi
hadits terus bertambah pada abad kedua dan periode yang kami kemukakan di atas
merupakan periode transisi di dalam perkembangan literatur dan status dari
hadits Nabi.
Kedudukan
hadits semakin kuat jika dibandingkan dengan sunnah yang hidup, sunnah
yang berdasarkan penafsiran secara bebas dan progressif. Dengan latar belakang
seperti inilah al-Syafi`i , si “Jagoan Hadits” melancarkan kampanye yang
berhasil untuk menempatkan hadits sebagai pengganti Sunnah yang hidup
tersebut. Sebagai salah satu contoh dari sikap Syafi`i terhadap hadits dan
penafsiran bebas adalah tentang kasus melembagakan perwalian (waliy) di
dalam perkawinan. Lemabaga waliy ini tentu lebih tua daripada sejarah
Islam itu sendiri, dan mengenai betapa pentingnya lembaga ini dapat ditemukan
melalu iriwayat yang bersumber dari NAbi serta yang lainnya. Menurut satu
riwayat seorang wali diperlukan untuk pernikahan yang pertamasekali sedang bagi
seorang wanita “janda” yang hendak menikah lagi tidak diperlukan. Tetapi dalam
riwayat yang lain menyatakan bahwa tanpa adanya waliy setiap pernikahan
adalah tidak sah.
Lebih
lanjut Syafi`i mengatakan bahwa hadits mengenai perwalian ini harus diterima
tanpa berbeda pendapat dan bantah-bantahan. Jadi dapat diketahui penafsiran
yang dilakukan Syafi`i terhadap lembaga waliy ini bukanlah untuk menjaga
martabat dan harga diri, tetapi untuk melindungi kaum wanita dari keaiban dan
untuk memberikan jaminan Negara kepada pernikahan yang sesungguhnya. Walaupun
Syafi`i telah tepat sekali dalam menganalisa nilainya (`illat al hukm)
tetapi ia memperingatkan kita agar tidak melakukan aktivitas rasional yang
seperti inidan menyarankan agar kita menerima hasits secara literal.
Gerakan
hadits yang merupakan perubahan baru di dalam struktur religius Islam sebagai
sebuah disiplin dengan aktifitas Syafi`i di dalam hadits hukum sebagai batu
loncatannya, pada hakikatnya menghendaki bahwa hadits harus berkembang, dan
bahwa hadits-hadits harus selalu diciptakan di dalam situasi-situasi yang
baruseperti di bidang sosial, moral, religius dan sebagainya.
Sesungguhnya
sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak lain daripada sunnah-ijthad
dari generasi pertama kaum muslimin. Ijtihad ini bersumber dari ide
individu tetapi setelah beberapa lama dan setelah perjuangan-perjuangan serta
konflik-konflik yang seru menentang bid`ah-bid`ah serta ide-ide yang sangat
picik dibenarkan oleh Ijma`, atau ditaati oleh mayoritas kaum muslim.
Dengan perkataan lain, Sunnah yang hidup di masa lampau tersebut
terlihat di dalam cermin hadits yang disertai dengan rantaian perawi. Namun di
antara sunnah dengan hadits ada sebuah perbedaan yang sangat
penting, apabila secara garis besar sunnah merupakan sebuah fenomena
praktis yang ditujukkan kepada norma-norma perilaku, maka hadits tidak hanya
menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan
prinsip-prinsip religius.
3.
Hadits
Kaum Ortodoks (al-Sunnah wa`l Jama`ah)
Sebuah
ciri terpenting dari sejarah agama Islam, ciri yang jika dilupakan atau
disepelekan akan terjadi salah paham terhadap sejarah Islam adalah kenyataan
begitu perbedaan-perbedaan pendapat di bidang politik, theologi, dan hukum
mengancam integritas kaum muslimin maka timbullah ide untuk mempertahankan
persatuan kaum muslimin. Doktrin yang menyatakan persatuan ini adalah semacam
sintesa atau via media (al-sunnah) adalah sebuah akibat yang wajar dan
perlu dari ide di atas. Dengan demikian konsep “al-Sunnah wa`l Jama`ah”
sebagai sebuah ungkapan tidak hanya tepat tetapi juga dianggap saling
berhubungan.
Peperangan
politik beserta pertentangan theologis dan dogmatis yang saling susul menyusul
telah menimbulkan hadits-hadits yang bersifat prediktif dan dikenal sebagai
hadits mengenai perang saudara (Hadits al-fitan). Jelas sekali bahwa
hadits-hadits ini memberikan jalan tengah terutama sekali di antara golongan
khariji dan syi`ah yang secara theologis danpolitis memiliki
pandangan-pandangan ekstrim.
Suatu
konsep yang mengatakan bahwa “mayoritas yang berada di tengah-tengah” ini
timbul karena kebutuhan politik, namun akhirnya dipergunakan untk kebutuhan
theologi dan hukum karena masing-masing golongan politik cenderung pada suatu
landasan theologis-moral hukum untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini yang perlu
diingat istilah “al-jama`ah min al-Hadits” (yaitu hadits yang diakui
oleh pihak mayoritas atau sifat kolektif dari hadits) dan “al-Sunnah
al-Ma`rufah” yang sering digunakan Abu Yusuf untuk membedakannya dari
pendapatyang “dangkal” dan “kabur”.
Pertentangan
yang membawa pada peperangan seperti inilah yang berbahaya, yang tidak hanya
merupakan pertentangan moral-theologis yang pertama dalam sejarah Islam, tetapi
juga karena sifatnya yang sangat mengancam kepada struktur masyarakat muslim.
Dan sebagai akibat dari aktivitas hadits yang dilakukan secara seksama agar
memikat hati di dalam konflik yang tak henti-henti tersebut otodoksi muslim (Ahli
Sunnah) yang merupakan masyoritas kaum muslimin akhirnya merumuskan melalui
al-Asy`ari, al-Maturidi dan penerus mereka agar sebuah definisi Islam secara
universal yang mebungkam Kharijisme dan Mu`tazilaisme sehingga dapat menyelamatkan kaum muslimin dari kehancuran
besar.
Perjuangan
yang serupa dari Ahli Sunnah untuk mengambil jalan tengah dan menahan
kecenderungan yang kuat pada masa itu dapat kita saksikan di dalam fenomena
hadits-hadits yang pro dan anti-sufisme.
4.
Sunnah
dan Hadits
Hadits
terkadang bersifat historis tetapi tidak mengandung kenormatifan syari`ah atau
dengan perkataan lain walaupun shahih namun hadits-hadits tersebut merupakan
sunnah. Muslim sering kali mnghendaki kemajuan, tetapi kemajuan in karena Islam
bukan karena meninggalkan atau mengenyampingkan Islam. Selanjutnya kenyataan
yang ironis dan menyedihkan bahwa sering kali argumentasi anti –hadits
(anti-sunnah) berdasarkan hadits-hadits tertentu bersifat subyektif bahwa Nabi
Muhammad, Umar atau salah satu diantara tokoh-tokoh di awal sejarah Islam telah
melarang atau mencegah penyiaran hadits Nabi.
Bab
III. Perkembangan-perkembangan Post-Formatif di Dalam Islam
Islam adalah agama gerakan aktual
yang pertama kali dikenal sejarah secara serius dan berarti, karena meyakini
usaha untuk memperbaiki dunia ini bukanlah suatu usaha yang sia-sia atau hanya
akan memperburuk keadaan tetapi suatu usaha yang melibatkan Allah dan manusia.
Setelah Islam lahir ahanya komunisme sajalah yang hendak mengubah sejarah
secara sistematis, akan tetapi selain sebagai humanism barat modern yang
ektrsim, komunisme sangat meyakini relativisme nlilai-nilai.
Dengan mengembalikan kepada konteks
sejarah Islam, maka peneyempurnaan terhadap sistem theologi, hukum, politis dan
sosial yang rumit, equilibrium dan konolidasi yang diakibatkannya menciptakan
semarak yang sangat mengagumkan di
bidang-bidang intelektual, spiritual, ilmiah pada umumnya.
1.
Tata
Politik
Pada
pembahasan bab sebelumnya telah disebutkan bahwa kemunculan pertikaian antara
kaum Khariji dan Syi`ah telah membawa pengaruh yang sangat besar dalam
perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Kelahiran dan aktivitas politik dari
kedua sekte tersebut terutama sekte Khariji yang memberikan kandungan politis
kepada Sunnisme.
Pada
mulanya orang sunni berada ditengah-tengah antara dua golongan yang bertikai
tersebut, setidaknya pada level doktrinalnya. Walaupun demikian, jika tidak
didukung oleh factor moral-spiritual, doktrin fasisme politik yang murni tentu
tidak akan menyebabkan sikap yang begitu saja menerima oportunissme politik.
Patut
untuk diketahui bahwa berbicara mengenai pendapat dari kedua golongan tersebut
yang mengarah pada unsur politik, menurut Ibn al-Muqaffa` tidak ada
mengemukakan hadits atau pun keterangan-keterangan yang diprasangkakan sebagai
hadits untuk mendukung pihak yang menghendaki pemberontakan maupun untuk pihak
yang mengehndaki sikap pasifis secara mutlaq.
2.
Prinsip-prinsip
Moral
Masalah
pokok dibidang moral mengenai kemerdekaan dan pertanggungjawaban manusia,
selanjutnya masalah yang perlu diperhatikan adalah al-Qur`an dan amal perbuatan
Nabi merupakan sebuah kerangka yang lengkap untuk menjamin energi kreatif yang
maksimal dari ummat manusia dan untuk menjaga agar kreativitas ummat manusia
ini tetap berada pada saluran moral yang benar.
Al-Qur`an
dengan keras mengingatkan kepada kita terhadap kecenderungan-kecenderungan
nihilis yang menyebabkan manusia memandang dirinya sendiri,
kecenderungan-kecenderungan yang dapat dikatakan bersifat Takabbur dan
menyerukan manusia agar mentaati hukum moral.
Nabi
Muhammad dalam setiap perbuatan, dan perkataannya merupakan sebuah contoh yang
aktual dan pada dasarnya demikian pulalah dengan reaksi-reaksi para sahabat.
Tetapi hamper satu abad lamanya Nabi wafat kecenderungan moral yang bersifat
praktis ini dikalahkan oleh spekulasi-spekluasi yang tajam. Pada masa tertentu
agama harus merumuskan pandangan hidupnya secara lengkap dan theologis.
Masalah
tidak hanya sebatas itu saja, banyak persoalan yang mesti dipecahkan
menggunakan sunanah yang hidup agar Islam dapat di pandang sebagai sosok
yang dapat benar-benar memberikan
realisasi moral bagi kehidupan dan bukan sekedar wacana yang berbuntut pada
perseteruan retotika semata.
3.
Kehidupan
Spiritual; Sufisme
Dalam
pembahasan ini tidak ada kaitannya dengan sejarah sufisme, apalagi dengan seala
praktek dan pemikiran sufi, tetapi hanya dengan beberapa segi-segi saja yang
penting karena ada hubungannya dengan argumentasi Sunnah Nabi, yaitu
bahwa untuk menghadapi urgensi historis tertentu yang bersifat ekstrim
ortodoksi selama fase normatifnya dahulu terpaksa mengambil tindakan-tindakan
penyembuhan yang agak bersifat ekstrim pula, dank arena pintu Ijtihad telah
ditutup sesudah peride tersebut maka penyembuhan di atas menjadi bagian
permanen dari kandungan struktur ortodoksi kaum muslimin.
Harus
diakui bahwa diantara para sahabat tentu ada yang lebih cenderung kepada
kontemplasi dan introversi walaupun pernyataan-pernyataan sufi dikeudian hari
mengenai Abu Dzarr al-Ghiffari, Abu Hurayrah dan lainnya tidak dapat kit
aterima sebagai suatu kebenaran historis. Adalah sangat tidak pada tempatnya
jika kita mengatakan bahwa para sahabat tersebut ada yang mengalami
ekstase-ekstase seperti yang dialami Abu Yazid al-Busthami dan ada lagi yang
menciptakan syair-syair theosofis seperti yang digubah oleh Ibn `Arabi.
Sufisme
tidaklah puas dengan peristiwa trans-historis ketika menjadi bagian dari
kandungan doktrin bersama. Sufisme menciptakan doktrin yang lain yang tidak
bersifat trans-historis, tetapi benar-benar bersifat spiritual dan
meta-historis. Sufisme menegakkan sebuah hierarki yang tak terlihat, hierarki
ini terdiri dari manusia-manusia suci yang berpaling dari dunia dengan sebuah
kutub (Quthb) dipuncaknya.
Dengan
jelas dikatakan bahwa hierarki yang senantiasa dibangun sufisme ada dan semesta
itu telah binasa. Apakah syi`ah itu yang mempengaruhi sufisme atau sebaliknya,
tetapi yang terang adalah bahwa pada waktu yang bersamaan konsep Syi`ah mengenai
“Imam yang ghaib” secara theologis dirubah menjadi “kekuatan tersembunyi” untuk
menentang kekuatan politik yang aktual dan nyata terlihat, yang dipegang oleh
orang-orang Sunni.
4.
Gerakan
Filosofis
Gerakan
filosofis dalam Islam yang mebuahkan suatu hasil karya di dalam kultur Islam
dan yang pengaruhnya terhadap jalan pemiikiran orang-orang Barat sedemikian
dalam, yang namapak jelas dan dapat bertahan hingga saat ini adalah kelanjutan
dari pengalaman pemikiran yang rasionalistis dari orang-orang Mu`tazilah pada
abad ke-2, 3 dan 4 Hijriah.
Dengan
tampilnya para filosof muslim seperti al-Kindi, al-farabi, Ibn Rushd, maka
terbukalah era baru bagi kebudayaan Islam dan bab yang paling cemerlang
mengenai pemikiran seluruh manusia. Dengan kebebasan yang benar-benar mutlak,
akal manusia secara serentak meluas ke segala penjuru eksistensi dan kehidupan.
Akal
manusia mempelajari analisa-analisa yang bebas dari kekangan dan menilai
data-data dari semua sains-sains pasti alam, biologi dn humanistik. Di dalam
karya-karya mereka, para filosof muslim tersebut memasukkan risalah-risalah
mengenai gerak, jiwa, ruang danlain sebagianya.
Sringkali
seorang filosof merangkap sebagai seorang dokter seperti Ibn Sina, al-Razi, dan
Ibn Rusyd. Tetapi para filosof tersebut terkecuali jika mereka kebetulan
saintis-saintis eksperimental lebih suka mempelajari sains-sains pasti alam
secara “ilmiah”. Walaupun demikian karya mereka dibidang sains pasti alam
merupakan karya besar lagi sempurna, spekluatif dan benar-benar merupakan hasil
pemikiran yang logis, sedang mereka bersedia menerima kesimpulan yang tampaknya
bersumber dari aktivitas rasional tersebut.
5.
Sifat
Pendidikan
Sikap
kalangan ortodoks terhadap filsafat khususnya dan terhadap sains-sainsnrasional
umumnya, secara langsung telah membawa kepada peninjauan singkat mengenaai awal
mula, perkembangan dan sifat dari sistem pendidikan Islam beserta
kandungan-kandungannya.
Al-Qur`an
sering mengatakan perkataan `Ilm, kata-kata jadiannya yang umum dan
pengertiannya sebagai pengetahuan melalu ibelajar, berfikir, pengalaman dan
lain sebagainya. Dengan pengertian yang seperti inilah perkataan `Ilm dipergunakan
pada zaman Nabi, tetapi setelahgenerasi sahabat, Islam mulai berkembang sebagai
sebuah tradisi.
Hal
yang terpenting dalam istilah `Ilm adalah sejak dahulu lebih bersifat
tradisional daripada rasional di dalam sejarah Islam. Pada abad-abad awal di
dalam sejarah Islam kaum Muslimin ortodoks tidak memperkembangkan pendidikan
tinggi secara sistematis, pelajaran-pelajar yang diberikan secara eksklusif dan
bersifat tradisional. Ini disebabkan karena kurangnya pengorganisasian, akibat
tidak adanya penyaluran yang sistematis dari tingkat dasar ke tingkat yang
lebih tinggi.
Bab
IV. Ijtihad pada Abad-abad yang Kemudian
Di dalam dunia Islam dam Ilmu
pengetahuan Islam pada masa kini sudah terbiasa mendengar pernyataan bahwa
“Pintu Ijthad (pemikiran baru) di dalam Islam telah tertutup”, tidak ada
seorangpun yang benar-benar mengetahui kapankan pintu ijtihad di tutup dan siapakah
sesungguhnya yang telah menutupnya. Tertutupnya pintu ijtihad tersebut adalah
perlu atau memang diinginkan atau mengenai penutupan “pintu ijtihad” itu
sendiri, walaupun kita dapat menemukan penilaian-penilaian yang beranggapan
bahwa “pintu ijtihad telah tertutup”.
Penilaian-penilaian tersebut
dikenakan pula kepada keadaan-keadaan di masa lampau dan tidak tertuju kepada
pernyataan tertentu mengenai penutupan pintu Ijtihad. Dengan demikian
dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa, walaupun secara formal pintu ijtihad
tidak pernah ditutup oleh siapapun juga yang memiliki otoritas yang besar di
dalam Islam. Namun suatu keadaan secara lambat laun serta pasti melanda dunia
Islam dimana sleuruh kegiatan berfikir secara umumnya berhenti.
Ijtihad merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh setiap muslim sesuai dengan kesanggupannya. Kemudian sesorang mempunyai
pendapat yang sesuai dengan kebenaran yang teihat dan berdasarkan hal-hal yang
dianggapnya benar. Berkenaan dengan Ijtihad pembahasan mengenai
kulaifikasi-kualifikasi yang harus dimiliki bagi seseorang sebelum ia dikatakan
sebagai seorang mujtahid. Pada abad pertengahan para ulama telah berbicara
mengenai hal ini bahwa suatu Ijtihad yang bersifat mutlak (Ijtihad
Mutlak) dan ijtihad yang bersifat parsial atau yang hanya dilakaukan dalam
masalah-masalah tertentu saja.
Kemudian pada periode berikutnya, Ijtihad
dibagi pula menjadi tiga, yaitu : Ijtihad Muthlaq atau ijtihad yang
mutlak, Ijtihad Muqayyad atau ijihad yang terbatas dan Ijtihad fi`l
Mazhab atau Ijtihad dalam mazhab hukum yang tertentu saja. Jelalah bahwa
pembagian ijtihad ini bersifat formalistik dan agak artifisial, dan dalam hal
ini ada dua orang penulis, yaitu AL-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi yang
mengatakan bahwa yang pertama kali dan terpenting bahkan sebelum ilmu
pengetahuan Islam adalah kesanggupan intelektual untuk menarik deduksi-deduksi.
Anggapan tentang ijtihad parsial
apakah dapat dilakukan tanpa adanya kesanggupan untuk melakukan Ijtihad
Muthlaq merupakan masalah yang saling dipertentangkan oleh ahili-ahli hukum
Islam. Sebagian besar diantara mereka temapknya menyetujui, namun adapula yang
menentang pembagian ijtihad seperti ini. Argumentasi yang mendukung dinhatakan
oleh al-Iji yang meninggal ada tahun 756 H.
Apabila dianalisa secara mendalam,
penerapan metodologi yang digunakan oleh seseorang untuk melakukan ijtihad
tidak dapat dielpaskan dari kemampuannya dalam memecahkan persoalan-persoalan
yang memang belum secara jelas diungkap dalam Hadits Nabi, dan juga
kesemuanya merupakan pencapaian dari proses Ijma` atau consensus kaum
Muslimin dalam menetapkan suatu hukum dalam Islam.
Bab
V. Perubahan Sosial dan Sunnah di Masa Lampau
1.
Masalah
yang Kita Hadapi
Apabila
kekuatan-kekuatab baru yang dahsyat dibidang sosio-ekonomi, cultural moral
ataupun politik terjadi di dalam, atau menimpa suatu masyarakat maka tidak
perlu diragukan lagi kalau nasib masyarakat tersebut akan tergantung kepada
sampai berapa jauhkah ia sanggup menghadapi tantangan-tantangan baru secara
kreatif.
Jika
suatu masyarakat dapat menghadapai dua kutub ekstrim, yakni yang pertama merasa
panik, dan mencari perlindungan khayali ke masa lampaunya dan yang kedua
mengorbankan atau mengkompromikan ideal-idealnya. Maka yang akan terjadi
setelah itu adanya keyakinan kepada dirinya sendiri untuk melakukan reaksi
terhadap kekuatan-kekuatan baru itu dengan mengasimilasi, menolak dan
bentuk-bentuk kreativitas lainnya, maka ia aka nmengembangakan sebuah dimensi
baru untuk aspirasi-aspirasi spiritualnya.
Secara
gambalang dapat dikatakan bahwa kira-kira satu abad lamanya kaum muslimin telah
mengalami serangan di dalam dirinya sendiri, dari kekuatan dahsyat yang
dilancarkan oleh apa yang disebut dengan “modernitas” yang bersumber dari Barat
kontemporer. Pemikir-pemikir Muslim, baik di anak benua India-Pakistan maupun
di timur tengah secara sadar telah melakukan berbagai usaha, khususnya
menjelang akhir abad yang lampau untuk menghadapi tantangan baru ini secara
kreatif dengan melakukan penyerapan, penyesuaian dan lain sebagainya.
Secara
garis besar, sebenarnya di zaman ini kita telah mengalami kemandegan
intelektual dan sebagai kinsekwensinya untuk semua tujuan-tujuan praktis kita
telah mengambil kedua buah sikap ekstrim di atas yaitu sikap laissez faire terhadap
kekuatan baru tersebut dan sikap melarikan diri dari masa lampau yang secara
emosional mengkin tampak lebih cepat memuaskan, namun sesunggunya lebih
berbahaya dari sikap yang pertama.
Tetapi
untunglah Islam memiliki garis-garis kebijaksanaan yang kuat dan yang bersumber
dari sejarah masa lampau ummat Muslim, ketika ajaran al-Qur`an Sunnah Nabi
disempurnakan dan ditafsirkan secara kreatif menjadi Sunnah yang hidup
untuk menghadapi factor-faktor dan benturan-benturan baru.
2.
Contoh-contoh
Kekuatan-kekutan
baru yang sedang di hadapi secara terus menerus bagi kaum Muslimin adalah
persoalan yang mesti dicarikan solusi pemecahannya terkait beberapa unsur hukum kehidupan ummat Muslim yakni :
1) Hukum Perang,
2) Hukum kriminal,
3) Legislasi sosial,
4) Hukum kesaksian,
3.
Kesimpulan
Secara Garis Besarnya
Beberapa
contoh dari sekian banyak kekuatan baru yang menjadi tantangan ummat Muslim ini
telah nampak sebagian diterangkan pada bab-bab sebelumnya. Islam adalah nama
dari norma-norma dan ideal-ideal tertentu yang harus direalisasikan secara
progresif di dalam aneka ragam fenomena dan lingkungan sosial.
Sesungguhnya
apabila dipahami sebagaimana mestinya Islam senantiasa mencari bentuk-bentuk
yang baru serta segar bagi realisasi dirinya, dan ia senantiasa menemukan
bentuk-bentuk tersebut. Institusi-institusi sosial adalah salah salah satu dari
sektor-sektor terpenting dari aktivitas dan ekspresi Islam.
Oleh
karenaya institusi sosial iniharus merupakan sarana yang tepat untuk membawakan
dan meyiarkan nilai-nilai Islam dalam keadilan sosial, kreativitas dan lain
sebagainya. Sehingga pengamalan Sunnah Nabi dapat terasa
keuniversalitasannya dalam menapaki semangat zaman.
الحمد لله رب العالمين
[1] Disusun
sebagai Tugas Akhir pada mata kuliah Ilmu Hadits jurusan Religious Studies di
PPS UIN SGD Bandung, Dosen pengampu Dr. Ali Masrur, M.Ag